Guru, Status terjerat positif

Guru, Status terjerat positif

Pernahkah kita berada pada suatu keadaan dimana kita tidak bisa menghindar untuk melakukan pilihan lain selain pilihan yang ada di depan kita? Keadaan itu membuat kita tidak berkutik. Keadaan tersebut, suka atau tidak suka, memaksa kita untuk mengambil pilihan yang tersedia saja. Jika jawabannya ya, berarti kita pernah berada pada keadaan atau status terjerat.

Dalam kehidupan ini, kita bisa berada pada keadaan terjerat negatif, bisa juga pada keadaan terjerat positif. Jika kita berada pada keadaan yang menjebak kita untuk berbuat dan condong pada hal-hal buruk, berarti kita berada pada status terjerat negatif. Namun jika kita berada pada keadaan yang menggiring dan memaksa kita untuk berbuat baik dan condong pada kebaikan, maka yang demikian itu status terjerat positif.

Apabila kita menginginkan kehidupan ini penuh dengan kebaikan, maka pilihan kita tentunya berada pada status terjerat positif. Kenapa demikian? Karena dengan status ini, akan mengkondisikan hidup kita pada perbuatan atau perkataan yang positif, perbuatan dan perkataan yang baik, perbuatan atau perkataan yang sesuai dengan norma atau aturan.

Status terjerat positif juga menjadikan kita seolah memiliki “alarm” untuk menghindari perbuatan atau perkataan yang buruk. Keseharian kita pun akhirnya terkondisikan untuk selalu memilih perbuatan dan perkataan yang baik. Alhasil, berada pada status terjerat positif ini pada akhirnya menjadikan kita orang yang baik dan diwarnai dengan nilai-nilai positif. Sungguh indah, bukan?

Lalu siapakah orang yang kesehariannya berada dalam status terjerat positif tersebut? Guru, trainer, ulama dan sejenisnya, adalah orang-orang yang berada dalam status terjerat positif. Bagaimana tidak, mereka adalah pendidik bagi orang lain. Seorang guru, trainer atau ulama adalah figur dan teladan kebaikan bagi bagi anak didiknya, para trainee, bagi umatnya dan bagi masyarakat secara luas.

Siapa saja yang berada pada status terjerat positif tersebut akhirnya akan senantiasa menjaga diri agar apa yang dikatakan dan dikerjakannya sejalan dengan apa yang diajarkan. Misalnya, seorang guru yang mengajarkan kepada anak didiknya tentang hidup bersih, kejujuran dan sopan santun, maka ia secara sadar atau tidak, telah mengkondisikan dirinya untuk berbuat demikian.

Pengalaman pribadi saya ketika mengajarkan para guru dan siswa untuk menjaga kebersihan lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya, akhirnya menjadikan saya orang yang selalu komitmen membuang sampah pada tempatnya. Saya merasa tidak tenang sekaligus berdosa jika membuang sampah sembarangan walaupun saat itu tidak ada orang yang melihat. Pernah suatu waktu, saat saya berjalan sendiri dan mempunyai sampah kecil berupa bungkus permen, namun tidak menemukan tempat pembuangan sampah, saya lebih memilih menyimpannya di saku dari pada membuangnya di jalanan secara sembarangan.

Bila orang yang berada pada status terjerat positif melakukan tindakan yang bertentangan dengan apa yang ia ajarkan, maka itu akan membuatnya gelisah, malu jika ketahuan dan itu akhirnya akan menghancurkan dirinya sendiri. Menghancurkan status yang sedang ia sandang. Terlebih bagi seorang muslim pantang untuk mengajarkan sesuatu yang tidak ia kerjakan. Di dalam Al-Qur’an Surat Ash-shaff ayat 3, dijelaskan bahwa Allah Subhanahu Wata’ala amat besar kebencian-Nya kepada orang yang mengatakan apa-apa yang tidak ia kerjakan.

Maka, seseorang yang memilih hidupnya menjadi guru, ataupun profesi lainnya yang serupa, sebenarnya ia telah menjeratkan dirinya pada status terjerat positif. Hal ini terjadi karena ia yang telah memproklamirkan diri sebagai guru, berarti harus menjaga setiap perkataan dan perbuatannya.

Akan janggal jika ada seorang guru, misalnya, yang seharusnya lekat dengan hal-hal yang baik malah melakukan hal-hal yang buruk. Tidaklah mengherankan jika ada guru yang melakukan perbuatan tercela, orang-orang akan berkata “guru kok berbuat mesum?, “guru kok mencuri?”, “guru kok mabuk-mabukan?dan pernyataan-pernyataan sejenis. Dengan melakukan tindakan buruk itu, para pelaku tersebut pada hakikatnya telah melepas statusnya sebagai guru.

Menjadi guru, berarti memiliki peluang lebih besar untuk melakukan kebaikan, dan berpeluang kecil untuk berbuat keburukan. Seorang guru akan berpeluang besar berkata jujur dan beretika dibandingkan dengan (maaf) seorang preman. Seorang guru bepeluang kecil untuk berkata bohong, korupsi dan berperilaku bejat.

Berbahagialah Anda yang saat ini menjadi guru, karena dengan begitu Anda secara otomatis telah menjadikan diri selalu berada dalam hal-hal positif. Alhamdulillah.

@zaydsayfullah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares