Bagaimana Menjadikan Sepotong Rumput Bernilai?

Pernahkah Anda mendengar kata “Sawa Saporu”? Aneh dan baru mendengarnya, bukan? Sawa Saporu tidak lain adalah kegiatan yang dilakukan oleh seluruh siswa di salah satu sekolah dasar Bengkulu Tengah (Bengkulu) dalam rangka membawa satu potong rumput. Kata “sawa saporu” ini dibuat oleh salah satu guru di sana, yaitu Bapak Ari Suryanto.
Sawa Saporu merupakan salah satu bentuk kegiatan Sekolah Ramah Hijau (Green School) yang diprogramkan oleh sekolah ini. Selain Sawa Saporu, masih ada kegiatan lainnya yang dilakukan olah sekolah ini, antara lain Sawa Sapo (Satu Siswa Satu Pohon), Sagu Sapo (Satu Guru Satu Pohon), dan Siswa Gaul (Sisihkan Waktu Tiga Menit untuk Lingkungan).
Program-program tersebut dilakukan oleh siswa dan guru demi mewujudkan sekolah yang hijau. Setiap program sangat antusias direspons siswa. Pada pelaksanaan hari pertama Sawa Saporu, misalnya. Seluruh siswa dari kelas 1 sampai kelas 6 membawa satu potong rumput dari rumah masing-masing, atau hasil dari meminta kepada saudaranya atau tetangga sekitar rumah. Adapun bentuk rumput yang dibawa adalah rumput berbentuk persegi empat dengan ukuran yang dibebaskan. Guru memang sengaja tidak mematok ukuran agar tidak memberatkan.
Alhamdulillah, ukuran rumput yang dibawa siswa justru sesuai dengan yang diharapkan Mengapa rumput? Ada apa dengan rumput?
Kegiatan Sawa Saporu dilatarbelakangi antisipasi atas tingginya curah hujan yang terjadi di daerah kami. Karena curah hujan tinggi, lapangan sekolah dari tanah menjadi becek. Ketika siswa melewati lapangan sekolah, tentu kondisi sepatu menjadi kotor. Ketika memasuki ruangan kelas, kelas pun ikut kotor. Kondisi sekolah yang kotor tentu membuat suasana belajar menjadi tidak nyaman. Orang luar sekolah yang mengetahuinya pun bisa memberikan opini yang tidak baik bagi sekolah.
Awal Sawa Saporu berjalan (November 2012), rumput yang ditanam belum memberikan hasil. Penyebabnya, siswa sendirilah yang selalu melewati rumput yang ditanamnya. Tidak hanya siswa SD yang melewati lapangan, namun juga siswa SMP (sekolah kami termasuk sekolah satu atap).
Proses membuat lapangan menjadi hijau tentu membutuhkan proses yang cukup panjang. Butuh waktu untuk pertumbuhan rumput. Sehari menjelang libur panjang, saya bersama dewan guru mengajak kembali seluruh siswa untuk menanam kembali rumput di lapangan. Harapannya, sewaktu libur panjang rumput yang ditanam bisa tumbuh karena lapangan jarang dilewati seluruh murid.
Alhamdulillah, semua berjalan sesuai rencana. Setelah libur panjang sekolah, siswa mendapati lapangan sekolah perlahan menjadi hijau. Siswa tampak senang. Aktivitas menanam rumput pun dilakukan lagi setiap seminggu sekali, dengan satu potong rumput yang dibawa oleh setiap siswa. []
[Disalin dari Buku “Bagaimana Ini Bagaimana Itu”, DD Press. Penulis: Syahril Siswanto]