Bagaimana Menghadapi Kepala Sekolah yang Kurang Kooperatif?

Sekolah memiliki sistem yang antarkomponennya saling berhubungan satu sama lain. Jika kepemimpinan kepala sekolah baik, maka guru-gurunya pun akan baik. Jika guru-gurunya baik, maka peserta didik pun akan berprestasi sehingga kualitas sekolah akan menjadi baik pula. Peristiwa di sekolah ini dapat dikatakan sebagai “efek gunung es”. Efek ini bermula dari kepemimpinan kepala sekolah, kemudian mencair ke guru-guru, lalu mencair lagi ke peserta didik.
Di sekolah yang saya dampingi, kasus seperti ini pernah terjadi. Dengan tidak baiknya kepemimpinan kepala sekolah, program-program yang ada untuk meningkatkan kualitas sekolah menjadi terhambat. Banyak program yang kurang terdukung oleh kepala sekolah yang kurang kooperatif. Program-program yang seharusnya tersampikan kepada guru-guru malah terhambat di kepala sekolah.
Kepemimpinan kepala sekolah yang tidak baik karena tidak kooperatif merupakan salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia. Saya tidak habis pikir, mengapa orang yang kurang kompeten untuk memimpin malah bisa dijadikan kepala sekolah? Bagaimana kriteria yang dilakukan oleh pemerintah untuk menjaring kepala sekolah? Apakah pemerintah hanya asal-asalan untuk memilih kepala sekolah?
Lalu bagaimana cara kita mengatasi permasalahan kepala sekolah yang seperti itu? Inilah pengalaman yang saya lakukan. Saya langsung melakukan pendekatan secara personal kepada guru-guru. Karena kepala sekolah tidak mau bergerak, mau tidak mau saya harus melakukan pendekatan kepada guru-guru untuk menyampaikan dan merealisasikan program yang ada.
Setelah melakukan inisiatif tersebut, saya menyadari bahwa ternyata pendekatan saya ini kurang efisien. Betapa tidak, saya harus mendekati guru satu per satu. Tentu memakan banyak sekali waktu untuk mendekati masing-masing guru, apalagi bila jumlah gurunya banyak. Kemudian saya berpikir, bagaimana caranya supaya program yang ada itu tersampaikan secara efektif dan efisien?
Kita ternyata bisa menyampaikan program kita secara efektif dan efisien walaupun tiadanya dukungan dari kepala sekolah. Caranya dengan berkoordinasi bersama-sama pihak Dinas Pendidikan setempat. Kita sampaikan program kita kepada pejabat dinas. Kalau perlu program kita itu dijadikan sebuah kebijakan yang harus dilakukan oleh sekolah. Kalau pemerintah sudah membuat kebijakan yang harus dilakukan sekolah, kepala sekolah yang awalnya kurang mendukung pun mau tidak mau harus bergerak. Memang bawahan itu akan bergerak ketika sang atasan sudah memberikan kebijakan yang tak boleh dilanggar. Inilah yang terjadi di sekolah dampingan saya.
Sekolah mendapatkan kehormatan untuk mengadakan sosialisasi Sekolah Adiwiyata. Sekolah Adiwiyata ini sejalan dengan Sekolah Ramah Hijau (Green School) yang merupakan salah satu target kegiatan dalam program pendampingan sekolah. Ketika sosialisasi, pimpinan Adiwiyata menyampaikan kepada pihak sekolah bahwa mereka harus segera membenahi hal-hal yang kurang agar bisa ditunjuk menjadi Sekolah Adiwiyata. Contohnya dengan menambahkan pohon yang rindang untuk sekolah, membentuk struktur organisasi Adiwiyata Sekolah, dan lain sebagainya.
Tetapi karena kepala sekolah kurang mendukung, masukan yang diberikan oleh pimpinan Adiwiyata itu tidak direspons. Keajaiban terjadi ketika pihak dinas mengirimkan surat yang menyatakan bahwa sekolah dampingan saya menjadi peserta verifikasi Sekolah Adiwiyata tingkat provinsi. Akibat kebijakaan mendadak ini, kepala sekolah akhirnya bergerak. Beliau langsung membenahi apa yang kurang dari sekolahnya.
Itulah salah satu pengalaman saya di sekolah. Permasalahan yang bermula dari kepala sekolah yang kurang kooperatif dapat diselesaikan secara efektif dan efisien dengan berkoordinasi dengan dinas setempat terkait adanya sebuah program. Bila perlu, program kita itu dijadikan suatu kebijakan supaya lebih bisa “memaksa” kepala sekolah untuk mau bergerak.
Sekali lagi, sekolah merupakan suatu sistem yang antar komponennya saling memengaruhi satu sama lain. Kepala sekolah yang baik, guru-guru pun akan baik. Ketika guru-guru baik, peserta didik pun akan baik juga. Begitu pun sebaliknya. []
[Disalin dari Buku “Bagaimana Ini Bagaimana Itu”, DD Press. Penulis: Ihsan Ariatna]