Bagaimana Membangun Sistem Kedisiplinan Guru?

Kali pertama saya datang di sekolah yang berlokasi di daerah Bogor (Jawa Barat) saya merasa sangat senang. Sebab, sekolah yang diamanahkan Dompet Dhuafa kepada saya ini memiliki nama besar lantaran kerap menjuarai beberapa lomba yang diikuti, baik di tingkat kecamatan maupun kabupaten. Rasa optimis membumbung dalam diri saya untuk terlibat lebih jauh dalam mengelola sekolah tersebut.
Awal aktivitas saya di sekolah ini pun diisi dengan pendekatan kepada warga sekolah dalam rangka menggali lebih dalam potensi sekolah. Selain itu, membuat ikatan yang baik agar kerja sama yang akan dilakukan pada waktu berikutnya dapat terlaksana dengan optimal.
Setelah beberapa waktu berlalu, diketahui bahwa kedisiplinan guru di sekolah ini belum maksimal. Sebelum sekolah ini dikelola oleh Dompet Dhuafa, ada beberapa guru yang sudah datang ke sekolah sejak pagi sebelum jam masuk sekolah, yaitu 07.30. Ada yang datang pada jam 08.30, 09.30, bahkan ada yang datang hanya pada jam mengajar.
Mengingat pada dunia pendidikan teladan lebih berpengaruh besar dibandingkan ucapan lisan, saya pun berupaya untuk membuat sistem dan kegiatan dalam rangka membenahi hal ini. Tujuannya, agar siswa di sekolah mendapatkan keteladanan yang baik dalam kedisiplinan, dengan dimulai dari ketepatan para guru datang ke sekolah.
Hal pertama yang diubah adalah jam kerja guru. Jika sebelumnya jam masuk kerja guru sama dengan jam mulai belajar siswa, saya ubah menjadi lebih awal 15 menit sebelum jam masuk. Dengan menjadikan jam masuk guru pada jam 07.15, diharapkan guru memiliki waktu yang cukup untuk merapikan diri sebelum bersiap masuk kelas dan mengajar. Perubahan ini diiringi dengan adanya form kehadiran guru yang wajib ditandatangani dan diisi dengan jam kedatangan dan kepulangan setiap harinya.
Beberapa saat pada awal pelaksanaan sistem baru ini, dilakukan evaluasi dan ternyata ada beberapa guru yang cukup terkaget-kaget dalam menyesuaikan diri dengan jam kerja yang baru dan kewajiban mengisi form. Maka, diputuskan guru diberi waktu adaptasi selama tiga bulan, dan setelah itu barulah sistem diberlakukan lebih ketat.
Tidak berhenti sampai di sini, evaluasi pun kembali dilakukan. Setelah tiga bulan beradaptasi, guru-guru mengalami perubahan yang lebih baik dalam kedisiplinan dan tidak ada lagi guru yang datang hanya pada jam mengajar.
Perubahan ini disambut baik oleh orangtua dan warga sekolah, termasuk para guru sendiri. Dengan adanya sistem kedisiplinan ini, lebih banyak guru yang terlihat keberadaannya di sekolah sehari-hari, dan hal ini membuat para guru merasa lebih mudah berkoordinasi satu sama lain sehingga memudahkan pekerjaan.
Meskipun demikian, setahun setelah itu didapati temuan bahwa ternyata terjadi penurunan dalam mengisi form kehadiran. Tidak hanya itu, form juga dianggap memiliki kelemahan karena cara pengontrolannya sulit. Sistem diperbaiki dan kali ini usul datang dari guru dan pihak-pihak yang semakin menganggap pentingnya arti kedisiplinan. Sekolah pun memutuskan untuk membeli mesin absensi finger print, karena dianggap lebih akurat terhadap info ketepatan waktu kedatangan dan kepulangan guru.
Setelah mesin absen finger print diberlakukan, respons guru di sekolah berbeda dengan saat berlakunya form kehadiran. Jika dulu mereka membutuhkan waktu untuk beradaptasi, kali ini mereka langsung mampu menyesuaikan diri. Hal ini dimungkinkan karena perubahan hanya terjadi pada format tanda kehadiran saja, sementara jam kerja tidak mengalami perubahan. Dengan demikian, absen finger print menjadi semacam penyempurnan sistem kedisiplinan yang telah diterapkan sebelumnya.
Di sisi lain, absen finger print ini ternyata lebih memudahkan pihak manajemen sekolah dalam melakukan kontrol. Setiap bulannya, tata usaha sekolah memiliki data akurat info kedatangan
dan kepulangan guru. Dari data ini kemudian guru yang terdata memiliki tingkat kedisiplinan tinggi mendapat reward. Meskipun reward berupa suatu wujud barang yang sederhana, terbukti cukup mampu mempertahankan guru-guru tersebut untuk tetap disiplin.
Sedangkan guru yang terdata memiliki tingkat keterlambatan yang cukup tinggi, akan dilakukan coaching. Dalam proses coaching biasanya saya lebih banyak melakukan diskusi mencari akar masalah ketidakdisiplinan guru tersebut dan bersama-sama mencari solusi agar hal tersebut dapat terselesaikan.
Namun, biasanya masalah apa pun yang terungkap dalam diskusi lebih banyak alasan klise, yang pada dasarnya bukan alasan utama guru melakukan tindakan indisipliner. Karena sesungguhnya masalah-masalah tersebut juga dimiliki oleh guru lain, namun mereka tetap bisa berdisiplin.
Oleh karena itu, saat coaching biasanya, selain menggali masalah guru, saya juga melakukan tindakan lain dalam rangka membangkitkan kembali kebanggaan guru dalam mengemban profesinya.
Kebanggaan ini dimunculkan dengan diingatkannya kembali kepada guru bahwa mereka adalah penyempurna pendidikan yang diberikan orangtua di rumah kepada anak. Jika ia melaksanakan profesinya dengan baik, maka ia ikut terlibat langsung dalam memperkuat karakter baik pada anak.
Selain membangkitkan kebanggaan guru akan profesinya, saya juga mengingatkan bahwa profesi yang saat ini dimiliki adalah anugerah dari Allah. Kesyukuran menjadi guru harus diwujudkan dengan melakukan yang terbaik dalam pekerjaan, termasuk menerapkan kedisiplinan kerja.
Pemberian reward dan coaching ini ternyata tidak kalah penting dibandingkan sistem kedisiplinan itu sendiri. Dari pengalaman saya ini, jika sekolah ingin memiliki guru yang hebat dalam kedisiplinan, sebaiknya sekolah tidak hanya menuntut guru dalam melaksanakan kedisiplinan dengan membuat dan menerapkan sistem kedisiplinan, namun juga memerhatikan unsur penguatan. []
[Disalin dari Buku “Bagaimana Ini Bagaimana Itu”, DD Press. Penulis: Ati Hidayati]