Bagaimana Menyelesaikan Konflik Antarguru?

Bagaimana Menyelesaikan Konflik Antarguru?

Tahun ketiga saya diberi amanah oleh Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa untuk kembali memegang Sekolah Ramah Hijau (Green School) di sekolah dampingan yang baru.  SDN Lalareun, Bandung (Jawa Barat) merupakan sekolah yang dipilih oleh donatur untuk saya dampingi selama satu tahun. Tak terasa sudah hampir delapan bulan saya berada di sekolah ini dan mendampingi para guru SDN Lalareun untuk mewujudkan sekolah yang ramah lingkungan.

Sekolah ini tepat berada di tengah-tengah kawasan pabrik yang setiap harinya menyembulkan polusi udara yang dihasilkan dari cerobong asap. Polusi udara tersebut dihasilkan dari pembakaran batu bara yang kalau dihirup secara terus-menerus bisa berbahaya bagi warga sekitar dan warga sekolah. Oleh sebab itu, program ini sangat tepat dilaksanakan di SDN Lalareun dibandingkan dengan sekolah yang lain di Kecamatan Ibun. Selain letaknya cocok dengan program, sekolah SDN Lalareun pun memiliki guru-guru yang semangat, giat, dan cerdas serta sangat bertanggung jawab dalam melaksanakan berbagai tugas yang diprogramkan sekolah.

Semenjak program Sekolah Ramah Hijau digulirkan di sekolah ini, para guru mulai menata  sekolah dan kelas mereka masing-masingsetiap pekan dengan menanam dan merawat tanaman. Selain itu, sekolah ini mendapatkan berbagai bantuan fisik berupa pengeboran untuk air bersih, kantin anak sehat, dan penanaman. Dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan ini, saya selalu berkonsultasi dan berkoordinasi dengan kepala sekolah dan guru.

Dalam satu kesempatan, pihak donatur program kembali memberikan bantuan berupa paving block untuk halaman sekolah. Di sinilah masalah mulai terjadi. Kebersamaan para guru diuji. Ketika membangun kantin anak sehat di sekolah, guru-guru dengan sukarela membantu sebagian konsumi untuk pekerja secara bergiliran. Namun, ketika pemasangan paving block, hanya dua orang guru yang terlibat membantu konsumsi untuk pekerja. Ada apa gerangan?

Saya pun berkonsultasi dengan salah seorang guru untuk mengetahui duduk persoalannya. Rupanya, proses pemilihan tukang untuk pemasangan paving block tidak berkenan di hati sebagian guru lantaran menggunakan cara tunjuk langsung, tanpa musyawarah dengan dewan guru dan Komite Sekolah. Parahnya lagi, ketika Komite Sekolah ingin membantu, justru ditolak mentah-mentah.

Setelah tahu duduk persoalannya, saya pun mengusulkan kepada dewan guru untuk menghentikan pemasangan paving block karena rawan konflik. Begitu pemasangan dihentikan oleh pihak sekolah dengan alasan tidak sanggup membayar tukang, masalah baru hadir. Guru yang diamanahi memasang paving block langsung jatuh sakit. Penghentian pemasangan ternyata juga belum bisa mengembalikan semangat kerja guru ini seperti semula. Guru-guru juga belum bisa kembali kompak sebagaimana sebelum ada kegiatan pemasangan.

Guru yang diamanahi pemasangan tersebut sehari-harinya begitu bersemangat menemani saya dalam membangun air bersih, kantin, dan tanaman. Saya mengenal sosok beliau sangat santun, cerdas, dan bersemangat. Saya merasa bahwa guru ini berubah sejak pengadaan paving block dihentikan pekerjaannya dan diganti oleh Komite Sekolah.

Setelah pulih dari sakitnya, beliau tidak lagi menemani saya dalam mengawal program. Padahal, beliau selalu mendukung dan memberikan arahan dalam program yang saya emban. Hampir tiap hari saya sharing dan bercanda dengan beliau mengenai SDN Lalareun. Namun, ketika beliau berubah, saya merasa khawatir akan keharmonisan sekolah ini. Saya pun bergegas mendatangi beliau untuk menguatkan silaturahim.

Rupanya perubahan guru tersebut dirasakan juga oleh guru-guru yang lain. Tidak ingin keharmonisan dan kebersamaan di antara guru rusak hanya karena urusan paving block, saya menyarankan kepada para guru untuk kembali berkumpul dengan beliau, dan berbicara dengan terbuka tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan beliau. Bagaimana pun juga beliau memiliki andil dan jasa penting dalam memajukan sekolah.

Agar suasana kurang kondusif di antara para guru berakhir, saya kemudian mengusulkan kepada salah satu guru yang berpengaruh di sekolah ini untuk mengadakan pertemuan bersama. Pertemuan melibatkan semua guru, dengan kepala sekolah menjadi penengah. Perlu ada islah atau penyelesaian bijak hingga para guru kembali harmonis hubungannya.

Alhamdulillah, tidak dalam waktu lama, konflik yang menyeruak itu berhasil teratasi. Dengan pendekatan komunikasi yang baik dan terbuka, guru tersebut kembali harmonis hubungannya dengan guru-guru yang lain. Masing-masing pihak bisa saling bekerja sama memajukan sekolah.

Dari peristiwa ini saya memetik pelajaran berharga. Guru memang dituntut memberikan keteladanan bagi peserta didik. Namun, guru tetaplah manusia biasa; ia tidak luput dari lupa dan khilaf. Masalah ringan akibat tidak adanya komunikasi bersama bisa melahirkan konflik.

Membiarkan konflik demi menuruti ego pribadi guru tentu tidaklah bijak. Situasi tidak harmonis di antara guru hanya akan melahirkan perasaan saling curiga antarguru. Hal ini berbahaya bagi

pembelajaran di kelas. Anak didik yang tidak terlibat dalam konflik bakal menerima imbasnya. Solusi mengatasi konflik seperti ini bisa diawali dengan pendekatan komunikasi. Tiap-tiap yang terlibat konflik harus memiliki kedewasaan. Memikirkan dampak dari berlarutnya konflik. Bagaimanapun, berdamai amat jauh lebih baik dan terhormat. []

[Disalin dari Buku “Bagaimana Ini Bagaimana Itu”, DD Press. Penulis: Irman Parihadin]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares