Bagaimana Meneladankan Kepemimpinan Kepada Warga Sekolah?

Sikapnya cuek dan kurang komunikatif. Itu kesimpulan saya setelah pertama kali bertemu seorang kepala sekolah dasar di Sorong (Papua Barat) saat diperkenalkan Pendamping Sekolah sebelumnya bersama Pak Zainal Umuri yang mengantar saya ke Tanah Papua.
Sederet masalah yang saya hadapi di awal pendampingan butuh pisau analisis yang tajam. Mencari pola komunikasi yang tepat dan efektif agar target satu bulan pendampingan awal tercapai. Kunci atau bola perubahan titahnya ada di kepala sekolah. Sehingga, orang pertama yang harus dijadikan mitra adalah yang memegang amanah kapten, yaitu kepala sekolah.
Saya punya komitmen mematahkan hipotesis sebelumnya bahwa kepala sekolah yang baru itu kurang kooperatif. Saya punya tekad membuktikan bahwa kepala sekolah saat ini merupakan pimpinan yang peduli dengan kemajuan, dan bisa membawa sekolah kami ke arah perubahan yang lebih baik.
Setelah benang merah masalah ditemukan, saya berupaya melakukan komunikasi yang intensif dengan kepala sekolah, Pak Broto namanya. Memberikan beberapa saran terkait kedisiplinan guru dan kebersihan sekolah. Dua masalah ini paling akut bagi saya. Prediksi saya hal ini bisa terjadi disebabkan kurangnya keharmonisan hubungan antara pimpinan dan guru. Umumnya guru belum bisa bersinergi dengan pimpinan baru.
Untuk itu, coaching saya lakukan saat guru sedang melakukan pembelajaran di kelas. Hal ini berlangsung tidak formal. Dimulai dengan basa-basi, dalam proses komunikasi pun kadang saya bercanda jika ada dampak negatif dari masalah yang dihadapi, dan mengakhiri coaching dengan kalimat tegas tanpa mendikte.
Saya senang karena rekomendasi atau pilihan-pilihan yang saya sarankan dilakukan dengan maksimal oleh Kepala Sekolah. Salah satunya mulai membuka diri dan belajar memulai komunikasi dengan guru-guru. Terbuka dengan guru dalam hal kebijakan dana BOS dan BOSDA.
“Ibu Bapak, jika ada alat dan bahan yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran silahkan disampaikan ke Bendahara. Atau dibeli dengan uang sendiri kemudian notanya diserahkan ke Bendahara sehingga uangnya diganti,” tuturnya di ruang guru saat istirahat.
Seiring berjalannya waktu, saya seolah melihat grafik perubahan makin naik. Namun, itu tidak membuat rasa puas pada sang kapten kami di sekolah. Pak Broto selalu mengingatkan kepada anak-anak saat menjadi pembina upacara untuk disiplin dan melaksankan tugas kelompok kerja (pokja) siswa tanpa perlu menunggu guru memberikan aba-aba.
Bukan hanya berbicara tegas saat upacara Senin, Kepala Sekolah juga memberikan contoh langsung kepada anak-anak dalam menjaga kebersihan sekolah. Memungut sampah di pagi hari dan kadang menyapu beranda depan ruang guru jika tidak bersih disapu anak-anak. Bahkan yang paling sering saya saksikan adalah kebiasaan beliau memasukkan keset sebelum meninggalkan sekolah.
Peristiwa yang paling membekas di hati saya adalah menyaksikan Pak Broto membakar semangat para siswa usai upacara bendera. Meneriakkan yel-yel sekolah dengan lantang dan dijawab oleh ratusan siswa kelas 1 sampai kelas 6.
“44 BISA………, 44 BISA……….., 44 BISA……….” terdengar lantang yel-yel yang dipimpin Kepala Sekolah.
Dijawab oleh siswa, “BISA. BISA. BISA. Yessss……………” Komunikasi verbal yang diperlihatkan menunjukkan bahwa dalam sikap diamnya, kepala sekolah kami ternyata tetap mengevaluasi perkembangan dan kemunduran sekolah. Dalam obrolan ringannya, beliau selalu menyampaikan kualitas pembelajaran dan pemanfaatan potensi anak-anak didiknya.
Kepala Sekolah mengalah dalam banyak hal demi perubahan sekolah. Telah terlihat upaya kerja kerasnya. Sekolah kami sekarang lebih bersih dan enak dipandang mata. Selalu menjadi tuan rumah rapat kepala sekolah segugus, dan menjadi Aula Dinas Pendidikan Kabupaten Sorong. []
[Disalin dari Buku “Bagaimana Ini Bagaimana Itu”, DD Press. Penulis: Zakia Ahmad Taher]