Bagaimana Membangun Komitmen Siswa?

Lonceng berbunyi tepat pukul 07.30 WIT, semua siswa di sebuah sekolah dasar di Jayapura mulai berbaris rapi di depan kelas masing-masing. Hal yang menyenangkan saat melihat siswa-siswa kelas 1 yang berbaris. Tubuh mereka yang kecil terlihat menggemaskan dengan pakaian putih-merahnya. Belum lagi jika baju yang dipakai lebih besar dari ukuran baju yang semestinya. Instruksi sang ketua kelas diikuti dengan saksama hingga akhirnya mereka berjalan satu per satu masuk ke dalam kelas.
Siswa kelas 1 memang menggemaskan, namun tantangannya luar biasa saat berdiri di depan mereka untuk mengajar. Masalah yang sama akan selalu ditemui oleh guru kelas 1, yaitu terkait membaca dan menulis. Mengajarkan anak membaca dari nol tentu bukan hal yang mudah. Saya selalu salut saat melihat guru-guru kelas 1, dengan sabar mereka mengajarkan deretan abjad dari A sampai Z. Bukan Masalah jika guru bertemu dengan anak yang punya keinginan untuk belajar. Lain halnya jika guru malah bertemu dengan anak-anak yang malas dan tidak termotivasi untuk belajar, atau anak yang merasa minder karena hanya dirinya di kelas yang belum bisa mengenal huruf.
Tak jarang ada sebagian guru memarahi sang anak yang belum bisa apa-apa ini, memberinya label-label negatif “bodoh” dan yang sejenisnya. Akhirnya, sang anak semakin merasa minder karena jadi bahan ejekan teman-temannya, sehingga kian membuat sang anak diam seribu bahasa saat ditanya, dan tidak mengindahkan perintah guru saat ditugaskan untuk membaca ataupun menulis.
Tidaklah bijak menyudutkan anak ini, atau menyalahkan orang tua mereka sepenuhnya. Orangtua siswa di sekitar Abepantai Sebagian besar berprofesi sebagai petani dan pedagang. Pergi pagi bersama sang anak, pulang menjelang maghrib. Ya, hampir tidak ada waktu untuk mengontrol waktu belajar anak. Pulang maghrib, sudah pasti orangtua kelelahan, dan selanjutnya memenuhi hak tubuhnya untuk segera beristirahat. Saya yakin, para orang tua bukan tidak peduli terhadap pendidikan buah hatinya. Tuntutan ekonomi telanjur membuat mereka bekerja banting tulang dari pagi hingga petang. Dalam keadaan seperti ini, orangtua memercayakan sepenuhnya pendidikan anak pada guru-guru di sekolah. Tentu saja sikap semacam ini sangat tidak ideal, tapi tak ada cara lain yang bisa dilakukan.
Di lain pihak, guru terpaksa harus mengerahkan segala tenaga untuk mencerdaskan anak-anak yang telah dititipkan para orangtua padanya. Tak jarang ada guru-guru yang mengeluhkan kondisi ini. Namun, mengeluh tak akan membuahkan hasil. Mengeluh tidak lantas membuat para orangtua siswa berhenti bekerja, dan memerhatikan pendidikan anaknya. Mengeluh juga tak lantas membuat anak cerdas seketika. Mengeluh hanya akan membuat para guru bermain-main dalam alam pikiran negatifnya. Jika guru membawa aura negatif ke dalam kelas, tentu saja berdampak negatif pula pada siswa-siswanya.
Syukurlah, hal semacam itu tidak terjadi di kelas 1A. Melihat beberapa siswanya tidak termotivasi untuk belajar atau bahkan malu karena tertinggal dalam hal pelajaran, sang guru kreatif membuat sebuah kebiasaan di kelasnya. Ibu Aibini, sang guru itu, melakukan kebiasan sederhana namun berdampak luar biasa. Kebiasaan yang bagi orang umum mungkin terlihat amat biasa, tapi sebenarnya sang guru tengah membangun energi postif luar biasa pada alam bawah sadar anak. Kebiasan ini adalah berkomitmen setiap pagi.
Sebelum pembelajaran dimulai, ketua kelas memimpin doa, memberi salam kepada guru, dan memimpin teman-temannya untuk berkomitmen. Dari lisan mungil anak-anak kelas 1A setiap pagi selalu terdengar ucapan mereka sembari sedikit berteriak:
“Komitmen Saya:
1. Saya akan Bisa,
2. Saya pasti Bisa,
3. Saya harus Bisa.”
Sesuatu yang sederhana, bukan? Namun, hasilnya sangat berdampak positif bagi anak. Anak-anak diajarkan untuk percaya pada diri sendiri, percaya pada kemampuannya, dan memacunya untuk lebih maju. Ya…. Allah menciptakan setiap manusia dengan kelebihannya masing-masing. Tidak ada anak yang “bodoh”, karena Allah tidak pernah menciptakan sesuatu yang gagal. []
[Disalin dari Buku “Bagaimana Ini Bagaimana Itu”, DD Press. Penulis: Atika Rahmah]