Bagaimana Menggelar Razia Kelas Dengan Bijak?

Bel pulang sekolah telah berbunyi. Siswa salah satu sekolah dasar di Paser (Kalimantan Timur) membubarkan dirinya masing-masing. Ada yang berlari sambil berteriak gembira, ada yang menghampiri beberapa guru untuk bersalaman, dan ada juga yang berdoa terlebih dahulu di kelas walaupun tanpa ada gurunya mendampingi. Dalam hitungan detik suasana di sekolah tampak lengang, hanya tersisa segelintir guru yang masih berada di ruang kantor.
Saat itu tak sengaja saya berjalan di teras sekolah melintasi kelas 5. Terdengar suara tangisan kecil diiringi dengan suara benda yang seperti sedang dibentur-benturkan. Penasaran dengan suara tersebut, saya langkahkan kaki menuju ruang kelas 5.
“Kenapa belum pulang?” tanya saya.
“Ini, Pak, masih nungguin Andry,” sahut Upik spontan.
Saya lihat Andry sedang tersedu-sedu menangis sembari menendang-nendang meja dan bangku sekolah.
Saya baru teringat kalau ternyata saat jam pelajaran berlangsung sebelumnya telah terjadi sesuatu di kelas ini. Saat itu sedang berlangsung pelajaran Matematika oleh Ibu Mastinah. Salah satu siswa menghidupkan sebuah MP3 saat jam pelajaran berlangsung. Padahal, jelas-jelas siswa dilarang membawanya ke sekolah, apalagi menghidupkannya saat jam pelajaran berlangsung.
Seperti biasa, jika ada salah keributan atau kasus di kelas, sosok yang paling dibutuhkan untuk mengatasi masalah adalah Pak Muhni. Guru Olahraga yang cukup disegani ini menceramahi seluruh siswa kelas 5. Tahu ada siswa yang membawa dan menghidupkan MP3 di dalam kelas, razia dadakan pun digelar beliau.
Berdasarkan cerita guru-guru di sekolah, dahulu kelakuan anak murid di sekolah ini sangat menghawatirkan. Mulai dari membawa ponsel dengan konten video porno di dalamnya, kasus merokok, ngelem, hingga perkelahian yang melibatkan orangtua. Syukurnya, keadaan di sekolah ini sekarang tidak lagi separah dulu.
Akibat terjadinya razia pada hari itu, salah seorang siswa dinyatakan membawa barang yang tidak dibolehkan oleh sekolah. Tanpa basa-basi, MP3 yang dibawa oleh salah satu siswa tersebut diambil oleh Pak Muhni. Tanpa keterangan yang jelas kapan akan dikembalikan, Andry, sang pemilik MP3, semakin was-was, khawatir barang yang dimilikinya tidak akan lagi dikembalikan.
Terlihat beberapa kali Andry mondar-mandir ke kantor untuk membujuk Pak Muhni agar berkenan mengembalikan barang miliknya. Namun, Pak Muhni tetap bergeming, bahkan mengancam untuk membawa MP3 tersebut pulang dan memberikannya untuk anaknya di rumah. Meskipun hanya sedang mengakali, ancaman Pak Muhni tersebut seakan-akan sesuatu yang serius bagi Andry. Inilah yang memunculkan amarah dalam diri Andry.
“Kenapa Andry?”
Awal-awal dia tak menjawab pertanyaan saya. Dia hanya terus melangkahkan kakinya mengelilingi kelas sembari menendang-nendang bangku dan meja dengan berkata-kata yang sangat tidak pantas diucapkan oleh anak seusianya, bahkan untuk orang dewasa sekalipun. Saya pun dengan sabar tetap merangkulnya dan mengikuti gerakannya yang masih berapi-api. Ia sudah telanjur terbawa emosi, dan begitu marah dengan Pak Muhni.
Saya menjadi penasaran, dan ingin terus menggali masalah yang kelihatannya sepele ini. Si Upik yang setia menemani Andry hanya terdiam memerhatikan saya sembari sesekali tersenyum. Kesabaran saya akhirnya membuahkan hasil. Dengan beberapa jurus membujuk andalan, akhirnya Andry bicara.
“Andry tahu kan kalau enggak boleh bawa MP3 ke sekolah?”
“Ya tahu, Pak, tapi saya tidak sengaja membawanya,” sahutnya terbata-bata masih sambil menangis.
“Lho kok bisa begitu?”
“Saya tidak pernah bawa MP3 ke sekolah, Pak. Itu terbawa di tas saya. Soalnya kalau enggak disimpan di tas, MP3 itu akan dimainin sama adik saya di rumah. Makanya saya simpan di tas. Cuma saya salah bawa tas ke sekolah. Tas saya ada dua, Pak, tapi tas yang satu ini yang ada MP3. Saya lupa, Pak, kebawa tas yang ini.” Andry membela diri sembari menunjukkan tasnya kepada saya.
Selanjutnya, tanpa ditanya, Andry pun terus saja berbicara. Banyak sekali yang disampaikannya tentang apa yang terjadi sebenarnya.
“Pas di kelas tadi, bukan saya yang ngidupin, Pak. Ryan yang ngidupinnya. Padahal, MP3 itu baru saja saya beli, Pak. Pakai uang saya sendiri dari hasil jual durian, masak mau diambil begitu aja?” Nada menangis Andry mulai meninggi.
“Oke, Andry, kalau Andry tidak bersalah mari Bapak temani kamu bertemu Pak Muhni di kantor, supaya MP3-mu bisa dikembalikan. Mumpung Pak Muhni belum pulang.”
Andry tidak langsung menuruti ajakan saya. Dia masih terbawa rasa marah, bahkan berkata-kata akan merusak jendela kantor agar bisa mendapatkan kembali MP3 miliknya.
“Kalau Andry melakukan seperti itu sama juga Andry merusak sekolah Andry sendiri,” terang saya kepadanya.
Banyak lagi nasihat yang saya sampaikan agar dapat meluluhkan hati Andry. Hingga akhirnya ia mau diajak untuk memberanikan diri menuju ruang kantor dan menjelaskan duduk permasalahan sebenarnya kepada Pak Muhni. Saya terus meyakinkan dirinya, ditemani oleh Upik yang juga memberikan nasihat dan dukungan yang sama.
Dengan suasana hati yang masih membara dan sedikit tangisan kecil, Andry melangkah menuju ruang kantor. Tiba di kantor, semua mata tertuju padanya. Beberapa guru memerhatikan dan bertanya. Saya pun menyampaikan maksud dan tujuan membawa Andry.
“Ini, Pak, Andry akan menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi soal MP3 yang Bapak ambil tadi.” Ungkap saya kepada Pak Muhni saat menggandeng Andry duduk di kursi tamu kantor.
Pak Muhni hanya tersenyum sembari membolak-balik MP3 Andry. Hingga akhirnya duduklah beliau bersama-sama di kursi tamu kantor beserta beberapa guru yang lain. Terjadilah percakapan panjang. Tidak hanya Pak Muhni yang menginterogasi, guru-guru yang lain juga ikut bertanya. Pada awalnya, guru-guru tidak begitu saja memercayai pengakuan dan penjelasan panjang Andry, apalagi Pak Muhni. Saya memancing Andry untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, tentunya dengan jujur.
Setelah merasa yakin atas ucapan Andry, Pak Muhni akhirnya bersedia mengembalikan MP3 itu. Tentunya dengan beberapa perjanjian dan pernyataan yang harus dipenuhi Andry untuk tidak mengulangi perbuatannya. Andry juga diminta untuk rajin memeriksa lebih dahulu tas dan perlengkapan belajarnya sebelum berangkat ke sekolah.
Andry berjanji tidak akan lagi mengulangi kekeliruannya. Dia bersedia jika masih melakukan kesalahan yang sama, dirinya siap menerima konsekuensi yang akan diberikan oleh para guru.
Pertemuan saat itu berakhir dengan baik. Andry bersalaman dengan Pak Muhni dan guru-guru yang lainnya untuk meminta maaf. Saya lihat raut wajahnya sudah berubah, mungkin karena MP3 miliknya telah berada di tangannya.
Kejadian di sekolah ini mungkin saja terjadi juga di sekolah-sekolah lain di tanah air. Demi menegakkan aturan sekolah, menggelar razia bukanlah tindakan yang salah. Namun yang perlu juga diperhatikan adalah perlunya klarifikasi terlebih dahulu terhadap si pelaku yang dituduh melanggar tersebut. Dalam kasus Andry, dia diberikan kesempatan untuk mengklarifikasi kejadian sebenarnya.
Mengapa harus ada klarifikasi? Karena kita tidak ingin gara-gara razia itu timbul kesalahpahaman bahkan kebencian siswa terhadap guru, atau sebaliknya. Bayangkan saja jika tidak ada mediasi yang dilakukan dalam kasus Andry. Di satu sisi, sang guru merasa apa yang dilakukannya sudah benar. Namun, di sisi yang lain, si siswa beranggapan bahwa gurunya itu jahat, hingga tertanamlah rasa dendam dan kebencian terhadap sang guru.
Untuk itulah, menjadi suatu keharusan bagi seorang guru agar mampu melakukan pendekatan personal dan emosional yang baik kepada siswanya. Terlebih lagi dalam menghadapi kasus-kasus tertentu yang jauh lebih kompleks. Begitu juga dengan siswa, mereka mempunyai hak untuk berbicara dengan jujur, tapi jelas mereka juga harus tahu batasan-batasannya sebagai siswa.
Dengan kata lain, siswa mematuhi peraturan yang sudah ditetapkan oleh pihak sekolah. Dalam kasus ini, Pak Muhni dan Andry telah memberikan
pelajaran yang berharga. []
[Disalin dari Buku “Bagaimana Ini Bagaimana Itu”, DD Press. Penulis: Ziah Ul Haq]