Bagaimana Menyentuh Hati Siswa

Apa yang terlintas di kepala kita sebagai seorang guru jika ada anak yang berbuat masalah di kelas? Pertanyaan ini saya ajukan saat mengisi Pelatihan Manajemen Kelas di sekolah dampingan.
Sebelumnya para peserta saya berikan post it agar mereka bisa menjawabnya di kertas. Hasilnya? Dari dua puluh peserta yang hadir, jawabannya beraga; ada yang santun sampai yang mengarah ke tindakan kekerasan pada siswa.
Berangkat dari jawaban peserta, saya mengambil kesimpulan sederhana. Masih banyak dari kita, para pendidik, yang langsung memilih memberikan punishment untuk menyelesaikan masalah di kelas ajar kita masing-masing, tanpa melakukan tahapan-tahapan yang lebih positif seperti memberikan pujian, tatap, dekati, sentuh, dan konsekuensi.
Sejatinya, memberikan punishment di awal tidak memberikan perubahan yang berarti terhadap perubahan sikap anak di kelas. Salah-salah malah kita telah mencederai psikologi anak sehingga anak menjadi apatis terhadap sosok kita di kelas. Jika sudah begini, anak akan terhambat dalam menerima informasi dari kita.
Tanpa disadari kita sering mencederai psikologi anak didik kita, baik dengan ucapan ataupun dengan tindakan. Pernah satu kali saya mendengar langsung rekan saya sesama guru menanyai salah seorang siswa kelas 6 tentang rencana setelah lulus SD. Tanpa ragu siswa itu menjawab salah satu SMP favorit di daerah kami. Yang membuat saya terkejut adalah tanggapan gurunya. “Kamu tidak cocok sekolah di sana, itu bukan grade kamu! Cari yang biasa-biasa saja,” seru sang guru dengan suara yang didengar banyak siswa yang berada di ruangan. Anak itu pun diam tak menjawab. Entah apa yang di pikirannya diperlakukan seperti itu di hadapan temantemannya.
Ucapan maupun tindakan kita, bisa menjadi penyemangat buat siswa jika kita lakukan secara positif. Namun, bisa juga sebaliknya jika kita melakukannya dengan negatif: akan jadi pelemahan semangat siswa. Memang, persoalan menghadapi siswa yang bermasalah menjadi sangat dilematis. Satu sisi, jika dilakukan dengan lemah, perilaku siswa akan semakin menjadi-jadi di kelas. Di sisi lain, jika dilakukan dengan keras, urusannya bisa dengan wali siswa yang marah akibat tidak terima dengan perlakuan keras tersebut. Inilah ungkapan yang coba dikeluhkan peserta.
Menghadapi siswa saat ini bukanlah pekerjaan mudah apalagi jika input-nya memang terdiri dari anak-anak yang tidak terkondisi hidup teratur dan terbiasa patuh pada aturan. Atas permasalahan seperti ini, jawabannya singkat: manajemen kelas.
Apa itu manajemen kelas? Banyak pakar pendidikan yang mendefinisikannya, namun satu saja yang cukup saya sebutkan. Manajemen kelas mengandung pengertian sebagai “segala usaha yang diarahkan untuk mewujudkan suasana belajar yang efektif dan menyenangkan serta memotivasi murid agar dapat belajar dengan baik” (Weber. W.A., 1988).
Jadi, dalam mengatasi permasalahan siswa, seorang guru harus memiliki hasrat yang kuat untuk membantu memecahkan persoalan yang dihadapi siswa sekaligus memiliki kemauan untuk mempelajari jalan keluarnya. Di sinilah peran rasa empati guru dibutuhkan karena rasa empati guru dapat meningkatkan perasaan peka terhadap realitas yang dihadapi siswanya, sekaligus berpikir jalan keluarnya.
Rasa empati ini amat penting bagi guru agar dapat menyusun rencana pembelajaran berbasis kebutuhan belajar siswa. Adanya rasa empati guru bersangkutan dapat mengenali, memberikan jalan keluar atas permasalahan yang dihadapi siswa, sekaligus dapat mengelola konflik perasaan yang dihadapi guru tersebut.
Guru yang memiliki rasa empati atas permasalahan yang dihadapi siswa biasanya lebih dihargai siswanya, karena dianggap yang paling mengerti persoalan diri peserta didik. Bagaimanapun juga hati hanya bisa disentuh dengan hati.
Oleh karena itu, mulailah dengan mengecilkan punishment dalam setiap menyelesaikan permasalahan siswa di kelas. Di sisi lain, jangan segan untuk memberikan penghargaan (reward) kepada siswa jika memang mereka layak untuk diberikan penghargaan.
Tentu saja penghargaan tidak mesti berbentuk barang. Pujian dan sentuhan sayang seorang guru pun bisa memompa semangat siswa, sehingga siswa bisa tumbuh dan berkembang melebihi batas kemampuan yang kita tahu. []
[Disalin dari Buku “Bagaimana Ini Bagaimana Itu”, DD Press. Penulis: Abdul Kodir]