Menolong Okto

Meski sudah berseragam dan berangkat ke sekolah, Oktovianus Kemong tidak pernah masuk ke kelas. Siswa kelas 4 ini memilih bermain wayang di
belakang sekolah ketimbang belajar.
KARENA PENASARAN dengan caranya bermain hingga ‘betah’, saya meminta izin wali kelas 4 untuk memerintahkan salah satu siswa memanggil Okto. Henok, salah satu teman dekat Okto, diperintahkan untuk
memanggil temannya itu. Awalnya Henok tidak mau karena khawatir bakal dipukul Okto.
“Sampaikan ke Okto, Pak Guru ingin bertemu.” Saya meyakinkan Henok. Sekejap saja Henok berlari memanggil Okto. Okto pun tiba dengan Henok, dan langsung menghadap saya.
“Oh ini yang namanya Okto?” Tanya saya kepada Bu Harianti, wali kelas Okto dan Henok.
Bu Harianti pun mengiyakan.
“Okto, kau dari mana sajakah? Katanya tidak masuk ke kelas di belakang main wayang?” Tanya Bu Harianti dengan nada santai. Okto hanya bisa tersenyum malu tanpa bisa menjawab pertanyaan wali kelasnya. Sedikit-sedikit ia menundukkan kepala.
“Begitulah Okto, Pak, kalau ditanya hanya senyam senyum saja.” Pungkas Bu Harianti.
“Okto, Pak Guru ingin tanya. Tadi di belakang main wayangkah?” Tanya saya.
“Iya, Pak Guru.” Jawab Okto.
“Kenapa tara masuk kelas?”
“Main wayang saja di belakang, Pak Guru.”
“Okto boleh bermain, tapi mainnya dengan cara yang baik ya. Utamakan dulu belajar, setelah belajar baru Okto boleh bermain.”
“Iya, Pak Guru.”
“Ayo, sekarang Okto masuk ke kelas, Okto harus rajin masuk kelas ya?”
“Iya, Pak Guru.” Kali ini Okto menjawab diiringi senyuman.
SETELAH PERTEMUAN ITU, ADA sedikit perubahan pada Okto dari yang awalnya amat jarang masuk sekolah. Terhitung beberapa kali saja ia tidak masuk sekolah dikarenakan ada sebab lain.
Menurut Bu Harianti, Okto sebetulnya bagus dalam Matematika. Pas! Saat itu saya yang sedang mencari siswa berprestasi dari keluarga tidak mampu, seperti menemukan orang yang tepat. Saya pun berniat memasukkan nama Okto sebagai penerima beasiswa. Sayangnya, ada satu kendala: Okto tidak selalu masuk kelas.
Akhirnya saya mencoba untuk melakukan home visit untuk melihat perkembangan belajar Okto di rumah. Saya ingin berbicara dengan orangtuanya sekaligus melihat kondisi rumah Okto.
Menemukan rumah Okto ternyata tidak mudah. Alamat yang saya terima kurang begitu jelas dan tidak lengkap. Karena rasa penasaran dan ingin tahu yang mendalam tentang Okto, saya bersikukuh mencari alamat rumahnya. Berbekal informasi dari warga yang saya tanya, akhirnya ditemukan titik terang keberadaan Okto. Saya ditunjukkan oleh mama-mama tempat Okto berada, yakni di ladang.
Langsung saja saya menghampiri tempat yang ditunjukkan. Ternyata memang benar Okto sedang bermain bersama teman-temannya. Okto merasa kaget dan terheran tiba-tiba ada yang memanggilnya.
“Okto sedang apakah?”
“Sedang main, Pak Guru.” “Pak Guru boleh main ke rumah Okto kah?” Okto tidak mau menjawab. Seperti ada ketakutan. “Pak Guru boleh tahu rumah Okto dan bertemu sama papa dan mama Okto toh?”
Okto kembali tidak mau menjawab. Tapi, ia akhirnya bersedia mengajak saya berkunjung dan bertemu dengan orangtuanya.
PERJALANAN DARI LADANG KE rumahnya cukup jauh. Sambil berjalan, saya pun memanfaatkannya untuk berbincang. Saat kaki saya terus melangkah, tiba-tiba Okto berhenti.
Rasa heran menyelimuti saya. “Okto, kenapa?”
Okto hanya terdiam tanpa mau menjawab. Raut wajahnya terlihat ketakutan. Sepertinya ia takut untuk pulang ke rumahnya. Selang beberapa menit saya terus berbicara kepada Okto, hingga akhirnya langkah kaki kami kembali bergerak. Melangkah lagi sekaligus berbicara santai dengan Okto. Tapi, beberapa meter saja, lagi-lagi Okto menghentikan langkah kakinya.
“Okto kenapakah?”
Dengan suara yang sangat pelan Okto menjawab. “Takut, Pak Guru.”
Saya merasa heran kenapa Okto takut untuk pulang. “Takut kenapa?”
“Takut sama Papa.”
“Takut sama Papa? Memang kenapa? Sekarang Okto sedang sama Pak Guru, nanti Pak Guru yang bicara sama Papa.”
Akhirnya kami melanjutkan kembali langkah kaki menuju rumah Okto. Rasa penasaran yang belum tahu rumah dan orangtua Okto bakal terjawab. Namun, lagi-lagi, Okto menghentikan langkah kakinya.
“Okto kalau takut sama Papa, nanti Pak Guru yang bicara. Memang Okto takut sama Papa kenapa?”
Meski agak sulit untuk berbicara jujur, perlahan Okto mau bicara.
“Takut kena pukul sama Papa, Pak Guru. Okto sering kena marah dan kena pukul sama Papa.”
“Oh ya?” Saya sedikit merasa kaget dengan jawabannya. Saya menduga, dipukulnya Okto lantaran ia jarang masuk sekolah. Dia mungkin takut, jangan-jangan kemunculan mendadak saya bertujuan untuk melaporkan ketidakhadirannya di sekolah selama ini kepada sang papa. Tibalah saya di rumah Okto dan bertemu dengan kedua orangtuanya. Rumah panggung yang sangat minimalis dan sederhana dihuni oleh sekitar delapan orang. Di rumah yang sederhana itu saya berdiskusi dengan papa Okto.
“Bapak, bagaimana belajar Okto di Rumah?”
“Baik, Pak Guru.”
“Bapak sering bantu Okto belajar kah?”
“Iya Pak Guru, kadang saya minta Okto untuk belajar. Apabila Okto tidak mau, saya kasih pukul saja Pak Guru.”
“Oh ya? Kenapa kasih pukul, Bapak? Apakah karena mau bermain?”
“Iya, Pak Guru, Okto sering main.”
“Oh, tara apa-apa toh Pak? Wajar kalau anak-anak ingin bermain. Saya ingin sedikit cerita saja sama Bapak.”
Saya kemudian menjelaskan tiga pilar pendidikan yang akan membantu kemajuan seorang anak didik. Pilar pendidikan pertama adalah keluarga, yaitu peran dari orangtua di rumah dalam mendidik anak-anak. Pilar pendidikan ini sangat penting.
“Waktu orangtua dengan anak di rumah jauh lebih banyak daripada guru-guru di sekolah.” Terang saya bersemangat.
Saya kembali melanjutkan penjelasan tentang dua pilar pendidikan berikutnya, yakni masyarakat dan negara.
“Waktu guru mengajar di sekolah sangat sedikit, Bapak. Jadi, kita butuh ada hubungan yang baik antara orangtua dan guru dalam mendidik anak-anak.” Tambah saya.
Papa Okto masih serius mendengarkan paparan saya.
“Apabila Okto mau bermain, biarkan saja, Bapak. Hanya, perlu diatur kapan waktu untuk bermain, belajar, dan beristirahat. Tentunya tara lagi pukul-pukul toh, Pak? Kasihan toh, anak-anak masih butuh kasih sayang Bapak. Apalagi saya dapat informasi dari Ibu Wali Kelas, anak Bapak ini sangat berprestasi dalam Matematika.”
Dalam perbincangan itu terlihat mata papa Okto basah. Antara penyesalan dan ketidaktahuan tentang bakat anak tercintanya. Sebaliknya, saya melihat ada senyuman yang tertahan pada wajah Okto tatkala saya membicarakan kemampuannya dalam Matematika.
HARI ITU JUGA SAYA dan papa Okto bersepakat untuk bersama-sama melejitkan potensi Okto. Tidak lupa, saya pun meminta Okto untuk lebih rajin ke sekolah dan tidak lagi memukul teman-temannya.
Sejak pertemuan itu perubahan mulai terlihat pada diri Okto. Pada akhirnya saya memutuskan bahwa Okto berhak untuk mendapatkan beasiswa. Meski lebih banyak diam saat mengikuti kelas pengayaan bagi penerima beasiswa, Okto cekatan dalam menyelesaikan soal-soal Matematika. Ketika bertemu saya ia selalu bertanya, “Kapan ada kelas pengayaan lagi, Pak Guru?”
Saya senang, rasa takutnya di rumah kini sudah teratasi. Orangtuanya pun
masih mengingati pesan yang pernah kami sepakati.
[Disalin dari Buku “Bagimu Negeri, Kami Setia Mengabdi”, DD Press. Penulis: Noly Nurdiana]