JANSO

JANSO

Janso Manerep namanya. Ia duduk di kelas 4 SDN 060932 Bangun Mulia,
Medan (Sumatera Utara). Orangnya superaktif, tidak mau diam. Bahkan, menurut saya, ia adalah anak ‘bandel’. Karena ‘bandel’, sampai-sampai—maaf—ia buang air kecil di kelas dengan menggunakan botol mineral.

Tidak hanya sampai di situ, air seninya dituangkan di lantai dekat teman-temannya berada seraya mengatakan bahwa ia habis buang air kecil. Setiap hari ada saja temannya di kelas yang dibuatnya menangis.

Itulah ulah mengecewakan Janso yang saya lihat. Hampir kehabisan akal, setiap hari saya selalu marah kepadanya. Saya pernah menghukumnya dengan mencubit ataupun memukul menggunakan penggaris agar ia tidak berbuat nakal lagi. Tetapi, ini bukan jalan keluar, malah semakin lama ia makin mencari perhatian saya untuk selalu marah.

Gagal menyadarkannya dengan hukuman, muncul kesadaran saya untuk mencoba cara lain. Mengapa saya tidak melakukan pendekatan dari hati ke hati?

Beberapa hari kemudian, saya memanggil Janso. Kami pun berbicara empat mata. Ternyata Janso anak yatim piatu. Kini ia tinggal bersama Pak Tua, panggilan untuk kakak sang ayah. Tanpa orangtua pada saat sedang butuh-butuhnya kasih sayang, inilah penyebab Janso ‘berulah’. Dengan begitu, ia beranggapan bakal mendapatkan perhatian dari guru di sekolah.

Sejak mengetahui penyebabnya itu, saya mulai ‘memaklumi’ ulahnya alih-alih memarahi atau menghukum keras. Tentu saja dengan tetap mendoakan, dan menegakkan aturan secara lembut. Apalagi Janso bukanlah anak yang bodoh. Ia juga memiliki kelebihan, yakni lebih dewasa pola pikirnya dibandingkan teman-temannya yang lain. Akhirnya, saya memilih untuk memberikan Janso tanggung jawab di kelas. Misalnya membagikan buku ke kawan-kawannya, kertas ulangan harian, dan banyak lagi amanah dari saya. Hasilnya, ia pun merasa senang dan bangga.

HARI BERGANTI BULAN, lama kelamaan Janso berubah menjadi anak yang penurut dan bertanggung jawab. Saat menjelang ujian kenaikan kelas, saya mendapat surat dari Janso. Isinya, ia tidak ingin tinggal kelas.

Dalam surat itu ia juga mencurahkan isi hatinya. Di antaranya, kalau tinggal kelas, boleh jadi ia diiusir. Ia juga tidak akan diasuh lagi oleh Pak Tua. Ia juga mengaku sayang dengan saya. Karena, katanya, “Ibu selalu memerhatikan saya.”

Usai membaca, saya pun mendekatinya. Lalu, saya menjawab bahwa semua itu tergantung dari Janso sendiri.

“Kalau Janso baik, orang juga akan baik denganmu, Nak. Termasuk kalau Janso ingin naik kelas, harus giat belajar.”

Rasanya senang melihat siswa saya yang tadinya ‘bandel’ itu kini berubah menjadi anak yang bertanggung jawab. Sekarang ia telah tamat sekolah. Sementara kejadian bertemu Janso terjadi pada tahun ketiga saya mengajar di SDN 060932. Semoga saat ini Janso menjadi anak yang lebih sukses dan selalu membanggakan.

[Disalin dari Buku “Bagimu Negeri, Kami Setia Mengabdi”, DD Press. Penulis: Neneng Rachmaniar]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares