Kelas dan Anak “Istimewa”

Kelas dan Anak “Istimewa”

Penilaian buruk tentang kelas C tidak hanya ada pada sebagian guru, tetapi juga beberapa orangtua siswa SDN 264 Wawondula, Luwu Timur (Sulawesi Selatan). Kadung disebut sebagai kelasnya anak yang bandel ataupun kurang kemampuan kognitif, kelas C bernasib tidak sebaik saudaranya: kelas A dan B. Sebaliknya, kelas C ‘alergi’ untuk dimasuki.

Padahal, faktanya tidaklah sepenuhnya benar. Cerita tentang kelas C yang demikian ‘mengenaskan’ hanya bagian dari masa lalu karena ketika itu sistem pembagian kelasnya demikian. Mungkin karena memori lama dan ‘trauma’, beberapa orangtua siswa pun meminta sekolah agar anaknya tidak dimasukkan di kelas C.

Sudah tentu, saat ini pembagian kelas di sekolah kami tidak lagi seperti itu. Kalaupun masih ada ‘pembedaan’, itu berupa kelas unggulan di kelas atas. Adapun untuk kelas awal, kelas C bukan lagi kelas untuk siswa yang bandel dan kurang kemampuan kognitif.

Menjadi wali kelas rangkap 1C dan 2C membuat saya harus menghadapi 74 orang siswa setiap harinya. Bayangkan, 74 karakteristik siswa yang berbeda-beda dalam sehari? Sudah pasti, saya terbiasa pusing tiga belas keliling.

Pengaturan waktu masuk mengajar terbagi dua, yaitu masuk pagi dan masuk siang, dengan pergantian waktunya per satu minggu. Contohnya begini: minggu pertama kelas 1C yang masuk pagi, sedangkan kelas 2C masuk siang. Minggu berikutnya, kelas 2C yang giliran masuk pagi, sedangkan kelas 1C masuk siang.

Dengan pengaturan jadwal seperti itu, awalnya siswa masih kebingungan. Begitu pula dalam hal membedakan siswa kedua kelas ini. Secara postur tubuh, tinggi mereka hampir sama. Bahkan ada siswa kelas 1C yang memiliki postur tubuh yang lebih besar dan tinggi daripada siswa kelas 2C.

Beberapa pekan beradaptasi, akhirnya saya mengenali mereka satu
per satu. Di kelas 1C, saya memiliki siswa yang ‘istimewa’, anak yang hiperaktif. Tingkahnya tidak bisa diam, selalu mengganggu teman-temannya di kelas; biasa berteriak, dan tidak pernah mau fokus menerima pelajaran. Singkatnya, tujuannya datang ke sekolah sepertinya hanya untuk bermain dan usil. Tentu saja keberadaan siswa ini berikut keistimewaannya’ di kelas 1C bukan berarti membenarkan kembali penilaian buruk bahwa kelas C memang kelasnya anak-anak ‘bermasalah’.

Dalam hal membaca dan menulis pun anak tersebut masih sangat sulit. Dia
masih harus terus didampingi. Apabila ditinggal sebentar, ia akan kembali lagi bermain di kelas dan mengganggu temannya yang lain hingga tak jarang ada siswa yang menangis akibat ulahnya. Karena ulahnya pula, beberapa orangtua siswa tidak mau anak-anaknya duduk berdekatan dengan si anak ‘istimewa’ ini.

Bahkan sampai-sampai ada orangtua siswa yang menelepon untuk mengingatkan anaknya agar berjauhan tempat duduk dengan anak hiperaktif tersebut! Tak tega juga rasanya melihat ada anak didik sendiri yang terasing dari teman-temannya di kelas. Sebab, sudah banyak orangtua siswa yang memberikan instruksi agar anak-anaknya tidak berdekat-dekatan dengan si anak hiperaktif tadi.

Setelah memikirkan baik-baik dan menjalin komunikasi dengan orangtuanya, saya memutuskan untuk membiarkan ia duduk sendiri di bangku terdepan agar lebih mudah dipantau. Harapannya, semoga anak tersebut mengerti bila ia tidak mau mengubah sikapnya maka ia tidak akan memiliki teman.

Butuh proses untuk membuat anak tersebut berubah. Seperti pepatah “tak semudah membalikkan telapak tangan”, butuh kesabaran dan kerja keras. Setelah sampai sebulan duduk sendiri, dan teman-teman sekelasnya tidak ada yang mau berteman, terjadilah sesuatu yang tidak saya sangka-sangka. Saat saya tengah mempersiapkan pelajaran di kelas, ia datang menghampiri saya bersama seorang temannya.

“Bu Guru, katanya temanku ini, bolehji saya duduk sama-sama satu bangku.” Kata anak hiperaktif itu.

Saya memerhatikan ekspresi wajahnya saat bicara. Terlihat jelas ia agak ragu-ragu atau mungkin takut bila saya tidak memperbolehkannya duduk bersama temannya itu. Saya pun bertanya kepada temannya. “Apa benar begitu, Nak?”

Temannya pun menjawab, “Iya, Bu Guru, saya mau duduk satu bangku asalkan dia mau janji tidak akan nakalmi.”

Dan si anak ‘istimewa’ ini pun mengangguk lalu berjanji tidak akan nakal lagi. Selanjutnya saya pun menatap wajah anak itu. “Sekarang kamu boleh duduk dengan temanmu ini, tetapi jika kamu nakal lagi dan kembali ribut di kelas, maka Ibu Guru akan mengembalikan kamu di tempat dudukmu yang semula: duduk sendirian di depan kelas.”

Saya perhatikan lagi wajahnya. Kali ini ia tampak sangat senang.

“Iya, Bu Guru. Saya berjanji tidak akan nakal lagi.”

Lega sekali rasanya, ternyata tidak sia-sia usaha yang saya lakukan selama ini. Semoga perasaan tidak senang jika tidak punya teman ini cukup untuk membuat ia sedikit demi sedikit bisa memperbaiki sikap dan perilakunya yang lain. Sebagai gurunya, tugas saya tentu mendukung terjadinya perubahan hingga kelak ia bisa berhasil seperti teman-temannya.

[Disalin dari Buku “Bagimu Negeri, Kami Setia Mengabdi”, DD Press. Penulis: Fitri Dalipang]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares