Anak-Anak yang Membanggakan

Sebelum menjadi guru, saya bercitacita menjadi perawat. Waktu terus berlalu hingga akhirnya saya meraih gelar diploma pendidikan. Secara tiba-tiba saya sangat suka dan merasa peduli kepada anak-anak yang putus sekolah, khususnya anak-anak Papua. Ingin rasanya membuat anakanak
itu saya didik hin gga mereka kelak sukses.
Sebelum mengajar di SD Inpres Timika II, saya mengabdi di SD YAPIS Baiturrahman. Karena belum merasakan tantangan sebagai guru, saya mencoba melamar di SD Inpres Timika II, Mimika (Papua). Alhamdulillah, saya diterima di sekolah yang kini sering dijadikan percontohan di Timika.
Benar saja, di sekolah ini saya mendapatkan banyak tantangan yang luar biasa. Dalam satu kelas saya harus menangani 50-60 Siswa dengan suara yang harus lantang dan nyaring agar semua siswa bisa mendengar.
Ketika mengajar di kelas 3 sebagai wali kelas, saya benar-benar mendapatkan tantangan yang berat. Ada sepuluh anak yang belum bisa membaca. Okto Sani salah satunya, siswa asli Timika yang berasal dari suku Moni.
Okto Sani ini membacanya masih tersendat-sendat dalam 4-5 kata. Walau begitu, saya memberikan acungan jempol kepadanya karena ia mampu menghafal perkalian 1 sampai 8 dengan benar. Ada yang sulit dipahami oleh saya mengenai Okto, yakni seringnya ia memukul teman-temannya di kelas bahkan ketika saya sedang menerangkan sekalipun. Secara tiba-tiba ia juga suka mengagetkan seisi kelas dengan teriakannya yang sangat keras. Terlepas dari ‘kekurangan’ yang ada, Okto tetaplah siswa yang bisa membuat rindu teman-temannya di sekolah.
Lain lagi dengan Steven, siswa kelahiran Jayapura. Steven pindahan dari kota kelahirannya yang sudah tiga kali tinggal kelas. ‘Kekurangan’ Steven adalah belum bisa membaca sama sekali. Saat semester I kelas 3, Steven belum bisa sama sekali membaca. Mengenal huruf saja pun tidak. Ketika saya mengadakan kelas pengayaan membaca, Steven akhirnya sudah mulai mengenal huruf A hingga Z.
Pada semester II, ketika saya memerintahkan Steven maju untuk membaca, dengan suara gemetar grogi Steven bisa mengucapkan 4-5 kata. Saya sontak terkejut. Pada saat itu pula Steven mengalihkan pandangannya ke arah saya.
“Bu Guru, saya sudah bisa membaca….” Katanya dengan suara gemetar dengan mata terlihat berkaca-kaca. Saya sebagai guru tak bisa berkata apa-apa pada saat itu. Saya merasa sangat terharu hingga tanpa terasa pipi saya basah oleh air mata.
Saya pun memeluk Steven dan berkata, “Bu Guru selalu berkata keras di kelas bukan berarti Bu Guru marah. Bu Guru sangat sayang kepada kalian semua dan ingin membuat kalian semua menjadi anak-anak yang hebat.”
Hari pun terus berganti. Lewat perjuangan tidak kenal lelah pada akhirnya
Steven dan Okto beserta murid-murid yang lain bisa menjadi kebanggaan saya.
[Disalin dari Buku “Bagimu Negeri, Kami Setia Mengabdi”, DD Press. Penulis: Resty N.]