Meluluhkan Si Pemukul

Setahun lalu saya dipercaya untuk memegang kelas 6 SDN 264 Wawondula, Luwu Timur (Sulawesi Selatan). Siswa kelas 6 biasanya memiliki banyak tingkah laku di luar jangkauan guru dan orangtua.
SALAH SATU SISWA SAYA yang ‘bermasalah’ di kelas ini sebut saja bernama Nigel. Saya baru sepenuhnya sadar jika Nigel suka memukul sejak masih duduk di bangku kelas 4. Saya kira ia hanya memukul satu atau dua kali. Namun, saat itu saya tak terlalu memikirkan serius perbuatannya karena mengira ia tengah bermain-main saja.
Belakangan saya sangat terganggu dengan ‘kebiasaan’ Nigel. Hampir tiap hari ia suka memukul temannya jika merasa terganggu. Padahal, temannya kadang tidak melakukan apa pun. Selain terganggu, saya juga sedih. Saya jadi berpikir, “Kok anak murid saya ini nakal?”
Setiap kali memergoki ia memukul temannya atau siapa saja, saya dengan tegas menasihatinya. “Gak boleh mukul, Nak! Tidak baik, teman sekelas kita itu sudah seperti saudara.”
Saya lalu meminta Nigel meminta maaf dan memeluk temannya. Nigel pun menuruti apa yang saya perintahkan. Tampak gurat penyesalan setelah memukul apalagi jika melihat yang dipukul menangis. Sayangnya, ia masih saja mengulangi perbuatannya tersebut di lain hari. Jelas saja saya sedih.
Puncak kesedihan saya adalah saat suatu pagi saya berada di kantor untuk berdoa sebelum masuk mengajar. Tiba-tiba seorang siswa datang dengan suara yang pelan sekali. Dia mengatakan bahwa Nigel mengulangi lagi perbuatannya, bahkan bagian tubuh korban yang dipukul adalah kepala dan punggung. Saya langsung shock. Apa yang terjadi pada anak yang dipukul itu? Apakah ia baik-baik saja? Saya bingung, apa salah Febiola (nama samaran) hingga menjadi sasaran Nigel? Febiola selama ini terbilang anak pendiam.
“Kenapa Nak kamu memukul bagian kepala dan bagian punggung temanmu?” Tanya saya menginterogasi Nigel.
Saya tidak menduga jawaban Nigel. “Karena dia suka lihat saya, Bu, dan saya tidak suka!” Setelah beristighfar di hati, saya pun langsung menasihatinya.
Setelah kejadian itu, dengan tegas saya langsung memberikan sanksi. Jam
kepulangan Nigel diundur. Nigel harus menerima tambahan belajar dari saya. Sanksi pertama belum dilaksanakan, Nigel mengulangi perbuatannya. Korbannya masih sama: Febiola. Tak hanya itu, Nigel mengancam teman-temannya yang lain agar tidak ada yang melapor ke guru. Jika berani melapor, satu per satu temannya akan ditendang. Jelas saja semua temannya merasa takut.
Mengetahui kasusnya sampai seperti itu, saya mencoba berdiskusi dengan Kepala Sekolah dan melakukan rapat dengan teman-teman guru untuk menentukan tindakan yang tepat bagi Nigel. Awalnya kami semua sepakat bakal mengeluarkan Nigel. Tapi karena banyaknya pertimbangan lain, Nigel masih diberi kesempatan lagi belajar di sekolah dengan syarat ia harus melapor setiap satu kali dalam seminggu di kantor.
Dengan kejadian tersebut, cap ‘nakal’ kian melekat dalam diri Nigel. Tentu saja saya tidak suka bila anak didik saya dicap ‘nakal’ atau label buruk lainnya. Saya juga sedih jika anak didik saya dibenci siswa ataupun guru-guru lain.
Saya mencoba memikir ulang dari mana Nigel mendapatkan kebiasaan buruk itu. Saya pun menelurusi keluarganya, terutama ibunya. Setelah mengorek informasi dari ibunya, saya bisa menarik kesimpulan penyebab kebiasan buruk Nigel.
Ternyata Nigel kerap mendapatkan perlakuan tidak baik dari orangtuanya, terutama sang ayah. Dia selalu dipukul bahkan ditendang oleh ayahnya jika melakukan kesalahan. Setiap kesalahan yang diperbuat Nigel balasannya adalah pukulan.
Kasihan Nigel. Dia kurang mendapatkan perhatian semestinya dari orangtuanya, yang itu kemudian dia cari di sekolah. Sayang, cara mencari perhatiannya melalui tindakan tidak terpuji.
Saya pun berusaha memasuki dunia Nigel. Saya tidak lagi memarahinya di depan teman-temannya. Jika ia mengulangi lagi perbuatannya, saya menasihatinya empat mata ketika teman-temannya sudah pulang.
Cara lainnya, saya menggunakan trik bintang khusus untuk Nigel. Jika dalam satu minggu ia tidak memukul lagi, Nigel berhak mendapatkan bintang senyum dari saya. Satu bintang senyum bernilai 50 poin. Jika Nigel melanggar lagi, poinnya akan dikurangi dua kali lipat.
Di samping selalu terus mengingatkannya, saya juga selalu mendoakan khusus untuk Nigel, baik ketika berdoa di ruangan kelas, berdoa bersama rekan-rekan kerja, ataupun di sela-sela doa pribadi. Saya selalu memanjatkan doa agar Nigel selalu diberi hati yang sabar dan bisa mengontrol emosinya. Komunikasi saya dengan ibu Nigel juga masih terus dipertahankan mengingat perannya amat penting dalam mengawasi perilaku Nigel sekaligus mencurahkan perhatiannya pada sang anak.
Tepat sebulan sebelum ujian akhir semester, Nigel sudah tampak berubah. Dia tidak pernah lagi memukul ataupun mengancam teman-temannya lagi. Bahkan ia justru mulai bersahabat dengan teman-temannya yang selama ini dibencinya. Dia justru membuat lelucon yang membuat teman temannya tertawa lepas seolaholah kejadian yang lalu tidak pernah ada.
Kini Nigel jadi lebih rajin. Sebagai gurunya saya jelas sangat bersyukur. Salah satu anak emas saya akhirnya bisa berubah. Mudah-mudahan ini perubahan untuk seterusnya.
[Disalin dari Buku “Bagimu Negeri, Kami Setia Mengabdi”, DD Press. Penulis: Ervinila Tahir]