Bagaimana Menghadapi Siswa Keras Kepala?

Namanya Aldy, siswa kelas 6 yang sering berulah. Suatu hari Aldy datang terlambat. Seharusnya ia segera masuk kelas begitu sanksinya selesai dijalankan.
Namun, tampaknya ia sengaja tidak segera masuk kelas. Begitu masuk kelas, dengan santai ia malah senyum-senyum. Saya merasa jengkel dengan ulahnya itu; sudah terlambat, masih juga ‘memancing’ emosi gurunya. Belum lagi ia kemudian mengganggu siswa lain yang sedang serius belajar. Keributan dan kegaduhan seolah tidak henti dihadirkan sebagai bentuk ‘pemberontakan’ Aldy.
Untuk mengatasi keras kepalanya tersebut, sayan memilih untuk memberi senyum, baru setelah itu bertanya. “Dari mana saja kamu, kok terlambat?”
“Lambat bangun, Bu.” Jawab Aldy singkat.
Dengan senyuman yang tidak dibuat-buat saya bertanya lagi, “Apa sudah enggak ngantuk sekarang? Kalau masih ngantuk boleh pulang dulu, lanjutin tidurnya, Sayang. Tidak apa-apa kok, kamu tidak akan Ibu hukum. Silakan saja. Besok lagi kalau memang belum cukup waktumu tidur, meski sudah sudah siang, teruskan saja tidurnya. Ini Ibu kasih waktu untuk tidur lagi. Nanti setelah kamu puas tidur baru kamu datang.”
“Tidak, Bu, saya ingin ikut pelajaran sekarang.” Dengan ‘senyuman damai’ seperti itu, Aldy terpaksa mengikuti pelajaran saya. Namun, setelah beberapa menit berlalu, minat belajar Aldy kembali menurun. Ini terlihat dari keengganannya untuk mencatat dan mengerjakan latihan. Apalagi jika saya suruh menuliskan jawaban di papan tulis, sikapnya sungguh ‘memprovokasi’.
Saya pun mulai jengkel dan memberi tahu kalau besok masih seperti itu ia tidak perlu datang ke sekolah. Namun, ancaman saya ini justru tidak membuat Aldy takut atau khawatir. Guru siapa pun pasti akan marah jika menghadapi siswa seperti Aldy.
Karena setiap kata dan tindakan apa pun tidak bisa mengubahnya. Rupanya, Aldy tidak hanya keras kepala, tetapi juga ‘pemberontak’ dan tidak memiliki motivasi untuk belajar. Permasalahan pun semakin kompleks.
Selama pembelajaran berlangsung, hati saya menjerit dan berdoa kepada Tuhan agar dibukakan jalan untuk saya agar bisa mengubah sikap anak didik yang satu ini. Ketika bel pulang berbunyi, saya terpaksa menahan Aldy di kelas. Dengan penuh kelembutan dan senyuman yang tulus, saya berkata, “Aldy, sini, Nak. Ibu pikir, yang orang lain katakan itu tidak benar. Menurut Ibu, kamu lebih baik dari yang orang bilang.”
“Ketika kamu tidak hadir di sekolah, teman-temanmu merasa kesepian, tidak ada teman bermain mereka,” tambah saya lagi. “Aldy tetap dirindukan kehadirannya setiap hari, karena kelas akan menjadi ramai dan semangat. Jadi, besok Ibu harap Aldy datang tepat waktu ya, biar anak anak semakin semangat.”
Keesokan harinya saya menanti hadirnya perubahan. Benar saja, Aldy datang lebih awal. Hari-hari berikutnya Aldy berubah. Ia mulai datang tepat waktu bahkan menjadi anak yang datang paling cepat ke sekolah. Tidak hanya itu, ia juga mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, bahkan paling cepat selesai mengerjakan tugasnya setiap hari. Saya pun langsung memberi senyuman dan pujian, dan mengatakan perasaan bangga kepadanya.
Setiap ada kesempatan saya menyempatkan untuk bisa mengobrol dengannya. Saya tanyakan seputar hobi dan keluarganya. Saya juga menceritakan tentang saya dan keluarga saya. Dari percakapan tersebut timbullah ikatan emosional antara guru dan siswanya. Percakapan kami menjadi hal yang sangat penting dalam hidup saya karena saya bisa mendengar penuturan, pendapat, dan pandangan dari sudut pandang siswa. Saya menjadi tahu bagaimana guru yang disenangi, dihargai, dan dihormati siswa.
Kasus Aldy ini memberikan pelajaran kepada saya bahwa sifat keras kepala siswa sebenarnya disebabkan oleh keinginan untuk diperhatikan oleh gurunya. Siswa mencari perhatian agar mendapatkan perhatian lebih. Siswa dengan tipe seperti ini biasanya melakukan tingkah laku, ucapan, ataupun gaya yang bisa menarik perhatian guru sehingga guru pun balas memerhatikannya.
Perilaku siswa seperti Aldy juga bermotif untuk memperkenalkan dirinya. Dia ingin dikenal gurunya. Sebenarnya anak seperti Aldy ingin dikenal lebih dekat oleh gurunya karena beberapa alasan. Misalnya, guru tersebut memiliki kelebihan dibandingkan guru lain; atau guru tersebut memiliki kemiripan watak, sifat, atau wajah dengan sosok yang dikagumi siswa dalam hidupnya.
Hubungan yang baik antara guru dan siswa merupakan dasar dari proses pembelajaran yang menyenangkan. Apabila hubungan antara guru dan siswa terganggu dan tidak baik, proses pembelajaran yang menyenangkan tidak tercapai.
Alasan inilah yang mengharuskan saya memperbaiki hubungan dengan Aldy. Saya berusaha untuk menjadi guru yang memiliki kepribadian yang positif, bersikap ramah, penyayang, sabar, ikhlas, dan banyak sikap positif lainnya. Sikap tersebut jika dimasukkan dalam diri seseorang akan memancarkan pesona yang menyenangkan.
Saya mendapatkan banyak pelajaran dari Aldy bahwa guru harus mengetahui keadaan emosi anak didiknya. Guru harus menyadari bahwa setiap anak adalah individu unik yang perlu mendapatkan perhatian. Sikap keras kepala anak harus diatasi dengan memberi perhatian pada anak.
Sejak saat itu, saya memanfaatkan sikap keras kepala Aldy untuk menghidupkan suasana kelas. Anak keras kepala akan senang jika dia dijadikan subjek contoh positif oleh gurunya. Dia akan senang jika namanya disebut oleh guru. Dia merasa istimewa jika guru menyebut namanya.
[Disalin dari Buku “Bagimu Negeri, Kami Setia Mengabdi”, DD Press. Penulis: Natalina Manya]