Indri Tidak Lagi Cengeng

Indri Tidak Lagi Cengeng

Pada tahun pelajaran 2014/2015 saya mendapat tantangan baru. Setelah tiga tahun lamanya memegang kelas 6, saya ditempatkan di kelas 1 dan 2.

Awalnya saya ragu bisa mengajar di kelas rendah. Walau begitu, saya tidak mau menyerah dan berputus asa di awal. Hari pertama bertemu dengan anak-anak baru masihlah terasa asing. Awal perkenalan lancar-lancar saja.

Namun, di tengah-tengah perkenalan, tiba-tiba ada beberapa siswa yang menangis. Sontak saja saya kaget. Kenapa tiba-tiba menangis? Apa karena kata-kata saya ada yang salah atau apa? Saya pun mendekati siswa yang menangis. Begitu saya mendekat, malah siswa itu semakin mengeraskan suaranya. Saya pun kebingungan.

Akhirnya selama sesi perkenalan itu saya mendiamkan dia dulu. Saya membiarkan dia menangis sampai akhirnya berhenti sendiri. Setelah teman-temannya pulang, saya baru mendekatinya kembali, dan mulai mengajaknya berbincang-bincang. Berhasil. Dia mau saya ajak pulang dan sebelumnya juga menyebutkan nama dirinya. Sebut saja bernama Indri.

Esok harinya, Indri ternyata menangis kembali. Sang paman yang mengantarnya sudah mulai gusar. Saya pun memintanya untuk pulang saja, dan tidak menghiraukan Indri. Sang paman pun pergi meninggalkan Indri dengan perasaan jengkel.

Marah karena merasa ditinggalkan oleh pamannya, Indri kembali berteriak-teriak dan meronta-ronta. Saya coba menenangkannya, namun saya justru dicakar, dicubit, bahkan dipukul! Saya tidak hiraukan lagi ulahnya, dan langsung memeluknya erat dengan harapan mau diam. Alih-alih diam, Indri kian menjadi-jadi.

Saya pun mulai bersikap tegas. Saya pikir anak ini terlalu cengeng. “Indri mau sekolah atau tidak?” Tanya saya dengan suara meninggi. Dia hanya mengangguk.

“Nah, kalau mau sekolah, coba diam dulu dan tidak boleh menangis ya.” Sepertinya Indri mulai paham dengan makna suara saya. Tangisannya mulai reda, dan tiba-tiba ia memeluk saya.

Saat hatinya mulai luluh, saya mengajaknya berbincang-bincang. “Indri tadi menangis seperti itu kenapa, Nak?”

“Bu, saya takut entar tidak dijemput. Saya pulang sama siapa?” Jawabnya sambil terisak-isak.

Oh, ternyata anak ini menangis hanya karena takut tidak dijemput. Akhirnya saya mencoba meyakinkannya bahwa sang paman pasti akan menjemputnya.

“Jika Indri menangis lagi, Ibu Guru akan kasih bintang hitam. Jika Indri tidak menangis, Ibu Guru akan kasih bintang senyum seperti teman-teman yang lain.” Akhirnya Indri mulai diam, dan kami pun bersiap-siap masuk ke ruangan masing- masing.

Setelah anak-anak masuk ke kelas masing-masing dan berdoa, saya menuju ke kantor untuk berdoa bersama teman-teman guru. Belum beranjak dari tempat duduk, tiba-tiba Indri menangis lagi.

“Buuu… ikut… likut… Buuu….” Indri menangis sambil berteriak-teriak di kelas. Jelas saja teman-temannya fokus ke dia. Saya berusaha mendiamkannya tapi malah tambah meronta-ronta.

“Indri boleh ikut tapi enggak boleh nangis lagi ya?” Indri pun hanya mengangguk. Tiba di kantor, saya berkata ke Indri, “Coba lihat, siapa-siapa saja yang ada di kantor? Adakah anak kecil berada di kantor bersama Bapak dan Ibu Guru?”

Lagi-lagi jawaban Indri berupa anggukan. Setelah beberapa saat duduk, tiba-tiba Indri berbisik, “Bu Guru, saya mau kembali ke kelas….”

Saya tersenyum senang. “Jika Indri sudah tidak menangis lagi sampai pulang sekolah, Ibu Guru akan kasih bintang senyum.” Indri pun mengiyakan. Akhirnya Indri kembali ke kelasnya. Namun, tetap saja saya masih was-was, jangan-jangan Indri menangis lagi.

Setelah sesi membaca doa di kantor selesai, dengan tergesa-tega saya bergegas ke kelas. Sampai di kelas saya senang sekali karena Indri sudah tidak menangis lagi, bahkan ia sudah mulai berbaur dengan teman-temannya.

Sebelum pembelajaran dimulai, terlebih dahulu saya memberi apresiasi ke Indri di hadapan teman-temannya dengan memberikan bintang senyum pada fotonya yang terpampang di kelas. Dari jauh Indri tersenyum-senyum malu.

“Kalau besok Indri tidak menangis lagi saat tiba di sekolah, Ibu Guru akan beri lagi bintang senyum.” Saya pun kembali meyakinkan Indri.

“Iya, Bu Guru.” Jawabnya diikuti anggukan. Pembelajaran hari itu pun berjalan lancar.

Saya berniat melihat perubahan Indri, apakah masih menangis atau tidak. Seraya menanti Indri yang diantar pamannya, saya pun membersihkan ruangan kelas. Sedang asyik-asyiknya bekerja, tiba-tiba dari belakang ada siswa yang mengagetkan saya.

“Dooooooorrrrrrr….”

Saya kaget siapa yang berbuat iseng ini. Ketika menoleh, ternyata Indrilah pelakunya. Kekagetan saya seketika hilang begitu melihat Indri datang ke sekolah tanpa disertai tangisan. Justru senyuman yang kini hadir. Sesuai janji, saya memberinya lagi bintang senyum.

[Disalin dari Buku “Bagimu Negeri, Kami Setia Mengabdi”, DD Press. Penulis: Ervinila Tahir]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares