Bagaimana Menghadapi Siswa Yang Terlambat Ke Sekolah?

Selama ini saya selalu diberi tanggung jawab oleh Kepala Sekolah untuk memegang kelas 5C. Di sekolah kami, kelas ini memiliki reputasi sebagai “kumpulan anak bandel, selalu lambat dan kurang dalam hal akademis”.
Adanya reputasi tersebut bukan berarti membenarkan saya selaku seorang guru untuk larut dan terbawa arus ikut mendukung stigma negatif. Saya tetap selalu berusaha untuk mengubah stigma yang telanjur melekat kepada kelas 5C. Sungguh, guru yang baik itu tidak boleh patah semangat untuk mengubah kebiasaan buruk siswa. Sebab, anak-anak itu sejatinya sangat butuh kasih sayang dan motivasi dari pendidik.
Pukul 06.50 waktu setempat, bel berbunyi menandakan jam masuk sekolah. Seluruh siswa bersiap-siap untuk berbaris di depan kelas sebelum masuk ke kelas untuk belajar. Bernyanyi dan memberikan pertanyaan seputar pelajaran selalu menjadi menu harian yang wajib saya lakukan, sekaligus pembiasaan yang baik untuk mengukur tingkat ingatan dan kecerdasan siswa.
Inilah waktu yang paling cocok untuk langsung mengontrol siswa-siswa yang datang terlambat. Yang selalu menjadi fokus perhatian saya adalah tiga siswa yang selalu datang terlambat.
“Alwin, Imanuel, dan Belia mana ya? Kok jam segini belum datang juga Ada yang tahu tidak kenapa mereka selalu terlambat?” Tanya saya kepada siswa.
Sebagian siswa hanya terdiam, namun ada pula yang mau angkat suara. “Kalau Alwin dan Imanuel paling lambat bangun, Pak. Kalau Belia harus bantu ibunya dulu, Pak, sebelum ke sekolah,” jawab salah satu siswa.
Jawaban itu membuat saya berpikir. Mencari-cari cara yang harus saya lakukan agar ketiga siswa saya itu bisa tepat waktu datang ke sekolah. Hampir setiap hari selama semester I, ketiga siswa tersebut ‘membuat’ laporan yang kurang baik. Dan hampir tiap hari pula nasihat demi nasihat selalu saya berikan. Namun, perubahan yang saya harapkan tak kunjung datang.
Pernah saya panggil orangtua anak-anak tersebut. Anak-anak itu pun berjanji secara lisan di hadapan orangtuanya. Saat itu saya berharap sikap mereka bisa berubah. Sayangnya, hanya beberapa hari mampu berdisiplin, kebiasaan lambat ke sekolah kembali berulang. Rasanya sesak bercampur pusing di kepala saya saat mengetahui kondisi ini kembali terulang.
“Baiklah, mulai hari ini saya harus tegas tapi mendidik, dan tidak boleh lembek di hadapan anak didik saya!” Tegas saya di hati setelah menemukan titik lemah penanganan yang selama ini diterapkan kepada mereka.
Dengan ketegasan mendidik itulah saya berharap bisa membantu mereka. Selama ini saya merasa masih kurang tegas sehingga anak-anak itu menemukan celah untuk mengulangi lagi perbuatannya. Hari itu saya memang masih mendapati ketiganya terlambat datang. Tidak mengapa karena mulai esok harinya akan ada peraturan yang berlaku untuk semuanya bagi yang terlambat masuk sekolah.
Esok harinya peraturan yang baru diumumkan dan diberlakukan. Saya tetap menghadang siswa yang sering terlambat, apalagi hari itu ternyata banyak yang terlambat tiba. Saya pun memberikan sanksi psikis, dan sama sekali tidak memberikan sanksi fisik kepada mereka.
Mulailah saya membagi mereka berkelompok. “Anak-anak, mulai hari ini, yang terlambat datang, Bapak akan beri hukuman membersihkan WC dan memungut sampah masing-masing 50 lembar daun yang gugur berjatuhan di halaman sekolah kita.” Jelas saya.
“Jika besoknya lagi terlambat, maka sampah yang harus dipungut adalah dua kali lipat, yaitu seratus lembar daun. Dan jika tiga kali terlambat, dengan berat hati Bapak akan tambah hukumannya untuk berdiri dan hormat di hadapan tiang bendera selama 30 menit!”
“Bagaimana anak-anak? Setuju?” Pungkas saya. Ada siswa yang spontan berkata setuju. Sebagian lagi hanya diam seraya menoleh ke kanan dan ke kiri.
Esoknya saya mulai memerhatikan kondisi kedisiplinan siswa saya, dan sudah mulai berkurang. Untuk semester II ini, siswa yang dikenal ‘langganan’ telat ke sekolah tak terlihat lagi. Pusing di kepala berubah menjadi tenang. Senang dan bangga terhadap diri sendiri. Semoga dengan cara seperti ini bisa berdampak baik bukan sebentar, melainkan selamanya.
[Disalin dari Buku “Bagimu Negeri, Kami Setia Mengabdi”, DD Press. Penulis: L. Nappe]