Saat Siswa Panjang Tangan

Saat Siswa Panjang Tangan

Saya tidak menyangka bila salah satu siswa di kelas saya tergolong ‘panjang tangan’. Awalnya saya sama sekali tidak mengetahuinya hingga akhirnya terungkaplah kasus yang mencoreng nama baik sekolah. Beberapa siswa tertangkap basah mencuri secara berkelompok di salah satu toko terkenal
di Wawondula. Di antara pelakunya adalah siswa saya langsung.

Sontak saja sekolah geger. Berdasarkan laporan pemilik toko kepada Kepala Sekolah, dipanggillah siswa-siswa tersebut. Tiap-tiap siswa ditanya sebab melakukan tindakan tidak terpuji tersebut. Ternyata di antara mereka ada yang melakukannya hanya karena ikut-ikutan atau ingin meramaikan. Para wali kelas kaget mendengarkan jawaban tersebut.

Dalam mengatasi anak yang bermasalah, diperlukan sikap tegas dan bertanggung jawab dari seorang pendidik. Memang tidak bisa dimungkiri bahwa pada kenyataannya sikap ketegasan di sekolah kadang-kadang dikalahkan oleh rasa jemu dan masa bodoh sang pendidik. Akibatnya, anak yang tadinya nakal lalu berubah taat mematuhi tata tertib di sekolah, akhirnya malah kembali menjadi nakal. Penyebabnya karena tidak ada pengawasan dan pembinaan secara terus-menerus.

Apalagi bila seorang pendidik masa bodoh terhadap anak didiknya, maka anak yang patuh pun akan ikut-ikutan melanggar peraturan. Hal ini karena tidak adanya perhatian dari pendidik terhadap anak yang baik maupun yang nakal. Seperti yang dialami anak-anak tersebut, mereka mencuri hanya ikut-ikutan.

Kepala Sekolah dan para wali kelas akhirnya mengundang orangtua siswa-siswa itu agar bisa membantu pihak sekolah mengatasi permasalahan tersebut. Setelah mendapatkan pengarahan dan sanksi dari pihak sekolah, para siswa yang tadinya mencuri, sekarang tidak pernah mengulangi lagi perbuatannya.

Bagi saya pribadi, kejadian tersebut membuat saya harus waspada. Jangan sampai anak didik saya yang lain mengulangi tindakan serupa. Maka, hampir setiap hari sebelum pembelajaran saya selalu menyisipkan bimbingan rohani untuk anak-anak. Tidak disangka-sangka, salah satu siswa saya pun ternyata ada yang melakukan perbuatan yang sama dengan yang dilakukan para siswa sebelumnya.

Saya merenungkan diri. Merenungkan kejadian yang dialami anak saya tersebut. Di mana letak kesalahan dan kekurangan saya? Menyampaikan nasihat dan bimbingan rohani sudah, tetapi mengapa ada lagi anak didik yang berani mencuri? Saya merasa masih belum berhasil mendidik karakter siswa-siswa saya.

Langkah awal yang saya lakukan adalah melalukan supervisi di rumah anak didik saya yang ‘bermasalah’ tadi. Saya mendatangi rumahnya, ternyata ia bukan tinggal bersama orangtuanya, melainkan tantenya. Sebagai siswa pindahan dari kota lain, siswa saya yang sebut saja bernama Yanti ini tergolong rajin ke sekolah.

Walau kurang dalam pelajaran, saya menganggap Yanti siswa yang baik. Tak dinyana Yanti melakukan perbuatan tidak terpuji. Dari kunjungan dan perbincangan dengan sang tante, saya sudah mulai menemukan titik terang penyebabnya.

Esok harinya saya memanggil Yanti secara pribadi. Saya sengaja menyuruh teman-temannya pulang lebih awal dibandingkan Yanti. Saya ingin berbincang-bincang mengenai keseharian Yanti di rumah.

Awalnya ia malu-malu mengungkapkan ceritanya. Namun, saya berusaha meyakinkannya hingga akhirnya ia memercayai saya dan menceritakan semua kesehariannya.

Karena keterbatasan ekonomi orangtunya, Yanti terpaksa dititipkan di rumah sang tante di Wawondula. Sepulang sekolah Yanti harus membantu tantenya membereskan rumah, seperti mencuci piring, menyapu, bahkan menjaga anak tantenya tersebut. Jika ke sekolah, Yanti jarang membawa uang jajan. Amat susah untuk berharap adanya uang kiriman orangtuanya di Toraja. Sementara uang jajan dari tantenya juga belum tentu ada tiap harinya. Sehari dalam satu minggu saja sudah beruntung karena kadang-kadang Yanti tidak jajan sama sekali selama satu minggu. Dia hanya berbekal sarapan pagi dari rumah.

Hati saya sangat sedih mendengarkan penuturan Yanti. Ternyata masih ada yang seperti ini di dekat saya. Meski iba atas keadaannya, saya tetap perlu menasihatinya.

“Yanti, jauh di luar sana, Nak, masih ada yang lebih tersiksa dibandingkan kamu. Mereka selain tidak mendapatkan makanan, juga kerap disiksa oleh tantenya atau pamannya. Kamu masih termasuk beruntung karena tidak pernah mendapatkan perlakuan kasar dari tante kamu.”

Mendengar perkataan saya, Yanti sesengukan menahan tangis. “Kenapa Nak kamu melakukan hal itu? Ibu Guru kan selalu nasihati kalau mencuri itu tidak baik karena merugikan orang lain? Kenapa harus mencuri, Sayang? Jika kamu mau jajan tetapi tidak punya uang, kamu bisa minta sama Ibu Guru. Ibu Guru pasti senang sekali jika kamu meminta uang sama Ibu dibandingkan harus mengambil barang orang lain.”

“Hari ini Ibu Guru sangat sedih karena salah satu anaknya ada yang mencuri. Kamu tidak mau kan kalau Ibu Guru sedih gara-gara kamu mencuri, sayang?”

Dengan suara terbata-bata, Yanti menjawab, “Tidak, Bu.”

Seketika itu ruangan bertambah sunyi. “Mulai besok jangan diulangi lagi ya. Dan mulai besok Ibu Guru akan kasih kamu uang jajan asalkan kamu tidak mencuri lagi.” Yanti pun mengangguk pertanda mengerti apa yang saya sampaikan.

Setelah pembicaraan berdua itu, saya tidak pernah lagi mendengar kalau Yanti mencuri. Suatu saat saya sengaja mengetesnya. Saya sengaja menyimpan uang di dalam tas yang saya tinggalkan di kelas. Ketika hendak pulang dan mengambil tas itu, saya mendapati uang tersebut tetap utuh. Saya sangat senang karena Yanti masih mau mendengarkan dan mempraktikkan nasihat saya. Saya sangat yakin, Yanti sebenarnya anak yang baik; seyakin saya bahwa ia tidak akan lagi mengulangi perbuatannya yang membuat saya bersedih.

[Disalin dari Buku “Bagimu Negeri, Kami Setia Mengabdi”, DD Press. Penulis: Ervinila Tahir]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares