Kekuatan Bahasa Indonesia

Dandi hanya siswa biasa saja secara akademis, bahkan bisa dikatakan agak kurang. Namun, siswa kelas 4 SDN 01 Padang Panjang, Tabalong (Kalimantan Selatan) ini memiliki kelebihan. Dia selalu riang, banyak kawan, dan tidak punya musuh.
Walau belum pernah masuk peringkat sepuluh besar di kelas, Dandi sengaja diikutkan dalam program pengayaan bersama teman-teman sekelasnya yang berstatus penerima beasiswa. Hasilnya cukup apik. Dandi semakin semangat belajar. Dia pun antusias menjawab dan mengerjakan latihan, termasuk kemampuan menjawab pertanyaan-pertanyaan lisan
saya.
Ujian Semester I pun tiba. Hari pertama pelajaran bahasa Indonesia. Sengaja saya pinjam dari guru kelas 4 lembar jawaban siswa yang mengikuti pengayaan. Saya ingin mengetahui berapa besar pengaruh pengayaan terhadap kemampuan mereka dalam mengerjakan soal-soal ulangan.
Alhamdulillah, walau tidak sempurna tapi sudah cukup menunjukkan ‘buah’ dari pengayaan yang selama ini diberikan. Inilah ‘keistimewaan’ berikutnya dari Dandi: seluruh jawaban soalnya ‘hancur’. “Bagaimana ulangan tadi?” Tanya saya berbasa-basi.
“Ngalih, Pak, ai, ulun beberang saja tadi.” Sulit, katanya, dan ia asal menjawab saja.
Saya pun mengarahkannya untuk lebih teliti dan membaca dengan baik pada ujian pelajaran berikutnya. Hari ke-2, IPA dan IPS. Hasil Dandi masihn belum memuaskan; 50 persen jawabannya salah. Padahal, katanya, ia sudah berusaha untuk teliti dalam membaca dan memahami maksud tiap butir soal. Bahkan pada Matematika hasilnya cukup bagus, hanya pada beberapa soal cerita yang salah.
Apa yang sebenarnya terjadi? Setelah ulangan semester berlalu, saya coba untuk melakukan pendekatan personal dan memberikan perhatian yang lebih untuk Dandi. Dan satu per satu akar persoalan pun saya temukan.
Pertama, saat berinteraksi dengan teman dan guru, baik di luar maupun di dalam kelas, ia lebih sering menggunakan bahasa daerah dibandingkan bahasa Indonesia.
Kedua, banyak kalimat dalam bahasa daerah yang ia belum tentu tahu terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Sering ia mengucapkan bahasa daerah yang tidak saya mengerti artinya. Saat saya tanyakan kembali apa artinya dalam bahasa Indonesia, kadang dijawab dengan berpikir lama terlebih dahulu. Bahkan ia kadang menjawab tidak tahu.
Ketiga, belum lancar berbahasa Indonesia. Setidaknya itulah tiga hal yang saya temui, dan pada intinya hanya satu, yaitu penguasaan bahasa Indonesia yang kurang. Faktanya memang di kelas-kelas, terutama kelas rendah, terkadang masih digunakan bahasa daerah dibandingkan bahasa Indonesia. Menurut penuturan beberapa guru, keadaan ini memang sengaja dibiarkan lantaran bahasa daerah lebih dipahami siswa kelas rendah.
Sejurus dua jurus, saya pun terapkan wajib berbahasa Indonesia ketika berbicara dengan saya, khususnya lagi pada jam pengayaan. Secara privat pun saya berikan cara membaca yang benar, dan memahami sebuah kalimat, menemukan inti dari sebuah paragraf, sampai bagaimana membuat kesimpulan. Pelan tapi pasti, sedikit demi sedikit, terurailah benang yang selama ini kusut.
Pembiasaan mencari inti dari setiap paragraf, latihan presentasi hasil baca (book share), membuat rangkuman, sampai tugas membuat buku harian, menjadi beberapa instrumen yang mengarahkan Dandi dan beberapa siswa lain untuk lebih dekat pada bahasa Indonesia. Sekaligus pula mengajarkan mereka berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Ujian Akhir Semester berlangsung. Meski hasilnya Dandi berhasil belum masuk peringkat sepuluh besar, setidaknya ia bisa tersenyum lebar dan bersorak dengan kalimat berbahasa Indonesia. “Hore… Aku naik kelas 5!”
Kisah Dandi mungkin juga banyak dialami oleh siswa lain di penjuru Nusantara. Mereka kesulitan menerima, memahami, dan menangkap pelajaran semata karena faktor penguasaan bahasa Indonesia yang belum dimiliki. Di sinilah perlu kesadaran bersama, terutama para guru yang setiap hari bersama mereka, untuk menyelesaikan dengan membuat sistem yang baik. Sistem terkait penerapan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, khususnya di lingkungan sekolah.
Dandi dan jutaan siswa sekolah dasar di seluruh Nusantara tetaplah anak anak yang istimewa. Mereka mutiara yang harus digosok supaya berkilau. Mereka adalah bintang kecil di langit yang akan bersinar terang atau redup sesuai dengan pendidikan yang diberikan kepada mereka.
[Disalin dari Buku “Bagimu Negeri, Kami Setia Mengabdi”, DD Press. Penulis: Ainur Rahman]