Tempaan Kesabaran Guru

Menjadi guru berarti mengamalkan ilmu yang dimiliki. Itulah prinsip yang saya pegang selama belasan tahun saat memilih guru sebagai profesi. Berawal dari keprihatinan atas kondisi masyarakat di lokasi transmigrasi asal Jawa, saya mencanangkan sebuah keputusan penting yang kemudian menjadi langkah awal menjadi guru.
Di lokasi transmigrasi tersebut tidak ada sekolah. Di luar kegiatan membantu orangtua masing-masing, anak-anak transmigran umumnya menghabiskan waktu hanya untuk bermain. Saat itulah, saya terpanggil untuk mengumpulkan mereka. Tahun 1993, meski dengan bangunan seadanya, saya mengajak anak-anak itu belajar. Meski latar belakang saya sarjana Pendidikan Agama Islam, saya berusaha agar mampu memenuhi seluruh kebutuhan ilmu mereka dengan mengajarkan pelajaran lain.
Beberapa bulan setelah kegiatan belajar mengajar itu, Kepala Unit Pelaksana Trans (KUPT) melayangkan surat ke Dinas Pendidikan dan Kebudayan setempat untuk mengirimkan seorang kepala sekolah bagi sekolah kami, yang ketika itu kami sebut ‘sekolah darurat’. Meski jumlah setiap rombongan belajarnya hanya terdiri dari dua sampai empat siswa, kami tidak berputus asa. Sampai kemudian sekolah kami memiliki beberapa guru bertamatan SMA dan SPG, hingga memiliki nama, yakni SD Legare 3.
Tahun 1996, masyarakat transmigrasi mengusulkan pengangkatan saya menjadi guru PNS. Selama 12 tahun saya mengabdikan diri di SD Legare 3, sampai akhirnya dipindahkan ke sebuah sekolah terpencil di Kabupaten Sorong dengan jumlah siswa Muslim minoritas. Kondisi ini menjadi tantangan selanjutnya bagi saya. Selain karena jumlahnya yang minoritas, pengetahuan dan pengamalan agama mereka sangat rendah. Melalui kendala tersebut, saya tergerak untuk memberikan pelajaran tambahan di luar sekolah, serta menggalakkan sosialiasi kepada orangtua siswa.
Setelah dua tahun mengabdi di sekolah tersebut, saya dipindahkan ke SD Inpres 44 Klamalu, tempat saya mengabdi saat ini sebagai guru Agama Islam. Di sekolah ini, saya menemukan aneka ragam sikap dan perilaku anak-anak yang sering membuat saya terpaksa harus berdecak kecewa. Tapi, lagi-lagi, ini tantangan bagi saya berikutnya. Saya sendiri tetap meyakini bahwa di balik ‘kenakalan‘ tersebut, mereka bukanlah siswa yang bodoh, mereka hanya perlu berusaha lebih giat lagi.
Terlebih lagi, pengalaman menjadi guru di sekolah-sekolah terdahulu cukup menjadi pelajaran berharga yang mampu menempa kesabaran saya selaku pengemban tugas mulia ini.
[Disalin dari Buku “Bagimu Negeri, Kami Setia Mengabdi”, DD Press. Penulis: Parmo]