Berjuang Mengubah Pendekatan Mengajar

Kurang lebih sembilan tahun lamanya saya menjadi guru. Berbagai suka dan duka saya rasakan hingga membuat saya menjadi seseorang yang kuat, baik dalam prinsip maupun dalam mengasuh siswa. Kenapa saya katakan prinsip, karena dalam mendidik siswa seorang guru harus tegas. Tegas agar anak didiknya dapat berhasil.
Hal inilah yang saya tanamkan semenjak saya menjadi guru. Tahun 2006 saya mengajar di SD Inpres Timika II, Mimika (Papua). Pada saat itu sekolah kami masih kekurangan guru. Dalam sehari saya pun diharuskan mengajar kelas 4, 5, dan 6. Tiap kelas ini memiliki paralel sebanyak tiga sehingga semuanya ada sembilan kelas yang harus saya ajar.
Jumlah siswa per kelas rata-rata sebanyak 60-70 anak. Dengan jumlah sebanyak ini, saya harus benar-benar menguasai manajemen kelas dengan baik. Padahal, waktu itu saya masihlah guru pemula yang belum mengerti betul manajemen kelas yang baik. Yang ada di dalam pikiran saya adalah dalam mengajar saya harus berusaha supaya anak didik menjadi tahu dan mengerti tentang pelajaran. Caranya, saya harus tegas—lebih tepatnya: keras—pada saat mengajar.
Tahun 2009 saya diangkat menjadi pegawai negeri dan mengabdi di SD Inpres Nayaro— salah satu sekolah di perkampungan pinggiran kota Timika yang berada di area pertambangan sebuah perusahaan asal Amerika Serikat. Saya yang terbiasa dengan pendekatan ‘keras’ dalam mengajar di perkotaan, merasa masih perlu melakukannya di tempat baru ini.
Ternyata pendekatan ‘keras’ agar anak didik cepat memahami yang saya ajarkan tidaklah berjalan. Berbeda dengan sekolah sebelumnya, SD Inpres Nayaro diisi oleh hampir 100 persen anak-anak warga asli suku Kamoro yang kehidupannya masih bergantung pada tradisi meramu (mencari makan di pantai dan sepanjang sungai). Perbedaan ini membuat saya harus lebih sabar dalam menghadapi dan mendidik mereka.
Pelajaran berharga yang saya petik selama kurang lebih tiga semester mengajar di SD Inpres Nayaro adalah untuk mendidik siswanya seorang guru tidak boleh berlaku ‘keras’. Seorang guru harus bisa bersikap sabar dan memahami karakter anak didik masing-masing. Selama saya mengajar di SD Inpres Nayaro, saya mengubah pendekatan ‘keras’ menjadi lembut. Saya berusaha untuk menahan emosi tatkala menghadapi siswa yang ‘nakal’ ataupun terlambat dalam membaca.
Di SD Inpres Nayaro ini banyak siswa belum bisa membaca walau sudah duduk di bangku kelas 6. Menghadapi mereka saya pun berusaha untuk membimbingnya dengan sabar. Saya jadwalkan waktu khusus untuk melatih mereka membaca setiap materi pelajaran selesai. Khusus untuk pelajaran Bahasa Indonesia, saya alokasikan setengah jam pembelajaran hanya untuk membaca. Dengan menerapkan metode kupas-rangkai suku kata, upaya yang dilakukan membuahkan hasil.
Sayangnya, perjuangan saya di SD Inpres Nayaro tidak berjalan terus mengingat pada saat itu (Oktober 2010) terjadi mogok kerja karyawan perusahaan tambang tersebut yang memuncak dengan adanya insiden pembunuhan di jalan masuk Desa Nayaro. Praktis akses menuju ke sekolah pun ditutup, dan sekolah ditutup pula. Imbasnya, kami para guru yang mengajar di SD Inpres Nayaro ditugaskan kembali di sekolah yang ada di kota. Bersykur saya kembali ditugaskan di sekolah terdahulu, SD Inpres Timika II.
Pada saat saya kembali ke SD Inpres Timika II, saya diikutkan dalam program pendampingan yang diadakan PT Trakindo Utama dan Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa. Awalnya saya tidak tahu manfaat dari pendampingan ini. Barulah setelah merasakan langsung pendampingan saya dibekali dengan ilmu-ilmu yang sangat bermanfaat, ilmu yang menambah pengetahuan para guru dalam mengajar dan mendidik siswa.
Saya terkesan dengan pelatihan manajemen kelas, yang membantu tekad saya untuk menjadi pendidik yang dicintai siswa. Saya dan rekan-rekan guru diajarkan cara mengelola kelas hingga ruang kelas dapat tertata baik dengan gambar-gambar yang berkaitan dengan materi, display, pohon ilmu, dan karya siswa—baik berupa tulisan maupun kata-kata motivasi.
Walau baru pemula, saya yakin manajemen kelas ini bila dijalankan dengan baik, bahkan ditingkatkan, sangatlah membantu saya maupun anak didik dalam proses belajar mengajar. Dengan demikian, siswa pun akan merasa lebih nyaman saat berada di ruang kelas. Mereka juga termotivasi untuk lebih giat belajar.
Begitu besar dan bermanfaat ilmu-ilmu yang saya dapatkan dari Makmal Pendidikan. Ilmu-ilmu yang saya terapkan dalam proses belajar mengajar (seperti manajemen kelas) amatlah sejalan dengan keinginan saya untuk mengubah pola lama yang pernah saya pakai. Mengubah ‘kekerasan’ dengan kelembutan dan ketegasan. Dengan bantuan Pendamping Sekolah, saya amat terbantu mempercepat terwujudnya tekad saya ini.
[Disalin dari Buku “Bagimu Negeri, Kami Setia Mengabdi”, DD Press. Penulis: Dewi Ratna F.]