Perjalanan yang Mengubah Cita-cita

Perjalanan yang Mengubah Cita-cita

Walaupun berasal dari Sumatera Barat, tetap saja aku merasa terasing di Pariaman. Mungkin ini kali pertama aku berada di sana, sebuah desa yang begitu cantik pemandangannya. Hari pertama aku datang ke sekolah, SDN 09 Ulakan Tapakis masih dalam perbaikan bangunan. Gugup rasanya ketika harus memperkenalkan diriku, tugasku, juga visi dan misi yang kubawa dari Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa di hadapan seluruh guru di kantor. Suasana pagi itu terasa mencekam, aku merasa asing, sendiri dan bingung harus berkata apa. Aku juga merasa terteror oleh pertanyaan salah seorang guru yang berniat ‘menguji’ ilmu keguruan yang aku miliki.

Proses perkenalan diri yang menegangkan itu berakhir saat aku dipanggil ke lapangan dan diperkenalkan kepada para siswa. Lapangan sekolah itu kecil, masih dipenuhi debu, pasir dan bebatuan kecil. Beberapa pohon mangga yang cukup besar berdiri kokoh di lapangan dan cukup membuat teduh suasana pagi yang mulai panas.

Ada beberapa murid mengelilingiku sambil tersenyum, tatapan siswa yang penuh selidik dan saling berbisik dengan bahasa yang kurang kumengerti. Ada yang tidak acuh, ada yang tertawa, semuanya aku perhatikan dengan teliti.

Awal pendampingan aku masih blank apa yang harus aku kerjakan dan lakukan sehingga beberapa minggu kerjaku hanya memerhatikan guru, murid, dan lingkungan. Kebosanan dan kejenuhan pun mulai menghampiriku.

Kadang aku menelepon Project Officer (PO) sementara, Pak Surya Hanafi, sekadar berkeluh kesah dan bercerita tentang kegiatan harianku. Atau di antara Pendamping Sekolah, kami berbagi cerita tentang kegiatan harian. Mereka sering memotivasiku bahwa fase ini awal perjuangan nantiku. Semangatku pun mulai muncul.

Semakin hari aku mulai menikmati tugasku. Aku selalu dibimbing oleh PO tetapku, Mbak Rina Fatimah. Beliau yang mengarahkanku tentang apa yang harus dikerjakan, mulai dari diskusi dengan guru, program inovatif, hingga menciptakan ide yang bertujuan memajukan sekolah.

Permasalahan pelik muncul, mulai dari kedisiplinan, masyarakat yang kurang percaya dengan sekolah, siswa yang kurang mendapat perhatian dari orangtua yang berimbas pada kelakuan di sekolah, orangtua yang tidak peduli dengan kebutuhan anak (lebih mementingkan tradisi daripada pendidikan), status kepemilikan tanah sekolah yang belum jelas, kurangnya kebersihan, ketidaksesuaian nilai-nilai ideal yang aku pegang dengan kondisi sekolah, dan permasalahan lain yang berimbas pada kegiatan belajar-mengajar di sekolah.

Masalah-masalah itu kadang membuatku pusing. Namun, aku mencoba bersabar sembari mencari cara penyelesaiannya. Awalnya aku kurang respons dengan permasalahan tersebut. Aku memilih untuk bersikap masa bodoh saja. Nyatanya, itu malah menggangguku. Akhirnya aku mencoba berdiskusi dengan beberapa guru, Kepala Sekolah, Mbak Rina dan Pak Surya Hanafi. Aku mulai mengambil benang merah akar permasalahan, dan mulailah tampak akar permasalahannya.

Dengan mengucapkan basmalah, aku mengutarakan maksud dan solusi dari permasalahan tersebut kepada Kepala Sekolah, Bapak Aswil Indra. Beliau berinisiatif untuk mengumpulkan guru rapat majelis, beliau menjelaskan apa dan solusi permasalahan yang dihadapi oleh sekolah.

Rencana awal dari diskusi panjang dengan PO tentang kedisiplinan adalah memberi reward kepada guru yang datang tepat waktunya—maksimal pukul 07.30 WIB. Mulailah serangan gencarku dengan mengirimkan SMS kepada rekan-rekan guru sekali seminggu, dengan kata-kata motivasi, membuat absensi, dan kadang menegur guru yang terlalu siang datangnya.

Aku juga beberapa kali melakukan pendekatan personal, menanyakan kenapa beliau-beliau terlambat. Kadang ada juga seloroh sindiran datang kepadaku, “Wah Icha bisa datang pagi ke sekolah karena tempat tinggalnya dekat, ya jelaslah bisa pagi datangnya.” Menjawab tantangan ini. aku memutuskan untuk tinggal di Padang. Jauhnya dari Pariaman sekitar 20 kilometer lebih dengan memakan waktu 1,5 jam di kendaraan umum. Hasilnya? Puji syukur, aku tetap bisa datang tepat waktunya pukul 07.00 WIB!

Aku juga mengadakan pelatihan klinik sampah untuk persoalan kebersihan sekolah, ide ini datang dari Mbak Rina. Untuk trainer aku minta pendamping Sumatera Barat, ada Ika Chan, Novi, Diki, Kak Mila, dan Bang Fauzul. Mereka menjelaskan kepada siswa bagaimana mengelompokkan sampah dari sampah kering, basah, dan sampah kertas. Siswa diajarkan untuk membuang sampah pada tempatnya dan juga menanamkan kepada siswatentang pentingnya menjaga kebersihan sekolah.

Pelatihan ini lumayan sukses karena aku dibantu oleh guru-guru yang kekompakannya tidak diragukan lagi. Guru yang siap membantuku demi kelancaran acara demi acara, guru yang juga mengawasi untuk tetap berjalannya program ini.

Peran Kepala Sekolah sangat membantuku dalam setiap program yang ditetapkan oleh Makmal Pendidikan. Beliau selalu mendukung setiap hal yang ingin aku kerjakan. Beliau yang selalu mengingatkanku tentang bagaimana dan seperti apa aku harus bertindak dengan masyarakat, terutama dalam berbaur dengan orangtua murid.

Selanjutnya untuk permasalahan dengan wali murid aku serahkan kepada guru. Kami berdiskusi dulu sebelum guru melakukan pendekatan dengan wali murid dan juga murid. Aku memberikan buku yang berhubungan dengan psikologi anak, dan kami berdiskusi bagaimana menghadapi siswa yang bermasalah atau siswa yang kurang mendapatkan perhatian. Selain guru, aku pun mulai mendekati siswa, yang mana aku ditugaskan untuk melakukan pengayaan kepada siswa selepas pelajaran sekolah.

Awalnya aku merasa agak kesusahan dengan siswa yang menurutku cukup ‘nakal’. Setiap aku memulai pengayaan, mereka meribut, mengganggu teman, bahkan tidak acuh. Lagi-lagi aku harus bersabar dan mencoba menyatukan mereka dalam sebuah permainan yang kuharap bisa mendamaikan mereka.

Ajaib! Mereka sangat antusias sehingga setiap aku melakukan pengayaan kelas selalu penuh, padahal awalnya yang datang beberapa siswa saja. Media pendekatan yang lain, aku sengaja mendatangi kelas siswa saat jam istirahat. Walau sekadar bercerita dan bermain bersama mereka, kadang aku juga sengaja membawa pemotong kuku untuk memotong kuku siswa yang panjang dan tak terawat. Kedekatan pun mulai terjalin dari sini.

Kenyamanan mulai kurasakan di sekolah ini, terutama keramahan dan kekompakan gurunya. Mereka menjadikan aku sebagai partner kerja. Kadang mereka memperlakukan aku sebagai anak, kadang sebagai problem solver, dan kadang sebagai teman untuk berbagi cerita.

Hari demi hari, sekolahku mulai menampakkan perubahan, mulai dari lingkungan sekolah yang nyaman, guru yang antusias dan haus akan ilmu, dan juga siswa yang mulai menunjukkan prestasinya. Salah satu prestasi sekolah yang cukup membanggakan bagiku adalah sekolah kami meraih predikat NEM tertinggi sekabupaten. Tiga orang siswa juga lulus di SMART Ekselensia Indonesia di Bogor, dan dua orang guru berhasil memenangi perlombaan menulis dongeng dan esai.

Tanpa terasa, aku mulai mencintai murid-muridku, rekan-rekan guru, para orangtua siswa, dan juga lingkunganku. Kedekatan kian mengakrab dengan mereka semua. Sedih rasanya meninggalkan sekolahku ini karena masa kerjaku bakal berakhir. Meski sedih menghampiri, ada rasa bangga dengan perubahan sekolahku. Jujur saja, aku yang awalnya tidak tertarik dengan profesiku sebagai guru (padahal aku lulusan kampus pendidikan negeri di Padang), kini malah mencintainya dan ingin menjadi guru.

[Disalin dari Buku “2 Menyibak Mutu Pendidik Jilid 1”, DD Press. Penulis: Andrika Rozalina]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares