Agar Peta Jalan Pendidikan Menghantarkan Kegemilangan

Oleh:
Zayd Sayfullah
[Konsultan dan Trainer TOPS]
—————————————————————
Sebuah peta berfungsi untuk memberikan petunjuk arah agar orang yang melakukan perjalanan bisa sampai pada tujuan yang diharapkan secara efektif dan efisien. Dengan peta tersebut, siapapun yang melakukan perjalanan akan terbantu agar tidak tersesat. Namun, peta tersebut tentu tidak sembarang peta. Ia harus valid dan berdasarkan data dan pijakan yang benar. Jika tidak, maka peta tersebut tidak akan memberikan manfaat, malah akan membuat tersesat orang yang menggunakannya.
Belakangan ini, ramai pembicaraan berkaitan dengan Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 yang digagas oleh Kemendikbud, dan sedang digodok bersama Komisi X DPR RI. Peta jalan tersebut memberikan gambaran arah pendidikan Indonesia dalam menghadapi permasalahan pendidikan Indonesia sekaligus menjawab tantangan dunia pendidikan di masa yang akan datang dan kaitannya dengan tren global.
Publik menyoroti roadmap pendidikan tersebut, terutama pada hilangnya kata “agama” dalam visi pendididkan Indonesia. Salah satu kritik disampaikan oleh Muhammadiyah. Seperti yang diberitakan oleh www.tempo.co (9/3/2021), Ketum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengkritik bahwa hilangnya frasa agama tersebut merupakan bentuk melawan konstitusi, sebab bertentangan dengan Peraturan Pemerintah, UU Sisdiknas, UUD 1945 dan Pancasila.
Sementara itu, Komisi X DPR RI menegaskan pada prinsipnya setuju dengan kritik yang dilontarkan PP Muhammadiyah tersebut. Menurut Syaiful Huda selaku Ketua Komisi X, pihaknya sudah membuat kesimpulan yang sejalan dengan kritik PP Muhammadiyah. Ia menyebut perihal ketiadaan frasa ‘agama’ itu sudah diaspirasikan melalui kesimpulan melalui panja terkait Peta Jalan Pendidikan. (www.detik.com, 8/3/2021)
Menanggapi hal tersebut, Mendikbud Nadiem Makarim, saat raker dengan Komisi X DPR RI menegaskan bahwa pelajaran agama tidak akan dihapus dari peta jalan pendidikan. Nadiem menjelaskan bahwa agama adalah prinsip esensial dari peta jalan pendidikan (www.republika.co.id, 11/3/2021).
Hilangnya kata “agama” secara eksplisit dalam peta jalan tersebut memang harus diwaspadai. Logikanya, bila saat dicantumkan saja pendidikan agama tidak mendapatkan porsi yang memadai, apalagi jika itu sama sekali tidak ada. Pendidikan pun akan semakin nampak jelas corak sekulernya, dan karakter generasi pun akan semakin tidak karuan.
Permasalahan dalam peta jalan pendidikan tersebut sebenarnya bukan sekadar ada atau tidaknya kata “agama”, namun juga terkait dengan paradigma pendidikan yang dipakai.
Bila ditelaah lebih mendalam, paradigma pendidikan yang diadopsi adalah bercorak sekulerisme. Paradigma pendidikan yang hanya fokus pada penguasaan sains dan teknologi yang sesuai dengan tuntutan zaman dan pasar, namun abai terhadap pemahaman dan penguasaan ilmu agama yang merupakan fondasi manusia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia.
Meskipun masih mencantumkan frasa “akhlak mulia dan budaya”, namun peta jalan tersebut tidak memberikan perhatian terhadap porsi pendidikan agama yang memadai apalagi sampai mewarnai sains dan teknologi. Karena itu akhlak mulia menjadi sekadar pemanis saja, dan akhirnya mustahil bisa diwujudkan.
Agama adalah pondasi yang mempengaruhi pembentukan pola pikir dan pola sikap manusia. Bila agama dikesampingkan, atau bahkan ditiadakan, maka output pendidikan akan jauh dari nilai-nilai agama yang pada akhirnya tidak menghiraukan halal dan haram, juga tidak mengenal dosa.
Penyusunan peta jalan tersebut menunjukkan bahwa pemangku kebijakan begitu khawatir dan responsif terhadap tantangan globalisasi dalam kehidupan dunia, namun merasa aman, santai, dan abai terhadap tantangan kehidupan setelah mati. Padahal tantangan kehidupan setelah mati itu teramat sangat mengerikan dibandingkan dengan “hantu” disrupsi era digital.
Ketakutan pada hantu revolusi industri 4.0 hanya berkaitan dengan persaingan di dunia yang sebatas kompetisi survival kehidupan yang fana. Berbeda dengan ketakutan pada kengerian padang mahsyar yang akan menentukan tempat kembali manusia di alam yang abadi. Penentuan apakah manusia akan mendapatkan siksa yang tiada terkira, ataukah memperoleh kenikmatan surga yang kekal.
Karena itu, seharusnya pendidikan didesain bukan hanya untuk menyiapkan generasi yang sukses bersaing di era globalisasi, namun juga agar siap menghadapi tantangan di alam akhirat kelak. Pendidikan yang akan menghantarkan pada kemajuan peradaban sekaligus keberhasilan kehidupan di alam akhirat adalah pendidikan yang didasarkan pada fitrah manusia.
Pendidikan berdasarkan fitrah manusia tersebut bersumber dari pencipta manusia, yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala. Itulah pendidikan Islam yang terbukti mampu mewujudkan generasi gemilang, generasi yang bukan hanya cerdas dan terampil, namun juga beradab, shalih dan mushlih. Pendidikan Islam serta outputnya tersebut akan bisa diwujudkan secara sempurna jika syariah diterapkan secara kaffah. []