Pengamen itu Muridku

Pengamen itu Muridku

Hari kedua di tahun ajaran baru, saat saya ditunjuk menjadi wali kelas 5 A. Sepulang mengajar tepat di dekat lampu merah, seorang pengamen cilik tersenyum lebar kepada saya. “Anak yang ramah,” ujar saya di hati. Tapi, sepertinya wajah itu tidak asing. Mungkinkah anak itu salah satu siswa yang bersekolah di sekolah saya? Setelah berusaha mengingat-ingat kembali, saya yakin bahwa anak itu memang bersekolah di sekolah saya, walaupun entah di kelas berapa.

Esok harinya, penasaran saya pada anak itu belum hilang. Siapa namanya? Kelas berapa dia? Mengapa pada jam sekolah dia malah mengamen di lampu merah? Hari ketiga di tahun ajaran baru. Tiba waktunya saya berkenalan dengan murid-murid saya. Setelah mengabsen sampai pada nomor urut 25, saya kaget sekaget-kagetnya. Anak itu! Ternyata siswa yang kemarin mengamen dan tersenyum lebar kepada saya adalah murid saya. Namanya Satrio. Saya menghela napas panjang sepertinya ada tantangan baru di awal tahun ajaran baru ini.

Saya pun mulai mencari tahu dengan bertanya secara pribadi kepadanya. Mulai dari tempat tinggal, orangtua, sampai uang jajan pun saya tanyakan. Saya tidak ingin terlalu jauh bertanya soal mengamennya di jalanan. Tidak cukup hanya bertanya kepada Satrio, saya juga bertanya kepada Ibu Jaizah Said. Beliau wali kelas Satrio saat kelas 4. Ternyata beliau tidak pernah mendapati Satrio mengamen, boleh jadi karena tidak pernah melewati lampu merah tempat Satrio beroperasi. Beliau pun tidak pernah mendengar kabar dari teman-teman Satrio tentang Satrio yang mengamen.

Namun, sedikit titik terang dari beliau saya dapatkan bahwa Satrio memang jarang masuk ke sekolah, sering tidak hadir tanpa keterangan. Satrio juga sering datang terlambat, tapi itu pun bisa dimaklumi karena ternyata rumahnya cukup jauh dari sekolah. Dia harus naik angkot selama 30 menit. Tak puas sampai di situ, saya pun kembali bertanya kepada Satrio tentang kegiatan sehari-harinya, baik sepulang sekolah ataupun di waktu libur. Saya pun mencoba menanyakan tentang kegiatan mengamennya. Beruntung, Satrio mau bercerita.

Ternyata kegiatan mengamen itu dimulai sejak libur semester sekitar dua minggu sebelumnya. Berarti memang dia masih terhitung ‘pemain’ baru. Walaupun begitu, itu termasuk ganjil buat saya karena mengamen dia kerjakan di jam sekolah sehingga alpa di kelas hanya untuk mengamen. Saya lalu mencari informasi rumah Satrio melalui teman-temannya.

Tapi, tidak seorang pun yang tahu. Cara paling awal yang saya tempuh hanya mampu menasihati dan berharap itu mampu mengatasi masalah yang termasuk datang lebih cepat di tahun ajaran baru ini. Rupanya nasihat saya hanya mampu bertahan selama seminggu, selebihnya dia kembali mengamen dan bolos sekolah lagi.

Akhirnya saya mendengar kabar bahwa salah seorang guru Olahraga di sekolah kami kenal baik dengan orangtua Satrio. Melalui Pak Kahar, saya meminta bantuan untuk menyampaikan permasalahan Satrio ini kepada orangtuanya. Pak Kahar memberikan nomor telepon kakak Satrio yang tinggal serumah dengan Satrio. Dari informasi Pak Kahar, saya mendapat informasi bahwa ibu Satrio tinggal di luar kota, sedangkan Satrio tinggal bersama ayah dan kakak-kakaknya.

Pak Kahar juga bercerita bahwa Satrio bukanlah keluarga tidak mampu. Satrio mengamen karena pengaruh lingkungan tempatnya tinggal. Kebanyakan teman bermainnya memang pengamen. Satrio tinggal di sekitar terminal yang ramai kendaraan.

Puji syukur, bantuan Pak Kahar menghasilkan perubahan walaupun sedikit. Setelah mendapat nomor telepon kakak Satrio, saya pun menghubungi dan menyampaikan perilaku sang adik. Mengetahui putranya mengamen, ayah Satrio marah. Saya sebenarnya kasihan pada Satrio karena ia harus dimarahi oleh sang ayah. Apa boleh buat, itu untuk kebaikannya. Sejak saat itu Satrio sudah mulai rajin ke sekolah. Memang benar kalau mendidik murid di sekolah harus ada kerja sama antara guru dan orangtua siswa. Pengalaman menerima Program Pendampingan Sekolah dari Makmal Pendidikan dan PT Trakindo Utama setidaknya mengajarkan hal itu.

Sejak saat itu, setiap Satrio tidak hadir saya harus menelepon atau mengirim SMS untuk melaporkan kepada kakaknya agar kakaknya membantu mengarahkan sang adik ke sekolah. Puji syukur, cara ini cukup membantu. Adapun cara terakhir yang pernah saya lakukan jika Satrio tidak hadir adalah mencarinya di lampu merah tempatnya mengamen. Memang betul, saat itu dia tidak hadir karena berada di lampu merah untuk mengamen. Saya pernah menyampaikan kepadanya bahwa jika dia tidak ke sekolah, saya akan ke lampu merah untuk mencarinya. Puji syukur, cara ini juga sangat membantu.

Pada dasarnya Satrio itu anak yang baik, dia hanya membutuhkan perhatian yang lebih dari keluarganya dan juga pihak sekolah, khususnya saya wali kelasnya. Sebuah tantangan bagi saya yang sudah menerima ilmu dari para Pendamping Sekolah.

[Disalin dari Buku “2 Menyibak Mutu Pendidik Jilid 2”, DD Press. Penulis: Anisah]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares