Melawan Budaya Abai Pendidikan

Banyak orangtua menggantung harapan masa depan anaknya yang gemilang pada pendidikan. Mereka rela mengorbankan harta dan tenaga supaya anaknya bisa bersekolah setinggi mungkin. Bahkan kita banyak menyaksikan di media massa, pengorbanan orangtua demi pendidikan anak-anaknya.
Ada orangtua yang rela hanya makan satu kali sehari supaya anaknya bisa berkuliah, dengan harapan nasib mereka berubah. Sayangnya, tidak sedikit orangtua bersikap sebaliknya: tidak peduli terhadap pendidikan anak. Masyarakat di tempatku bermukim misalnya. Mereka menganggap pendidikan tidaklah penting, yang penting anak bisa tulis baca.
Pola pikir yang sempit itulah yang membuat masyarakatnya terbelakang. Terbukti banyak pemuda yang menganggur. Mereka lebih memilih duduk kongkow di warung dibandingkan bersekolah. Padahal, kalau dilihat dari potensi desanya, sangatlah terbuka lebar untuk digarap. Bahkan, desa kami ini bukanlah daerah terpencil, akses menuju kota cukup mudah karena ojek yang banyak.
Aku sering berdiskusi dengan wali muridku tempatku tinggal. Saat ditanya kenapa anaknya tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, mereka rata-rata menjawab begini:
“Menabung lebih penting untuk persiapan anak saya menikah.”
“Ngapain sekolah tinggi-tinggi, toh nanti akan mengurus suami dan anak juga?!”
“Biaya sekolah saat ini sangatlah mahal. Daripada mengeluarkan biaya yang hasilnya belum pasti, lebih baik uangnya saya tabung untuk biaya pernikahannya.”
“Biaya pernikahan itu tidaklah sedikit, minimal 40 juta. Belum lagi uang pinangan pada lelaki. Dari mana saya mendapat uang kalau tidak sekarang?”
Itu jawaban orangtua. Lain lagi dengan pemuda di kampungku. Setelah mereka lulus SMA atau SMP, rata-rata mereka merantau dan mereka akan kembali saat mereka dipinang oleh orangtua pihak perempuan dan menetap di kampung dengan modal uang pinangan itu. Kebiasaan seperti ini begitu menguat dan berakar di tengah masyarakatku.
Aku sangat heran dengan kebiasaan yang melekat itu. Sekolah memang membutuhkan biaya. Meskipun ada program gratis, tetap saja bersekolah butuh keluar uang. Tetapi, kalau hanya dengan alasan sekolah mahal, itu tidak masuk akal. Aku melihat dalam keseharian mereka, rata-rata terbiasa mengeluarkan duit yang tidak sedikit untuk hajatan, ngantar lamang, baralek pernikahan. Jadi, mereka sebenarnya mampu; kendaraan bermotor dan rumah berkeramik saja mereka miliki.
Ternyata predikat sebagai negara berkembang tidak membuat generasi Indonesia berlomba untuk berprestasi. Di lain pihak, patut dibanggakan keberadaan para orangtua yang peduli terhadap pendidikan anak. Memang pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, namun yang paling berpengaruh adalah orangtua. Bagaimanapun juga orangtualah yang membentuk karakter dan penentu masa depan anak paling awal.
Semoga yang terjadi di kampungku tidak berlaku di tempat lain di negeri tercinta ini.
[Disalin dari Buku “2 Menyibak Mutu Pendidik Jilid 2”, DD Press. Penulis: Zetty Z]