Panggilan Hati Guru

Menjadi guru sebenarnya bukan cita-cita saya. Awalnya, karena keterpaksaan, saya harus mengajar di daerah tempat suami bertugas. Sebelum adanya era reformasi, pengangkatan pegawai negeri dilakukan oleh pemerintah pusat. Tahun 1997 suami saya diangkat menjadi pegawai negeri dari Jawa dan ditempatkan di Kalimantan, tepatnya menjadi penyuluh Keluarga Berencana di daerah Transmigrasi Rantau Pulung 7.
Berhubung karena sebagai seorang sarjana saya belum bekerja, saya diminta oleh kepala transmigrasi untuk membagi ilmu saya kepada warga transmigrasi dengan jalan menjadi guru. Keinginan kepala transmigrasi itu saya terima tapi masih setengah hati. Ya, saya menerimanya karena terpaksa daripada tidak bekerja.
Pertama kali mengajar tahun 1997, saya menjadi guru honor transmigrasi di SDN 025 Rantau Pulung 7. Namanya juga daerah transmigrasi, di situ pasti jauh dari yang dikatakan modern. Banyak suka duka saya alami di daerah ini. Gaji saya hanya Rp 47.500 per bulan, itu pun dibayar setiap tiga bulan sekali. Pengabdian memang betul-betul dituntut dari hati kita yang paling dalam.
Meskipun masyarakat dan teknologinya terbatas, saya selalu berusaha untuk menjadikan anak-anak di SDN 025 Rantau Pulung 7 menjadi pandai. Dari 6 kelas yang ada, gurunya cuma empat orang termasuk kepala sekolah. Jadi, mengajar dobel itu sudah menjadi rutinitas saya. Malam pun masih banyak siswa yang datang ke rumah untuk belajar. Saya terharu dengan semangat mereka.
Awal 1998 saya menerima tawaran dari kepala transmigrasi untuk kuliah di bidang pendidikan karena sarjana saya bukan ilmu pendidikan. Saya pun kuliah di D-2 Pendidikan Guru Sekolah dasar Universitas Mulawarman di Samarinda. Seluruh keluarga diizinkan pindah ke kota ini. Suami pun diberi izin untuk mutasi dinas ke Tenggarong.
Dua tahun kemudian, saya pulang ke Kutai, yang baru pemekaran menjadi Kutai Timur. Di sini saya menjadi guru PTT di SDN 027 Kabo Jaya pada 11 September 2001. Sekolah inilah yang kelak menjadi SDN 003 Sangatta Utara tempat saya mengabdi hingga kini. Ketika itu gaji saya Rp 300.000 per bulan dan itu pun juga dibayar tiga bulan sekali. Keadaan fisik sekolahnya ketika itu masih menumpang di balai desa Swarga Bara dan keadaannya masih sangat memprihatinkan.
Meski bangunan sekolah ala kadarnya, saya senang masyarakat di sana sangat menyenangkan. Tiap sore saya memberikan les kepada anak-anak warga. Saya tidak meminta bayaran, syukurlah hampir semua siswa yang les di rumah saya masuk rangking lima besar. Saya bangga, saya ingin berguna di tengah-tengah masyarakat tempat saya tinggal. Anak-anak di sini sudah menjadi bagian dari kehidupan saya. Mungkin sebagai ungkapan terima kasih, para orangtua siswa itu sering mengirimi saya sayur-sayur, bahkan beberapa di antaranya ada juga yang memberikan saya uang walaupun saya tidak pernah memintanya.
Tahun 2003 saya ikut tes menjadi guru bantu, dan diterima ditempatkan di SDN 016, nama baru dari SDN 027 yang sekarang menjadi SDN 003 Sangatta Utara. Bedanya, lokasi sekolah sudah berpindah dari balai desa ke lokasi yang sekarang. Kondisi sekolah beserta sarana yang ada masih bersahaja.
Dua tahun berikutnya saya ikut tes pengangkatan guru. Saya dinyatakan lulus calon pegawai negeri sipil. Setelah menerima surat keputusan CPNS saya menyadari bahwa saya seorang guru. Inilah dunia saya. Saya harus menjiwai dunia ini. Saya ditugaskan di SDN 002 Sangatta Selatan. Dua tahun mengabdi di sana, saya terpanggil untuk bisa mengajar ke sekolah lama yang sudah telanjur saya cintai: SDN 003 Sangatta Utara.
Selain soal hati, ada keadaan yang mengharuskan saya untuk ke sana, yakni banyaknya guru yang berasal dari luar Kabo Jaya yang tidak dapat menunaikan tugasnya saat hujan deras atau banjir. Saya iba dengan para siswa yang sudah datang di sekolah tapi tidak mendapatkan pelajaran apa pun. Akhirnya saya diizinkan berpindah ke SDN 003 Sangatta Utara mulai tahun 2007.
Di masa lalu, SDN 003 Sangatta Utara memang jauh dari kata berkualitas, baik dari segi bangunan maupun pembelajaran. Perubahan melesat hadir setelah sekolah saya mendapatkan Program Pendampingan Sekolah yang dilakukan Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa dan PT Trakindo Utama. September 2010 dimulailah pembangunan sarana dan prasarana di sekolah. Diawali dari pembangunan ruang khusus guru, yang selama ini kami damba-dambakan.
Maklum saja, selama ini saya dan rekan-rekan guru hanya memanfaatkan ruang kelas sebagai kantor. Adapun ruangan yang biasanya kami pakai untuk kantor difungsikan sebagai perpustakaan. Lapangan yang dulunya bila hujan sangat becek sekali kini berubah indah.
Tidak kalah pentingnya, perubahan terjadi pada guru-gurunya. Kami dilatih dengan berbagai macam pelatihan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Syukur alhamdulillah, sekolah yang ideal yang selama ini kami dambakan sedikit demi sedikit terwujud. Saya pribadi dan keluarga pun turut terimbasi manfaatnya. Anak ketiga saya terlecut motivasi berprestasinya dengan kehadiran Program Pendampingan Sekolah. Dari Juara I Menggambar tingkat sekolah, dia terpacu untuk ikut dalam ajang serupa di luar sekolah.
[Disalin dari Buku “2 Menyibak Mutu Pendidik Jilid 2”, DD Press. Penulis: Gemi Lestari]