Dua Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Setiap pagi aku menunggu siapakah yang menemaniku pertama kali. Ini adalah bagian dari tugasku yang harus menilai kedisiplinan para guru setiap hari. Dari awal masuk sampai bubaran SDN Leuwiranji 04. Kurun waktu dua tahun terakhir ini ada dua orang guru honorer yang selaku menemaniku kala pagi di sekolah.
Rika dan Elis namanya, mereka adalah dua orang guru honorer yang sedang menyelesaikan studi strata satu di Universitas Terbuka. Keteladanan mereka membuatku sungguh terharu. Setiap harinya mereka mengajar sebagai ‘guru borongan’ karena ketiadaan guru bidang studi, dari pagi hingga siang, dari Senin sampai Sabtu, mengabdi untuk mendidik generasi bangsa. Honor sangat kecil yang diberikan kepada mereka tidaklah menjadi suatu halangan untuk menyurutkan perjuangan dan memadamkan semangat mereka untuk mengabdi.
Rika dan Elis memang rajin, mereka selalu datang tepat waktu: 20-15 menit sebelum bel sekolah berdering sebagai tanda kegiatan belajar di mulai. Selalu begitu setiap hari padahal mereka di rumah adalah ibu rumah tangga yang harus mengurus suami dan anak-anaknya yang bahkan masih bayi. Mereka tetap profesional dan konsisten pada sebuah kedisiplinan kerja, tanpa mengabaikan tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga.
Dengan kedisiplinan yang bagus inilah, mereka lebih punya banyak waktu untuk memantau kesiapan ruang kelas dan pembelajaran hari itu. Administrasi pembelajaran pun lengkap dan tepat waktu mereka kerjakan, walau Kepala Sekolah tidak menginstruksikan ataupun menyeliai. Mereka benar-benar siap di kala ada penyeliaan dadakan oleh pengawas ataupun pihak lain.
Dalam keseharian, pemilik nama Rika Octaviana dan Elis Nuroniah itu sangat bersahaja dan peduli dengan murid-muridnya. Di tengah keterbatasan honor yang diterima, mereka tak kenal pamrih membantu anak-anak didiknya yang dianggap lebih membutuhkan. Mereka mengerti benar perjuangan anak didik mereka yang kebanyakan dari kalangan menengah ke bawah dan juga dari berbagai daerah yang cukup jauh jaraknya dari sekolah. Mereka hafal betul kondisi setiap anak didiknya, dan tak segan sesekali mengunjungi orangtua murid jika ada sesuatu yang harus disampaikan berkenaan pembelajaran anak didiknya.
Rika yang awalnya seorang perawat dan sudah nyaman dengan pekerjaan sebelumnya, entah mengapa tiba-tiba merasa ada panggilan besar dari sekolah ini sebagai tempatnya dulu menuntut ilmu untuk kembali mengabdi. Tak jauh berbeda dengan Elis yang rela pindah tugas ke sekolah ini, padahal sebelumnya satu sekolah dengan suaminya. Alih-alih menyesal, mereka justru senang dengan pengorbanan yang telah dilakukannya.
Selama ini saya melihat perjuangan guru-guru yang membuat hati ini terharu hanya melalui layar kaca. Kini keteladanan serupa ada dalam kehidupan saya. Mereka bahkan berkumpul dan bergaul dalam kehidupan saya sehari-hari selaku Pendamping Sekolah. Pahlawan tanpa tanda jasa itu sungguh pantas disandang oleh mereka. Besarnya gaji ataupun tunjangan tidak membuat mereka surut untuk mendidik generasi bangsa menjadi lebih baik.
[Disalin dari Buku “2 Menyibak Mutu Pendidik Jilid 2”, DD Press. Penulis: Emalia Fatimah]