Perjuangan di Ujung Kelulusan

Tak pernah kubayangkan sebelumnya bila aku harus menjadi sarjana. Aku hanya seorang guru honorer yang tinggal di desa dengan gaji pas-pasan ditambah dua buah hati yang masih balita. Sungguh berat rasanya kehidupan yang kujalani dengan kondisi seperti ini, ditambah lagi penyakit aneh suamiku yang tidak kunjung sembuh.
Aku terpaksa kuliah karena sebuah tuntutan. Seorang guru diwajibkan berpendidikan minimal S-1, sedangkan pendidikan terakhirku hanyalah D-2. Mau tidak mau aku harus kuliah kembali untuk meneruskan cita-cita kecilku. Beruntung, portofolio yang kukumpulkan mendapatkan penghargaan secara akademis sehingga waktu tempuh kuliah lebih berkurang. Aku ikut program Pengakuan Pengalaman Kerja dan Hasil Belajar (PPKHB) di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam).
Meskipun waktu kuliah lebih pendek, pembayarannya tetap mulai dari awal. Dengan kata lain, tetap saja biaya yang kukeluarkan besar. Kuputuskan untuk mencari penghasilan tambahan dengan jalan mengajar les. Mulai pukul 8 aku meninggalkan rumah untuk mengajar les dengan menyewa tempat di dekat sekolahku. Pukul 11.30 aku masuk mengajar dan pulang tiga jam kemudian. Aktivitas kulanjutkan dengan memberikan les anak TK sehingga sampai di rumah pukul 16.30. Sebagai seorang ibu, berat rasanya setiap hari aku harus meninggalkan anak-anakku di rumah.
Seharusnya aku banyak bersama mereka untuk melimpahkan kasih sayang. Sayangnya, mereka harus jarang bertemu denganku. Hari berganti hari hingga tak terasa sudah berjalan satu tahun kuliahku. Aku bingung harus mencari ke mana lagi uang untuk membayar kuliahku.
Aku memberanikan diri mengetuk pintu ruangan Kepala Sekolah. Aku berniat ingin meminjam sisa kekurangannya. Setelah kuceritakan semua permasalahan yang kuhadapi, puji syukur, beliau menyanggupi permintaanku untuk meminjam uang sekolah.
Detik-detik kelulusan sudah hampir dekat. Pada hari yang dijanjikan, aku memberanikan diri mengetuk ruangan Kepala Sekolah untuk menagih janji beliau. Setelah bertemu beliau, aku kemukakan kembali maksud kedatanganku. Yang beliau katakan ternyata di luar perkiraanku: dana untuk sekolah belum cair. Aku belum bisa meminjam. Tapi, beliau menjanjikan dua pekan kemudian menunggu cairnya dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang bisa juga kupinjam.
Tibalah waktu pelunasan biaya administrasi untuk menghadapi sidang kelulusan. Kembali aku menemui Kepala Sekolah. Aku berharap kali kedua dana BOS yang dijanjikan sudah cair. Setelah bertemu Kepala Sekolah, kembali aku mendapatkan kejutan. Dana pinjaman untukku tidak ada. Alasan beliau, terlalu banyak anggaran sekolah yang dikeluarkan saat itu sehingga sekolah tidak bisa meminjamkan lagi, kecuali mau menunggu dana BOP (Bantuan Operasional Pendidikan) bulan berikutnya yang akan cair. Sekali lagi aku diyakinkan bisa untuk meminjam dana ini.
Sayangnya, ketika saatnya kutanyakan, jawaban ‘tidak bisa’ kembali kudapatkan. Betapa bingung perasaanku saat itu. Ke mana lagi aku mencari kekurangan biaya? Aku mengerti dengan keputusan Kepala Sekolah. Hanya saja, seandainya beliau tidak memberikan harapan atau jauh-jauh hari memberitahukan bahwa aku tidak bisa meminjam uang sekolah, aku tidak panik. Aku mungkin bisa berusaha meminjam di lain tempat. Padahal, hanya tinggal sehari waktu yang diberikan pengelola universitas untukku.
Dengan waktu yang sesingkat itu, ke mana lagi aku mencari uang sebesar Rp 5 juta? Bukan kebahagiaan yang kurasakan, melainkan ketakutan yang sangat dalam manakala menghadapi detik-detik ujian sidang skripsi. Yang ada dalam pikiranku saat itu: mampukah aku melunasi semua biaya itu? Padahal, untuk mencari uang dalam waktu satu malam dari mana?
Esok harinya aku coba berbicara dengan pengelola universitas untuk minta keringanan waktu pembayaran. Nihil hasilnya. Selesai kuliah, sepanjang jalan yang kupikirkan adalah biaya pelunasan. Ya Allah tolong beri hamba-Mu ini petunjuk, ya Allah tolong aku. Hanya doa yang menguatkan hatiku. Aku berharap ada sebuah keajaiban yang bisa menolongku.
Hingga pukul 16, uang pelunasan belum kudapatkan. Setiap teman selalu kuhubungi untuk meminjam uangnya dengan cara menggadaikan laptopku. Hasilnya, nihil juga. Tiba-tiba tebersit di pikiranku untuk meminta tolong kepada wali murid yang anak-anaknya les denganku. Sekitar pukul 16.30, satu per satu wali murid mulai kutelpon untuk bisa bertemu pada pukul 17 hari itu juga di ruang perpustakaan sekolah.
Sebenarnya aku sudah akan mundur, tapi tidak ada salahnya aku mencoba dengan jalan ini. Aku teringat dengan ucapan seorang teman guru, Bapak Juhrani, yang selalu memberiku semangat untuk menyelesaikan kuliah. “Asal Pian yakin, semua itu pasti ada jalannya!” Mengingat kata-kata beliau itu aku yakinkan diriku bahwa aku pasti bisa mendapatkan uang itu.
Puji syukur, semua wali murid pada sore itu bisa berkumpul. Dengan rasa malu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, aku menyampaikannya permasalahanku. Alhamdulillah, aku tidak menyangka sama sekali semua wali murid mau meringankan bebanku. Mereka mau membayar uang les anak-anaknya untuk dua bulan ke depan. Uang inilah yang dipergunakan untuk membantu biaya kuliahku. Sungguh kurasakan suatu keajaiban telah terjadi dalam kehidupanku, kebahagiaan yang tak terhingga. Tanpa kusadari lagi air mata pun berjatuhan.
Aku tidak menyangka sebesar itu kecintaan mereka kepadaku. Aku terharu sekali mendengar semua wali murid memberi semangat. “Pian jangan ampih, Bu. Biar bagaimana pun kami akan membantu Ibu. Teruskan kuliah, Ibu. Ibu akan bisa membayar kekurangan itu, dan kami semua siap membantu Ibu,” ucap seorang wali murid.
“Iya, Bu. Masalahnya, uang itu harus ada besok sedangkan Ulun tahu Pian-pian tentu belum gajian. Ini tanggal tua,” kataku. Salah seorang wali murid yang lain bersuara, “Kami semua akan berusaha, Bu. Ibu tenang saja, besok sudah kami kumpulkan uang itu.”
Benar, keesokan harinya uang itu terkumpul genap Rp 5 juta! Subhanallah. Tidak ada lagi ucapan selain rasa syukur yang tak terhingga kepada Allah. Akhirnya aku bisa menyelesaikan sarjanaku dengan bantuan semua wali murid yang les di tempatku. Terima kasih ya Allah, hamba bisa melewati cobaan yang Engkau berikan.
[Disalin dari Buku “2 Menyibak Mutu Pendidik Jilid 2”, DD Press. Penulis: Siti Maisyarah]