Menikmati Perjalanan Perjuangan

Menikmati Perjalanan Perjuangan

Saya mengawali profesi mengajar pada 1991 di sebuah Madrasah Tsanawiyah di Malang, Jawa Timur. Pada waktu itu status saya masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum sebuah kampus swasta di Malang. Ini kampus kedua saya, setelah Fakultas Tarbiyah Universitas Malang. Baik kampus pertama ataupun kampus kedua tidak saya tamatkan karena kekurangan biaya. Menjadi pendidikan ditempuh untuk sedikit mencari pemasukan uang kuliah.

Pada Juni 1992 terjadi pertengkaran antara saya dan Kepala Sekolah. Penyebabnya soal alokasi penggunaan keuangan sekolah yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ujung dari kejadian ini, Kepala Sekolah mengundurkan diri. Masalah tidak selesai. Sebanyak 14 orang guru mengundurkan diri lantaran gaji atau honor selama tiga bulan belum terbayar. Pada masa krisis ini saya bertanggung jawab dan tetap berprinsip sekolah harus tetap tegak dan berdiri. Saya seorang diri berperan sebagai kepala sekolah, guru, keuangan, dan pembina pramuka sampai lebih kurang tiga bulan.

Puji syukur, saya dapat pinjaman dari seseorang yang akhirnya bisa dipergunakan untuk membayar tunggakan gaji tiga bulan para guru. Satu per satu saya bayarkan gajinya sembari meminta mereka mengajar kembali. Selama tiga bulan saya tidak pernah tidur di rumah. Rumah utama saya di kantor MTs yang statusnya pun masih meminjam.

Masa kritis berhasil dilewati. Pada 1997, sekolah sudah mempunyai gedung sendiri; tiga lokal dan satu kantor. Pada September 1997, puji syukur, sekolah sudah terakreditasi B. Bahkan mulai tahun ajaran 1997/1998 jumlah siswa sudah paralel AB tiap tingkat. Setahun berikutnya, tugas saya bertambah. Pertama, mengajarkan Bahasa Inggris di tiga kelas, Bahasa Indonesia untuk kelas 7 dan 8, serta pembina pramuka dan imam Shalat Dhuha.

Bersama MTs tercinta di Malang telah banyak kenangan terukir. Pada tahun ajaran 2001/2002 saya mengundurkan diri. Saya mengadu nasib menjadi guru di sekolah milik sebuah perusahaan kayu lapis di Banjarmasin. Apakah saya berpindah untuk mencari kemudahan belaka? Jangan salah sangka. Di SMP tempat saya berkiprah itu perlu kesabaran dan ketabahan ekstra. Saya tinggal bersama masyarakat di perdalaman Kapuas Hulu, kampung Suku Dayak dengan budaya yang begitu asing bagi saya. Mayoritas penduduknya Hindu Kaharingan. Sebagai Muslim, saya minoritas di sana.

Pertama masuk sekolah pada tahun ajaran baru, saya langsung mendapatkan tugas yang cukup banyak. Saya langsung menjadi guru Agama Islam untuk kelas 1-3, Pendidikan Kewarganegaraan untuk kelas 1-3, Bahasa Indonesia untuk kelas 3, dan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum. Tugas yang cukup berat itu berbeda dibandingkan saat saya di Malang.

Walaupun pundak mengajar hampir sama banyak, kultur masyarakat di Malang melekat dengan diri saya sejak kecil. Berbeda dengan di pedalaman Kapuas Hulu. Di luar soal status saya sebagai pendatang dan tergolong kalangan minoritas, saya risih dengan menjamurnya seks bebas, minuman keras, dan perjudian. Percekcokan yang diakibatkan kekhilafan sedikit pun berujung pada ujung mandao, alias siap nyawa meregang. Aparat keamanan dan tenaga medis makhluk langka sehingga tidak bisa berharap banyak.

Yang sudah jelas harus segera ditaklukkan adalah minimnya fasilitas. Jangan harap ada akses barang elektronik. Kegiatan menjelang semester guru terbiasa mengetik sendiri kemudian mengedit dan menggandakan dengan cetak stensil di atas kertas buram. Cara ini ditempuh karena untuk menggunakan mesin foto kopi butuh waktu dua hari akibat jauhnya jarak perjalanan ke kota (perlu waktu delapan jam untuk sampai ke kota dengan perahu air).

Pada Mei 2006 saya akhirnya mengundurkan diri, tepatnya selesai pelaksanaan Ujian Nasional. Saya merasa cukup kelelahan. Belum lagi ongkos perjalanan yang begitu mahal. Biaya transportasi sampai ke Banjarmasin saja perlu uang Rp 500.000 untuk satu kali jalan. Pengalaman di Kalimantan tidak berakhir sampai di situ. Juni 2006 saya menapakkan kaki ke Sangatta. Masih sebagai pengajar, saya menjadi tenaga honor di SDN 003 Sangatta Utara. Saya mendapat tugas mengajar Pendidikan Agama Islam dengan jumlah jam mengajar 24 jam untuk kelas 1-6. Waktu itu tertulis dalam surat keputusan bahwa gaji honor saya Rp 300.000 per bulan.

Selain mengajar di SDN 003 Sangatta Utara, saya mendaftar tes di Primagama cabang Sangatta. Puji syukur, diterima. Terhitung mulai 1 September 2006 saya menjadi tentor honorer dengan tugas mengajar bidang studi Bahasa Indonesia kelas 3-6 SD. Sampai sekarang saya masih jalani aktivitas ini.

Saya yakin, perjalanan saya belum berakhir sampai di situ. Berada di Bumi Borneo, banyak kenangan hidup dengan masyarakat yang heterogen kultur budayanya. Khusus kenangan pahit, cukuplah tersimpan untuk saya. Biarlah saya berusaha menikmati perjalanan ini. Saya percaya, pengalaman baru akan terus bergulir sebagaimana saya terima saat mendapatkan pengalaman yang luar biasa setelah sekolah mendapat pendampingan dari Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa dan PT Trakindo Utama.

Sungguh merupakan pengalaman yang sangat berharga, selama dua tahun mendapat pendampingan dan enam kali training. Yang lebih menyenangkan lagi, saya dan seorang rekan guru diberangkatkan ke Jakarta untuk mendapatkan Praktik Pembelajaran Guru Terbaik, bersama sekolah-sekolah yang juga mendapat program pendampingan. Sungguh berharga pula karena bisa bertemu langsung dengan Presiden Direktur PT Trakindo Utama, Bapak Bari Hamami.

[Disalin dari Buku “2 Menyibak Mutu Pendidik Jilid 2”, DD Press. Penulis: Munib Faqihuddin]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares