Menggagas Sekolah Berbasis Lingkungan

Saat ini, kita sering menyaksikan fenomena bencana alam di berbagai kota besar di Indonesia. Mulai dari polusi udara, bencana banjir, hingga kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh eksplorasi lahan secara masif. Fenomena ini ternyata berdampak pada kerusakan alam di kota-kota tersebut dan menular ke daerah-daerah sekitarnya.
Salah satu contoh konkret adalah adanya banjir tahunan di Ibu Kota Negara yang diakibatkan oleh tersumbatnya aliran air sungai karena penumpukan sampah. Tidak hanya Jakarta, di Kabupaten Bandung pun demikian. Hampir setiap turun hujan, air akan menggenangi rumah-rumah yang ada di kawasan Dayeuhkolot, Baleedah, dan Majalaya. Hal ini juga disebabkan oleh hal yang sama: tersumbatnya aliran air akibat penumpukan sampah di sungai-sungai.
Tidak ada asap kalau tidak ada api. Sebuah pepatah mengatakan demikian. Tidak akan ada bencana banjir dan kerusakan lingkungan kalau tidak ada ulah manusia yang melatarbelakanginya. Kemungkinan terbesarnya adalah adanya “hobi” membuang sampah sembarangan oleh sebagian masyarakat Indonesia, khususnya di daerah-daerah langganan banjir.
Tidak hanya banjir, sungai-sungai yang sudah disinggahi sampah, ekosistemnya pun akan rusak. Kita bisa melihat bagaimana jernihnya air sungai berubah menjadi warna-warni tak keruan. Ikan, kepiting, udang, dan beragam makhluk sungai lainnya tidak akan bisa kita jumpai karena rumah mereka telah tergusur sampah-sampah yang selalu dikambinghitamkan, padahal manusialah biang keladinya.
Meski sudah ada beragam program dari pemerintah untuk mengatasi masalah lingkungan ini, karena hanya bersifat seremonial belaka—tidak ada tindak lanjut yang berarti—hasilnya pun tidak seperti yang kita harapkan. Selama tidak ada kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan dalam diri masyarakat, sebanyak dan sesering apa pun pemerintah mengampanyekan untuk tidak membuang sampah secara sembarangan, hasilnya akan sia-sia belaka.
Oleh karena itu, penyadaran kepada seluruh elemen masyarakat harus benar-benar dilakukan secara kontinu sebelum kita mengajak mereka untuk tidak berlaku semaunya. Konkretnya, harus ada pembangunan sumber daya manusia yang unggul untuk bisa menyelesaikan masalah lingkungan. Salah satu tindak lanjutnya adalah dengan memberikan pendidikan yang berwawasan lingkungan sejak usia dini. Pendidikan usia dini yang dimaksud adalah usia anak-anak ketika memasuki jenjang sekolah dasar. Saat itulah para peserta didik diarahkan untuk mencintai lingkungan beserta alam sekitarnya.
Tindakan nyata yang berkaitan dengan hal tersebut telah dilakukan oleh Kecamatan Ibun, sebuah kecamatan yang berjarak kurang lebih 35 kilometer dari ibu kota Kabupaten Bandung. Kecamatan ini berada di pegunungan dan langsung berbatasan dengan Kabupaten Garut. Hingga saat ini, Kecamatan Ibun sedang giat memprogramkan pendidikan lingkungan hidup untuk tiap sekolah. Hal ini didasarkan pada permasalahan lingkungan yang semakin hari semakin mengkhawatirkan.
Saya meyakini bahwa melalui jalur pendidikan sejak usia dini, ke depannya kita mampu menjadikan para siswa sebagai pemimpin yang peka terhadap lingkungannya. Oleh sebab itu, adalah sebuah kabar gembira bagi saya kala ada sebuah sekolah dasar di Kecamatan Ibun (yakni SDN Kamojang) yang notabene tempat saya bertugas sebagai Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), yang sudah memprogramkan Sekolah Berwawasan Lingkungan. Ini merupakan hal positif yang harus didukung oleh semua pihak.
Dari sekolah itu pula, saya mendapatkan gagasan yang bagus untuk bisa menjadikan semua sekolah di Kecamatan Ibun menjadi sekolah yang hijau, bersih, rapi, dan indah. Sekolah berwawasan lingkungan bisa menjadi sebuah jawaban atas kekhawatiran kita akan bencana alam yang selama ini menghantui umat manusia. Kenapa harus sekolah yang berbasiskan lingkungan?
Fenomena alam yang kian tidak menentu saat ini merupakan momentum untuk menghidupkan isu lingkungan hidup di sekolah-sekolah Indonesia. Sekolah sebagai kawah candradimuka dan tempat mempersiapkan para generasi bangsa mau tidak mau harus bisa menjawab tantangan ini: kerusakan lingkungan hidup yang setiap hari muncul di pemberitaan media.
Sekolah yang ramah lingkungan merupakan sebuah sekolah yang di dalamnya mempunyai instrumen-instrumen lingkungan hidup. Menerapkan budaya dan karakter bangsa akan sangat mudah apabila diintegrasikan dengan pendidikan lingkungan hidup. Salah satu contohnya adalah ketika seorang guru mengajarkan materi reboisasi atau penghijauan bisa diintegrasikan dengan mengajak para siswa menanam dan merawat tanaman serta tidak sembarangan ketika harus menebang pohon. Dalam ilmu sosial pun demikian, para guru bisa memberikan motivasi kepada para siswa agar selalu menjaga lingkungan dan alam sekitar agar tidak rusak dengan cara membiasakan berperilaku membuang sampah pada tempatnya.
Kita juga bisa mengajak para siswa untuk membuat bahan kerajinan dari bahan daur ulang sampah plastik dan daur ulang sampah organik. Dari hal itu, selain kita memberikan keterampilan, anak didik juga akan mendapatkan manfaat lain berupa hasil penjualan bahan kerajinan dan pupuk organik yang dikelola oleh sekolah setempat. Ya, akan banyak sekali manfaat yang didapatkan jika sebuah sekolah mau menerapkan program Green School atau sekolah yang berwawasan lingkungan.
Saya berharap semoga program Green School yang berjalan di SDN Kamojang, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung ini bisa dijadikan pilot project untuk membangun manusia Indonesia yang cinta akan alam dan tanah airnya, terkhusus di Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, dan seluruh Nusantara pada umumnya. Pendidikan lingkungan hidup adalah jawaban dari pendidikan karakter anak untuk menumbuhkan cinta terhadap alam dan tanah airnya.
[Disalin dari Buku “Hijau Hebring di Kamojang”, DD Press. Penulis: Moh. Cuarliman Kahyo, S.H.]