Malaikat di Sekolah Kami

Langkah kakinya masih tegap, meski usianya sudah senja. Sorot matanya masih tajam, meski ototnya sudah mulai memudar. Gaya bicaranya masih jelas dan tegas, meski sudah sering sakit-sakitan. Tiada hari tanpa memberi, yakni memberi secercah cahaya harapan dan mimpi kesuksesan kepada generasi yang akan memegang tongkat estafet pembangunan di negeri ini. Beliaulah sosok ideal pemimpin anak-anak bangsa di sebuah bangunan berbentuk bujur sangkar. Guru!
Sebut saja namanya Sunarya. Seorang guru yang sudah mengabdikan dirinya lebih dari dua puluh tahun. Segala suka dan duka menjadi guru telah ia rasakan. Tidak ada keluh kesah dan gundah di mata dan hatinya ketika harus menunaikan tugas mulia menjadi jembatan generasi bangsa untuk mencapai cita-cita mereka di masa depan. Sejak dahulu, para guru sering menjadi sapi perahan para oknum yang tidak bertanggung jawab di negeri ini. Mereka yang menjadi ujung tombak pembangunan sumber daya manusia negeri ini seolah dikesampingkan dan tidak pernah diperhatikan kesejahteraannya oleh dewan yang terhormat di negeri ini.
Kenyataan pahit ini juga beliau rasakan. Dengan upah yang lebih kecil dari pegawai bangunan waktu itu, membuat beliau harus berpikir keras bagaimana caranya agar tetap bisa melanjutkan perjuangannya sebagai pendidik plus melanjutkan hidupnya sendiri. Dalam sebuah kesempatan, saya pernah menanyakan berbagai hal tentang dinamika pendidikan di sekolah ini kepada beliau. “Saya adalah pemimpin anak-anak di kelas,” itulah jawaban beliau. Bagi beliau menjadi seorang guru harus senantiasa memberikan teladan dan dedikasi yang baik kepada anak-anak didiknya.
Menurutnya, guru adalah pemimpin, dan pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Sang Pemberi hidup di akhirat kelak. “Setiap hal yang kita berikan pada anak, baik itu ucapan maupun tindakan, akan dicatat oleh malaikat. Apakah ucapan itu baik atau buruk; apakah tindakan itu terpuji atau tercela, semua akan dicatat oleh malaikat dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Yang Mahakuasa,” tandasnya.
Apa yang beliau sampaikan memang tidak jauh dengan yang telah beliau lakukan di kelas. Ketika saya melihat ruang kelas beliau, terlihat sangat rapi dan hidup. Banyak sajian pelajaran ditempelkan di dinding kelas dengan rapi—berupa gambar-gambar sebagai alat peraga dalam pembelajaran. Begitu juga banyak hasil karya siswa yang dipajang di dinding sebagai tanda penghargaan beliau kepada para siswa.
Kerapian dan kebersihan kelas sangat berbeda dengan kelas yang lain. Bagi beliau, menjaga kerapian dan kebersihan harus dibudayakan dan bukan diajarkan kepada anak didik. Oleh karena itu, tidak heran ketika kita masuk ke ruang kelas beliau akan terlihat sangat bersih dan rapi, sepatu tersusun dengan apik, rak bukunya bersih, cat kelas yang memberikan warna kesejukan dan keceriaan membuat kelas ini layak menjadi ruang untuk anak-anak.
Kedisiplinan anak kelasnya sangat terlihat, salah satu contoh adalah menaati jadwal masuk kelas. Beliau sangat disiplin dalam menerapkan budaya yang baik di kelasnya. Ketika kelas yang lain masih ada anak yang bermain, anak didik beliau sudah masuk ruangan serta sibuk mempersiapkan materi pelajaran di hari itu.
Ki Hajar Dewantara, seorang pendidik di negeri ini, pernah berkata, “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri Handayani.” Arti dari semboyan ini adalah ing ngarsa sung tuladha (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan yang baik); ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide); tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan).
Falsafah tersebut seolah telah terbentuk dalam diri beliau sebagai ibu guru kami di sekolah ini dan juga sudah ditularkan kepada anak-anak didiknya. Mengayomi anak didik dari mulai masuk sekolah hingga mereka pulang ke rumah masing-masing senantiasa dilakukannya dengan senang hati. Tidak ada rasa berat yang tergurat di wajah beliau.
Di balik itu semua, ternyata masih ada cerita yang sangat memilukan kala beliau meniti jalan menjadi guru yang baik. Namun, beliau masih berbaik sangka kepada rekan-rekan guru lain yang menganggap beliau terlalu sering menolak pemberian—yang memang bukan haknya—dan tentunya ide-ide beliau yang dianggap “mengganggu” ke nyamanan para guru yang lain. “Saya bisa memaklumi sikap mereka karena banyak tindakan saya yang kurang mereka senangi,” ujarnya.
Sosok beliau yang sederhana dan hanya menempati rumah dinas sekolah tidak membuat beliau silau akan dunia. Bagi beliau, selama hayat masih dikandung badan, selama itu pula beliau akan terus berjuang untuk anak-anak didiknya di sekolah. “Anak didik kita adalah pemimpin bangsa di masa depan, dan kita—sebagai guru—adalah pemimpin teladan bagi mereka di sekolah yang merupakan miniatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Di era yang serba sulit seperti saat ini, ternyata masih ada oase di kekeringan moral. Beliau bagaikan oase di Gurun Sahara yang memberikan seteguk air bagi anak bangsa yang kehausan ilmu dan pengetahuan. Guru sebagai sentral atau ujung tombak pembangunan sumber daya manusia sangatlah strategis posisinya. Apalagi guru di sekolah dasar seperti beliau ini, seharusnya disejajarkan atau dilebihkan dari guru-guru yang berada di tingkat pertama dan atasnya.
Walhasil, jika kita merenung kembali, ternyata kita telah salah menilai dan menganaktirikan para guru di sekolah dasar seperti beliau, padahal tugas mereka jauh lebih berat dari tugas guru-guru di sekolah tingkat pertama dan tingkat menengah. Sudah selayaknya mereka diberikan perhatian khusus karena merekalah yang menanamkan moral dan budi pekerti kepada anak sejak dini. Kalau bukan mereka, siapa lagi yang sanggup melerai perkelahian antarsiswa, menenangkan siswa yang menangis, memberikan nilai-nilai luhur hidup berbangsa dan bernegara. Guru, tugasmu sungguh mulia.
[Disalin dari Buku “Hijau Hebring di Kamojang”, DD Press. Penulis: Irman Parihadin]