Guru, Lingkungan, dan Bangsa Sejahtera

Masih ingat kasus seorang siswa SMA di Jakarta yang nyawanya meregang di tangan siswa sebaya saat tawuran di Bulungan, Jakarta? Kejadian seperti ini menorehkan luka mendalam bagi pendidikan di negeri kita. Bagaimana tidak, sebuah institusi pendidikan justru menghasilkan para barbar, bukan menghasilkan anak-anak yang saleh dan berakhlak mulia.
Bisa dikatakan, sudah tidak terhitung lagi kejadian tawuran antarpelajar yang terjadi di negeri ini. Apakah ini yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini? Apakah para pendiri bangsa ini rela menjadikan generasinya sebagai generasi tak beradab yang tidak menghormati kemanusiaan?
Sebuah renungan besar bagi kita, bahwa kejadian ini ada mata rantainya—dan tidak terjadi begitu saja. Mari kita runut kejadian tawuran yang terjadi di kalangan pelajar saat ini. Hampir semua pelaku tawuran adalah anak-anak Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), atau yang sederajat. Apakah ini sebuah kebetulan, bahwa anak SMA/SMK selalu memiliki sikap yang brutal dalam menyikapi dinamika kehidupan sehingga menjadikan tawuran sebagai solusinya?
Perlu kita ketahui bahwa sebelum anak-anak ini memasuki jenjang pendidikan menengah atas, mereka pasti telah melewati pendidikan menengah pertama (SMP). Dan sebelum mereka masuk jenjang menengah pertama, mereka tentu telah mengikuti jenjang sekolah dasar. Ini adalah mata rantai pendidikan di negeri kita. Kemudian, siapakah yang memiliki peran dalam mendidik anak-anak ini dari jenjang pendidikan tingkat dasar sampai menengah atas
Jawabannya adalah guru. Mereka adalah kunci peradaban. Mereka adalah penentu ke arah mana generasi bangsa ini diarahkan. Termasuk dalam merawat Bumi dari kerusakan. Mari kita tanyakan dan rasakan pada diri kita, apa yang dirasakan guru-guru kita saat ini? Apakah yang dilakukan oleh para guru saat ini sudah sesuai dengan apa yang mereka dapatkan?
Sungguh, betapa guru mempunyai tugas yang sangat berat, terlebih guru-guru di sekolah dasar. Sayangnya, kenyataan ini berbanding terbalik dengan perhatian yang diberikan pemerintah kepada para pahlawan tanpa tanda jasa ini. Sebuah dilema bagi bangsa ini. Satu sisi ini harus siap dan maju dalam menghadapi era globalisasi, tetapi di sisi lain tidak serius dalam menyiapkan diri untuk menghadapinya.
Bagaimana menyiapkannya? Tentu semuanya berawal dari kesiapan guru dalam menyiapkan generasi bangsa. Jika guru tidak siap, siapa yang akan mendidik para generasi bangsa ini? Jika guru tidak diperhatikan kesejahteraannya oleh pemerintah, siapa lagi yang akan menunjang keperluan mereka. Amat mustahil bisa bertahan menjadi seorang pendidik jika kebutuhan mereka saja tidak ada yang memikirkannya. Semoga pengampu kebijakan di negeri ini serius membenahi pendidikan dengan diawali menyejahterakan kehidupan para gurunya.
Jika saja kesejahteraan guru di Indonesia diperhatikan dari tingkat sekolah dasar, kemungkinan besar kejadian tawuran seperti di atas bisa diminimalkan. Kenapa harus dari sekolah dasar? Karena sekolah dasar adalah jenjang pertama dalam membentuk karakter anak. Seperti namanya, sekolah dasar adalah fondasi awal terbentuknya karakter para generasi bangsa ini, termasuk karakter mencintai lingkungan hidup.
Jika guru sekolah dasar semangat dan penuh inspirasi, anak didiknya pun akan terinspirasi, sebagaimana ditemukan dalam pelaksanaan program Green School di sekolah kami. Sebaliknya, jika para gurunya sudah tidak semangat—karena di samping mengajar juga harus mencari penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya—dapat kita tebak anak didik macam apa yang akan dihasilkan.
Dengan kata lain, guru akan lebih total dalam mendidik jika kesejahteraannya benar-benar diperhatikan oleh pemerintah. Sudah saatnya kita melihat dengan kedua mata akan upaya yang telah dilakukan oleh para guru dalam mendidik generasi bangsa. Sebenarnya jika pemerintah memahami dan melihat perjuangan mereka, kesejahteraan tidaklah harus mereka minta, tetapi memang sudah sepatutnya diberikan oleh pemerintah. Memerhatikan para guru berarti memerhatikan masa depan bangsa dan negara. Jika guru sejahtera, bangsa pun akan ikut sejahtera. Insya Allah.
[Disalin dari Buku “Hijau Hebring di Kamojang”, DD Press. Penulis: Dani Ramdani]