Bagaimana Membangkitkan Optimisme Guru Untuk Berubah?

Halo Sobat Insan Pendidik, semoga selalu semangat dakam mendidik generasi meskipun saat ini sedang menjalankan Leraning From Home (LFH). Kali ini kami akan berbagi berkaitan dengan cara membangkitkan optimisme guru untuk berubah.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa yang namanya perubahan ke arah yang lebih baik tentu didambakan oleh semua orang, termasuk guru.
Dalam menjalankan tugasnya di sekolah, guru tentu menginginkan tempatnya bertugas berubah menjadi sekolah yang lebih baik. Ada peningkatan kualitas pada semua siswanya. Namun, untuk berubah menjadi lebih baik ini banyak sekali dalih, halangan, maupun rintangannya. Hal-hal ini membuat sikap pesimis menjangkiti sebagian besar guru.
Setiap kali saya melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah dampingan, baik untuk tujuan monitoring dan evaluasi program maupun mengisi pelatihan, sering saya mendengar pernyataan-pernyataan ketidakoptimisan tersebut. Kekurangan dana sekolah, fasilitas yang tidak memadai, rekan-rekan guru yang sulit diajak berubah, kepala sekolah yang tidak memberikan keteladanan, dan masalah lainnya, sering kali saya dapatkan dari perbincangan saya dengan para guru.
Kalau sudah seperti ini, maka upaya untuk melakukan perubahan pun akan semakin banyak kendalanya. Bahkan akan menutup adanya usaha untuk melakukan perubahan tersebut. Hal ini karena pesimisme sudah menghalangi perubahan itu sendiri. Karena itu, jika mau melakukan perubahan, terlebih dahulu harus dilenyapkan rasa pesimis yang ada dalam diri guru. Hal ini saya lakukan ketika saya menemukan guru-guru yang mengeluh dan pesimis ketika saya ajak untuk memperbaiki kualitas sekolah.
Salah seorang guru sekolah dampingan di daerah Timika Papua sebenarnya memiliki kemampuan yang cukup baik jika dibandingkan dengan guru lainnya. Namun, kelebihan yang beliau miliki tidak menjadikannya sebagai guru yang lebih baik dan guru teladan bagi yang lainnya. Hal ini karena beliau pesimis sekolah tempatnya bertugas bisa berubah menjadi lebih baik.
Menghadapi guru sepert ini, saya kemudian mengajaknya untuk melakukan diskusi dengan ditemani Pendamping Sekolah. Saya sampaikan kepadanya bahwa beliau adalah salah satu guru yang bagus dalam menyampaikan materi pelajaran. Hal ini saya simpulkan dari beberapa kali observasi yang saya lakukan pada saat beliau mengajar.
Kemudian saya sampaikan kepada beliau bahwa dengan kemampuannya itu beliau bisa menghasilkan output siswa yang lebih baik dibandingkan guru lain. Bahkan bisa menjadi pionir perubahan cara mengajar yang lebih baik di sekolahnya.
Mendengar pernyataan saya tersebut, guru ini kemudian berkata kepada saya, “Pak, jujur saya ingin sekali berkontribusi di sekolah ini dengan melakukan perubahan. Bahkan ketika awal kali saya menjadi PNS dan ditempatkan di sekolah ini, saya ingin menjadi guru yang baik. Namun, rupanya cita-cita saya tersebut tidak mendapat dukungan dari para guru di sini. Alih-alih mendapatkan dukungan, lingkungan di sini malah membuat saya tidak bersemangat dan tidak disiplin.”
“Lihat saja Pak,” tambahnya, “Kepala Sekolah sering tidak ada di sekolah, tidak peduli dengan kondisi di sekolah. Guru-guru pun banyak yang datang terlambat bahkan tidak datang ke sekolah. Kalau seperti ini, saya pun enggan untuk disiplin dan mengajak berubah kepada para guru lainnya. Para guru pun sulit diajak berubah karena tidak ada keteladanan dari pimpinan. Jadi, sulit untuk membawa sekolah ini berubah.”
Mendengar pernyataannya itu, saya kemudian menanggapi, “Saya menaruh harapan pada Ibu untuk menjadi guru pionir yang mengajak guru-guru lain berubah. Ibu memiliki setidaknya dua modal: kemampuan dan kesadaran untuk berubah. Saya pikir, dua hal ini sudah menjadi modal kesuksesan Ibu dan juga Pendamping Sekolah untuk mempelopori perbaikan di sekolah ini.”
Lanjut saya, “Kalau kita menunggu perubahan pada pimpinan kita atau menunggu perubahan dari orang lain dan kemudian kita juga ikut-ikutan tidak displin dan menjadi guru biasa-biasa saja, maka apa bedanya kita dengan yang lain? Kita sama saja. Kita menjadi bagian masalah. Seharusnya kita yang sudah menyadari, menjadi orang yang menyadarkan yang lain, bukan malah ikut-ikutan.
Kalau seperti ini, maka tugas saya dan Pendamping Sekolah dalam program ini semakin berat, karena guru yang menyadari perubahan pun ternyata tidak mau berubah dan malah menjadi bagian dari masalah perubahan.”
“Saya yakin, pimpinan kita pun akan berubah jika kita meneladankan kebaikan dan terus-menerus mengajaknya untuk menjadi pemimpin yang lebih baik.” Tandas saya mengakhiri penjelasan.
Lalu guru yang penuh perhatian terhadap anak ini bertanya kepada saya, “Betul apa yang tadi Bapak sampaikan. Namun, saya sering kali merasa malas untuk memulai mengerjakannya, apalagi lingkungan sudah seperti ini. Bagaimana cara kita menaklukkan rasa malas itu?”
Saya pun menjawab, “Ibu lakukan saja tindakan!”
Dengan bingung, beliau bertanya kembali, “Maksudanya, Pak? Justru itu yang saya tanyakan, bagaimana agar kita bisa bertindak?”
Kembali saya jawab, “Lakukan tindakan! Banyak dari kita menginginkan sesuatu, namun kita malas, menunda-nundanya dan akhirnya tidak mencapainya karena kita tidak melakukan. Cara jitu mengalahkan kemalasan adalah lakukan sekarang!”
“Mari bersama Pendamping Sekolah kita mulai aksi-aksi nyata untuk melakukan perubahan. Jangan jadikan lingkungan yang tidak baik sebagai penghalang, justru seharusnya itu kita jadikan sebagai cambuk bagi kita untuk melakukan perubahan. Saya yakin Ibu guru bisa melakukan itu.” Papar saya kembali meyakinkan beliau.
Beliau akhirnya menyatakan akan berubah dan turut andil dalam perbaikan sekolah.
Menumbuhkan optimisme, memang memerlukan waktu dan proses yang cukup lama, namun bukan berarti tidak mungkin. Menjelang akhir tahun Program Pendampingan Sekolah, Pendamping Sekolah terus-menerus mencontohkan dan memotivasi, hingga optimisme guru (bahkan kepala sekolah) pun akhirnya tumbuh.
Dan sungguh luar biasa! Pada triwulan terakhir program, optimisme dan semangat itu kian terlihat. Sebagian kecil guru berubah menjadi semangat untuk melakukan perbaikan. Dan dari sebagian kecil guru ini akhirnya turut menyebar virus positif kepada sebagian besar guru yang lain. Akhirnya semakin banyak guru yang ikut berlomba-lomba memperbaiki diri dan sekolah. Sesuatu yang dulu menjadi hambatan, kini malah menjadi penyemangat para guru untuk bekerja dengan lebih baik lagi.
Capaian target program (yang tentunya merupakan perbaikan kualitas sekolah) semakin menunjukkan peningkatan yang signifikan. Meskipun belum besar, peningkatan yang ada ini sangat bagus mengingat kondisi awal sekolah yang memprihatinkan dan diperparah budaya lingkungan setempat yang tidak mendukung peningkatan performa sekolah. []
[Disalin dari Buku “Bagaimana Ini Bagaimana Itu”, DD Press. Penulis: Zayd Sayfullah]
subhanallah.. senang sekali jika melihat guru yang bersemangat tanpa pamrih..
masa masa itu saya alami saat menjadi guru(blm kepsek). semangat, kendur, semangat lagi..
saat awal jadi kepala sekolah semangat, sekarang mulai menurun, entah apa yang membuat begini, kurangnya dukungan kah?? terlalu banyak pekerjaan kah yang tidak saya kuasai…
menangkap kisah diatas, rasa ingin memajukan lembaga menjadi lebih baik dalam segala hal..
Tetap semangat dan optimis, Ibu! Karena Allah tidak memberikan beban kepada hamba-Nya melebihi kemampuannya.