Bagaimana Menyamakan Persepsi Guru Tentang Supervisi Pembelajaran?

Bagaimana Menyamakan Persepsi Guru Tentang Supervisi Pembelajaran?

Halo Sobat Insan Pendidik, tidak sedikit kepala sekolah mengalami kendala dalam menjalankan supervisi pembelajaran, salah satunya karena adanya perbedaan bahkan kesalahan persepsi guru terkait supervisi. Nah pada pada kesempatan kali ini kami akan berbagi tentang cara menyamakan persepsi berkaitan dengan supervisi pembelajaran. Semoga bisa menjadi inspirasi.

Tahun 2012 adalah masa awal berjalannya Program Pendampingan Sekolah di sebuah sekolah dasar di Kota Hujan, Bogor Jawa Barat. Beberapa bulan setelah program diselenggarakan, ternyata di sekolah tersebut ada masalah dalam hal fungsi supervisi kepala sekolah.

Idealnya, seorang kepala sekolah menjalankan supervisi pembelajaran, sehingga performa mengajar guru bisa dievaluasi untuk kemudian dilakukan upaya perbaikan dan pengembangan, yang pada akhirnya diharapkan kualitas pembelajaran semakin meningkat.

Namun, fungsi tersebut ternyata belum berjalan. Sebagai salah satu cara agar kepala sekolah melaksanakan supervisi, Pendamping Sekolah mengajak dan membuat jadwal supervisi bersama dengannya. Hal ini dilakukan agar kegiatan ini menjadi kebiasaan baru kepala sekolah sehingga fungsinya sebagai seorang supervisor dapat berjalan.

Namun, kegiatan supervisi ini tidak bisa dilaksanakan dengan lancar. Jadwal yang dilaksanakan menemukan kendala. Hingga puncaknya pada suatu hari, saya mendapatkan berita mengejutkan bahwa guru-guru di SD tersebut menolak untuk disupervisi.

“Pak, guru-guru menolak disupervisi. Suaya sudah melakukan pendekatan-pendekatan baru, namun guru-guru tetap menolak,” papar Pendamping Sekolah yang bertugas daily di sana.

Mendengar hal itu, saya berinisiatif melakukan sharing dengan para guru. “Mbak, tolong minta agar kepala sekolah mengagendakan pertemuan dengan para guru ya! Saya ingin ngobrol dengan mereka,” pinta saya.

Singkat cerita pertemuan pun dilaksanakan. Saya membuka pertemuan itu dengan menyampaikan bahwa Program Pendampingan Sekolah yang dilaksanakan adalah untuk membantu kepala sekolah dan para guru dalam mengatasi permasalahan yang ada, sehingga peningkatan kualitas sekolah pun bisa diwujudkan. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah supervisi. Jadi, keberadaan program ini adalah untuk meringankan dan memecahkan permasalahan yang ada di sekolah; bukan membebani atau menjatuhkan.

Setelah menyampaikan overview Program Pendampingan Sekolah tersebut, saya mempersilakan para guru untuk menyampaikan pertanyaan, masukan atau bahkan kritik konstruktif terhadap program. Forum hening untuk beberapa saat. Setelah itu, salah satu guru laki-laki memberanikan diri bersuara terus terang.

“Pak, sebenarnya kami keberatan dengan adanya kegiatan supervisi yang dilakukan dalam program ini.”

Mendengar hal tersebut, saya lalu bertanya, “Kalau boleh tahu, kenapa Bapak keberatan?”

“Kami tidak mau dinilai dan kemudian dengan penilaian itu status kami akan terancam. Kan hasil supervisi itu pasti dilaporkan kepada Dinas Pendidikan? Nah ini yang membuat kami keberatan, karena akan menjatuhkan nama baik kami,” terang guru tersebut.

Seketika itu juga seorang guru perempuan menyahut pernyataan tadi dan berkata, “Betul, Pak, saya merasa takut dengan kegiatan supervisi. Saya juga tidak mengerti untuk apa sih ada supervisi segala? Itu kan membuat kita jadi canggung karena diamati dan dinilai.”

Dalam hati saya berkata, “Oh ternyata karena hal-hal itu para guru menolak disupervisi.” Lalu saya menanggapinya, “Bapak dan Ibu Guru, apa yang dikhawatirkan oleh Bapak dan Ibu Guru tadi adalah hal yang wajar. Saya pun akan merasakan hal tersebut jika memang supervisi itu adalah untuk menjatuhkan nama baik Bapak dan Ibu Guru.”

“Dalam kesempatan ini saya perlu menyampaikan bahwa supervisi yang dialksanakan dalam program ini bertujuan untuk melihat performa seorang guru dalam pembelajaran di kelas, sehingga dapat dipetakan aspek apa yang sudah bagus dan aspek apa saja yang masih perlu diperbaiki. Dari sinilah akan diketahui bimbingan atau bantuan apa yang pantas untuk masing-masing guru.” Lanjut saya menjelaskan.

“Meskipun supervisi yang dilakukan dalam program ini bersifat penilaian, namun supervisi ini bukan untuk penilaian kinerja yang dilaporkan kepada Dinas Pendidikan. Supervisi ini hanya untuk evaluasi pembelajaran yang dengan itu kami bisa membantu Bapak dan Ibu Guru agar pembelajarannya semakin bagus. Dan kalau semakin bagus, bukankah penilaian performa mengajar Bapak dan Ibu Guru semuanya akan semakin bagus juga?” Tanya saya retoris.

Seketika itu suasana hening pecah oleh suara-suara gumaman guru. Seorang guru angkat bicara, “Wah, kalau seperti itu kami gak keberatan. Justru kami senang dan mau disupervisi.”

“Tapi, Pak,” sahut seorang guru lain, “kami canggung jika dalam mengajar kami dilihatin terus”.

“Tenang Bu. Ibu tidak perlu merasa malu dan canggung, kan kita sama-sama manusia yang pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. Rasa canggung itu juga karena kita belum terbiasa disupervisi. Insya Allah jika kita sudah terbiasa, maka rasa canggung itu akan hilang,” jawab saya disambut anggukan para guru petanda mereka memahami apa yang saya ucapkan.

Seorang guru yang lainnya kemudian mengusulkan, “Saya sependapat dengan apa yang tadi Bapak paparkan. Nah, alangkah lebih baiknya kalau ada pertemuan bulanan untuk membahas dan mengevaluasi pembelajaran kita semua agar peningkatan kualitas KBM (kegiatan belajar mengajar) pun bisa kita wujudkan. Bagaimana menurut Bapak? Dan bagaimana juga menurut Pak Kepsek?”

Kepala Sekolah yang sejak awal pertemuan lebih banyak mendengarkan akhirnya angkat bicara. “Apa yang tadi dijelaskan tentang supervisi itu benar. Dan mengenai usulan pertemuan bulanan saya sepakat. Kita jadwalkan saja satu bulan dari sekarang, kita ketemu lagi untuk rapat hasil supervisi.”

Mendengar pernyataan Kepala Sekolah, saya lega dan senang, karena beliau sudah mau menjalankan fungsinya sebagai pemimpin di sekolah. Sebulan kemudian rapat hasil supervisi pembelajaran guru pun dilaksanakan.

Itulah sepenggal pengalaman berkaitan dengan pembenahan sekolah. Adanya proses manajemen yang tidak berjalan dengan baik, bisa jadi bukan karena hal-hal besar, namun bisa jadi itu hanya karena belum dipahaminya suatu proses kegiatan oleh guru maupun kepala sekolah secara utuh. Karena itu, komunikasi dan koordinasi itu penting guna membangun kesamaan pandangan, kesamaan visi. []

[Disalin dengan sedikit penyesuaian dari Buku “Bagaimana Ini Bagaimana Itu”, DD Press. Penulis: Zayd Sayfullah.]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares