PAUD yang Dirindukan (Bagian 1 dari 2)

INDONESIA diproyeksikan akan menerima bonus demografi di tahun 2035. Diperkirakan pada tahun tersebut populasi Indonesia mencapai 305,6 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 70% diantaranya berada di usia produktif. Siapkah Indonesia menerima bonus demografi ini?
Indonesia bisa diuntungkan namun juga bisa dirugikan. Oleh sebab itu, pemerintah perlu menyiapkan profil generasi mendatang yang unggul dan berkualitas. Generasi yang siap bersaing dengan negara-negara lain. Memulainya dengan menghadirkan pendidikan berkualitas sejak usia dini, yang kita kenal dengan sebutan program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Program PAUD diluncurkan dalam skala nasional sejak tahun 2001, ditandai dengan terbentuknya direktorat PAUD. Kehadiran program layanan PAUD dilatarbelakangi oleh tiga hal. Pertama, masih banyak anak-anak di Indonesia yang belum mengenyam pendidikan usia dini. Kedua, pemerataan pendidikan. Ketiga, HDI (Human Development Index) Indonesia berada di peringkat 110 dibandingkan dengan Malaysia yang berada diperingkat 61, menunjukkan kualitas pendidikan anak Indonesia rendah.
Tahun lalu, melalui kepala BKKBN Fasli Jalal menyampaikan layanan pendidikan usia dini baru menjangkau sekitar 30 persen dari 30 juta anak 0-6 tahun. Padahal target disepakati dengan UNESCO adalah 75 persen pada 2015. Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD saat ini baru mencapai 55,4 persen. Jumlah tersebut jika dihitung berdasarkan kategori anak usia dini berusia tiga sampai dengan enam tahun.
Meskipun angka tersebut masih dikategorikan rendah, namun jika dibandingkan dengan rerata APK PAUD di Asia Tenggara, Indonesia mengungguli. Terlepas dari data-data di atas, disimpulkan bahwa penyelenggaraan program pendidikan anak usia dini masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah Indonesia dalam mewujudkan generasi unggul dan berkualitas.
Pentingnya Pendidikan Sejak Usia Dini
Tahun depan, kemendikbud mewajibkan siswa mengikuti pendidikan anak usia dini yakni Taman Kanak-Kanak (TK)/PAUD, sebelum masuk Sekolah Dasar (SD). Berita ini dituliskan pada laman online JPNN.com. Di Indonesia, ada 3 bentuk layanan PAUD yaitu Taman Penitipan Anak, Taman Bermain, dan Taman Kanak-Kanak/PAUD. Taman penitipan anak atau TPA merupakan salah satu bentuk layanan PAUD untuk anak usia 0-6 tahun yang diperuntukkan bagi keluarga yang berhalangan dengan mengasuh anak. Kelompok Bermain diperuntukkan anak usia 2 – 4 tahun. Taman Kanak-Kanak (TK)/PAUD diperuntukkan anak usia 4 – 6 tahun. Umumnya masyarakat memasukkan anaknya ke TK/PAUD sebelum melanjutkan ke tingkat pendidikan dasar yakni sekolah dasar (SD).
Usia dini dikenal dengan periode golden age. Pada usia tersebut merupakan perkembangan terbaik untuk fisik dan otak anak. Selain asupan makanan yang bergizi, otak anak pun perlu dirangsang agar optimal. Menurut Clark, sel otak anak memiliki kisaran antara 100-200 miliar sel otak. Namun dari hasil penelitian menyatakan bahwa hanya 5% potensi otak yang tepakai karena kurangnya stimulasi yang berfungsi untuk mengoptimalkan fungsi otak. Horward Gardner menyatakan bahwa anak pada usia lima tahun pertama selalu diwarnai dengan keberhasilan dalam belajar segala hal.
Periode golden age yang terbatas dan hanya dilewati satu kali seumur hidup manusia, menyebabkan pendidikan anak usia dini menjadi sangat penting. Keberhasilan pendidikan sejak usia dini akan menentukan masa depan anak. Minimal anak-anak Indonesia memperoleh pendidikan sejak dini di usia 4 – 6 tahun.
Kesalahan Pembelajaran di TK/PAUD
Pentingnya pendidikan usia dini, terkadang menjadi salah diartikan. Dianggapnya, masa golden age anak-anak perlu dijejali dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan. Istilah lainnya anak-anak dicekoki. Proses ini tentunya akan menghambat proses belajar anak di tingkat berikutnya yakni sekolah dasar.
Contohnya saja, anak-anak usia 4 tahun sudah mulai dipaksa membaca, menulis dan berhitung (calistung). Banyak penyelenggaraan pendidikan anak usia dini seperti Taman Kanak-Kanak, PAUD memberikan pengajaran langsung calistung kepada siswa didiknya. Pernyataan ini pun dibenarkan oleh Pak Anies Baswedan yang dituliskan oleh media online jpnn.com bahwa anak-anak di TK sudah diajarkan calistung. Tujuannya supaya lolos seleksi masuk SD. Tentunya tes calistung yang diberikan kepada calon siswa SD melanggar hak asasi anak untuk memperoleh pendidikan. Ada banyak alasan tes calistung dilakukan. Salah satunya digunakan untuk menyaring siswa karena saking banyaknya anak yang mendaftar SD.
Belum diketahui apakah pengajaran langsung calistung bagi siswa TK/PAUD karena kemampuan bisa baca, tulis, dan berhitung menjadi persyaratan masuk sekolah dasar sehingga para orang tua mencari PAUD/TK yang bisa mengajarkan calistung. Atau karena TK/PAUD terlanjur memberikan pembelajaran calistung, akhirnya banyak sekolah dasar mensyaratkan hal tersebut. []
* Penulis: Rina Fatimah