Bagaimana Membersamai Siswa Yang Haus Kasih Sayang?

Bagaimana Membersamai Siswa Yang Haus Kasih Sayang?

Halo Sobat Insan Pendidik, semoga selalu semangat ya, meskipun masih menjalankan Learning From Home (LFH). Kali ini kami akan berbagi berkaitan dengan cara membersamai siswa yang haus kasih sayang.

Usai memasuki kelas 1A, tanpa sengaja mata saya melihat bocah tak berseragam di depan kelas.

Tak salah lagi dia adalah Ryan, siswa kelas 1 di sebuah sekolah dasar di Pangkalpinang (Bangka Belitung). Dia seharusnya masuk, dan duduk di bangku belakang dengan seragam sekolah.

“Kenapa Ryan enggak sekolah?” tanya saya sambil memegang tangannya. Ryan tidak menjawab, dia berlari menjauh.

Beberapa hari berselang, sering saya temui Ryan menggunakan baju bermain di halaman sekolah, di kantin, di depan kelas, dan di sekitar rumahnya. Rumahnya memang dekat dengan sekolah. Dia pun sudah tak segan lagi dengan guru, tak malu dengan teman, dan tampak tak ada rasa bersalah ketika tak masuk sekolah.

Suatu waktu, Ryan memanggil saya. “Ibu….” Lalu simpul senyum Ryan, yang menurut saya adalah penutup rasa malunya, mengikuti langkah larinya. Dia menuju deretan penjaja jajanan. Kala itu masih pagi, Ryan belum mandi. Dia masih menggunakan baju tidur, tetapi tangannya sudah mengepal uang jajan.

“Ryan yuk jajan….” ajak saya.

“Cil, nasi goreng jangan pake tempe!” Lancar Ryan memesan menu nasi goreng dipincuk kertas nasi. Porsi mini ini dilahapnya tanpa do’a dan aturan yang jelas.

“Kenapa enggak suka tempe?” tanya saya.

“Enggak enak!” jawab Ryan singkat sambil melanjutkan kenikmatan makan nasi goreng.

“Saya mau nukar minuman.” Lanjutnya sambil berlari meninggalkan saya.

Percakapan saya dilanjutkan dengan pedagang nasi goreng. Menurutnya, Ryan tidak diperhatikan oleh keluarganya. Dia hanya tinggal dengan kakeknya; neneknya sudah meninggal. Ayah dan ibunya sudah bercerai, sedangkan kakaknya bekerja di warnet. Hobi kakeknya memancing. Selamatlah sudah, Ryan sendiri di rumah. Kasihan!

Saya tinggalkan percakapan itu menuju perpustakaan untuk menyiapkan pengayaan penerima beasiswa. Pengayaan dimulai, sampailah pada pemeriksaan buku penghubung. Tiba-tiba ada yang mengetuk jendela dengan senyuman tepat di depan pandangan saya. Ryan datang. Tanpa pikir panjang saya ajak Ryan masuk ke ruang perpustakaan.

Diam-diam, sambil mengisi pengayaan, perhatian utama saya tujukan pada Ryan. Kertas, spidol, pulpen, dan segala sesuatu di ruang perpustakaan dia ambil. Lalu tiba-tiba saya mendapatkan ide

untuk melaksanakan pembelajaran untuk Ryan.

“Ryan, coba kerjakan soal ini. Nanti kalau benar dapat bintang.” Tawar saya pada Ryan. Saya pun menyuguhkan soal Matematika sederhana sesuai pembelajaran kelas 1.

Ryan mengerjakan serius. Akhirnya suasana mencair, Ryan dengan mudah bergabung bersama siswa penerima beasiswa yang lain. Ini positif. Lalu bersama-sama mereka Ryan ikut membuat pesawat terbang, serta menuliskan nama dan cita-cita pada pesawat hasil karyanya. Kemudian saya memotivasi Ryan, dan menjelaskan tentang pilot dan pentingnya sekolah.

“Jadi kapan mau sekolah lagi, Ryan?” tanya saya penuh harap.

“Hari ini bajunya dicuci, Bu. Besok sekolah”, ucapnya sambil memegang pesawat kertasnya.

“Alhamdulillah,” ucap saya dalam hati. “Janji, beneran ya, Ryan?” Bertanya saya untuk menegaskan kembali.

“Janji.” Ryan mengulurkan kelingkingnya.

Kami berdua mengaitkan kelingking, mengepalkan tangan lalu mengadukannya. Terakhir, kami pertemukan tos telapak tangan. Ini tanda pertemanan, ungkap Ryan.

Menarik dan tak terduga anak ini. Dia tipe anak yang agak sulit didekati. Tapi, tak berapa lama, dia tanpa ragu duduk di dekat saya, bertanya tentang hal-hal di sekitar, dan bercerita tentang kawan-kawannya.

Hari selanjutnya, mata saya bersemangat menyambut hari. Bahagia rasanya, Ryan kembali masuk sekolah. Saya pun mengabarkan kepada seluruh warga sekolah. Saya memberi semangat dan selamat pada Ryan. Hari itu Ryan belajar Pendidikan Kewarganegaraan dan Muatan Lokal. Katanya sulit, tapi bisa dipastikan Ryan menulis dan mengikuti pembelajaran. Tidak seperti hari-hari lalu: tidak pernah tuntas menulis.

Jagoan kecil itu kini juga sudah mau ikut shalat di mushala dekat rumahnya. Sudah mau mengungkap cerita kesehariannya, dan sudah mau pula mengikuti aturan-aturan kecil yang saya buat seperti berdoa sebelum makan dan makan menggunakan tangan kanan.

Ingin rasanya menyelamatkan Ryan lebih jauh lagi, namun perlu dukungan kuat dari lingkungan. Cap atas Ryan yang sudah menyebar sebagai “anak nakal” dan “tukang bolos” telanjur menyebar.

Ingin rasanya membuat semua paham bahwa kita tidak berhak memberikan label Ryan sebagai anak nakal, sebelum kita berusaha mendekati Ryan.

Memang tidak mudah menghadapi Ryan, namun dengan proses yang berkesinambungan serta konsistensi perhatian dan arahan, insya Allah akan mudah membentuk karakter Ryan ataupun Ryan-Ryan yang lain sesuai harapan. Jika bukan guru yang memerhatikan dan menyayangi mereka, lalu siapa lagi? []

[Disalin dari Buku “Bagaimana Ini Bagaimana Itu”, DD Press. Penulis: Neti Avita Nur Ekayanti]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares