Bagaimana Mendidik Siswa Dengan Hati?

Bagaimana Mendidik Siswa Dengan Hati?

Halo Sobat Insan Pendidik, mendidik yang akan dapat merubah siswa adalah dengan hati. Yuk simak bagaimana cara mendidik siswa dengan hati.

“Pak, bisa bantu sayakah?” Bu Mediana datang ke meja saya di sela jam pelajaran kedua.

“Kenapa, Bu?”

“Murid saya, Elfander, dia sering bolos, Pak. Kalaupun masuk ke sekolah, pasti datangnya terlambat. Kata teman-temannya dia sering main Bom-bom di belakang kelas.”

Bom-bom itu apa, Bu?”

“Itu lho, Pak. Yang main gosok-gosok kartu. Kalau kalah bayar seribu, kalau menang dapat empat ribu. Itu judi kan namanya, Pak?”

“Astaga!”

“Itulah, Pak. Saya sudah pernah panggil, tapi tetap tidak berubah. Pak Yosep juga sudah memarahi itu anak. Bu Siska juga, kurang lembut apa coba beliau? Cara kasar sudah, cara lembut sudah juga, Pak. Bagaimana?”

“Ya sudah, Bu. Nanti jam istirahat panggil dia menghadap saya, boleh?”

“Oke, Pak.”

“Tapi Ibu jangan ke mana-mana. Temani saya. Ibu mendengarkan saja. Oke?”

“Baik, Pak.”

Bu Mediana pergi meninggalkan saya yang sedang berpikir keras, dan tidak sabar ingin bertemu anak “hebat” satu ini.

Bel istirahat pertama berbunyi. Siswa sebuah sekolah dasar di Mimika (Papua) terlihat berhamburan. Ada yang sesekali menengok ke dalam kantor, tersipu malu, kemudian lari entah kenapa.

Bu Mediana datang. Di belakangnya seorang anak berkulit hitam berambut keriting berjalan mengikuti. Pandangannya menyebar acak ke penjuru ruangan yang baru saja dia masuki. Dia tersenyum. Lucu sekali.

“Ini dia, Pak, Elfander. Elfander sana duduk dengan Pak Guru.”

Bu Medi memegang pundak Elfander dan sedikit mendorongnya menuju ke arah saya.

“Oh, ini Elfander? Boleh ke Pak Guru sini!”

Tanpa malu-malu anak kelas 3 ini datang dan duduk di bangku saya. Di sebelah kiri saya. Kepalanya hanya menunduk seolah-olah mencari sesuatu di bawah meja sana.

“Elfander sudah tahu kenapa diminta Bu Guru datang ke sini?” Elfander hanya menggelengkan sambil tetap melihat ke bawah kolong meja.

“Oh, belum tahu. Coba tanya Bu Guru dulu.” Elfander memandang Ibu Mediana. Tidak berkata apa-apa.

“Ayo kenapa?” tanya Bu Mediana.

“Karena bolos sekolah.” Jawab Elfander sambil tersenyum malu dan membuang pandangannya ke samping kanan.

“Ya sudah. Sana!” Elfander kemudian datang lagi ke tempat duduknya semula, di samping kiri saya.

“Apa kata Bu Guru?”

“Karena bolos.”

“Lho? Elfander suka bolos?” Elfander mengangguk saja. Kepalanya sedikit menunduk, tapi matanya melihat ke arah saya dan tersenyum.

“Memang kenapa Elfander suka bolos?”

“Main Bom-bom.”

“Hah? Main Bom-bom?” Sekali lagi dia mengangguk dengan cara yang sama. Kakinya berayun-ayun menggantung di bangku.

“Apa itu Bom-bom? Pak Guru tidak tahu. Kamu bawa?” Elfander mengangguk lagi.

“Coba Pak Guru lihat.” Dia kemudian mengambil tas selempang yang dibawanya, kemudian membuka salah satu kantong tas dan mengeluarkan beberapa kertas berbentuk persegi ukuran sekitar 3×3 cm dengan 12 bulat hitam di satu sisinya berjejer 3×4.

“Oh, ini yang namanya Bom-bom. Bagaimana cara mainnya?”

“Begini, Pak Guru. Pak Guru gosok pakai jari. Sampai sisa satu. Kalau kena Bom, Pak Guru kalah.” Jelas Elfander sambil memperagakan.

Saya pun mencoba menggosok bulatan-bulatan hitam tersebut. Satu, dua, tiga bulatan, gambarnya bukan Bom. Sampai sisa empat bulatan, saya mengenai Bom.

“Nah, Pak Guru kalah.” Elfander mencoba menjelaskan.

“Oh, begitu. Sini Pak Guru coba lagi.” Saya kemudian mencoba beberapa lembar lagi, dan tidak ada satu pun yang menang. Elfander terlihat senang menyaksikan saya kalah terus. Kami kemudian bergantian menggosok Bom-bom.

Ternyata Elfander juga tidak pernah berhasil menang.

“Susah juga ya. Elfander pernah menang?”

“Pernah.” Jawab dia bangga.

“Berapa kali?”

“Satu kali.” Telunjuk kanannya mengacung di depan saya.

“Oh ya? Wah, hebat. Terus kalau menang Elfander dapat uang berapa?”

“Empat ribu, Pak Guru.” Sesekali tangannya menggaruk-garuk bagian belakang kepala.

“Setelah itu main lagi?”

“Iya.”

“Menang?”

“Tidak.”

“Terus main lagi?”

“Iya.”

“Menang?” tanya saya dengan ekspresi lebih antusias.

“Kalah.”

“Oh. Terus main lagi?”

“Iya.”

“Kalah lagi?”

“Iya.”

“Lho? Elfander tadi bayar seribu. Terus menang sekali dapat empat ribu tho?”

“Iya.”

“Terus Elfander main lagi, kalah, bayar seribu. Uang Elfander tinggal berapa?”

“Tiga ribu.”

“Terus Elfander main lagi, kalah lagi. Bayar seribu lagi. Terus main lagi, kalah, bayar seribu lagi. Terus kalah lagi, bayar lagi seribu. Uang Elfander jadinya tinggal berapa?”

“Habis.”

Wajah anak hebat ini kemudian berubah. Matanya menerawang ke langit-langit ruang guru, kemudian ke wajah saya lagi. Terheran-heran. Seperti tidak pernah menyadari sebelumnya kalau dia tidak pernah mendapatkan apa-apa dari permainan itu. Bu Mediana hanya senyum-senyum melihat kami berdua mengobrol.

“Jadi selama ini Elfander main Bom-bom itu untung atau rugi?”

“Rugi,” jawabnya perlahan. Wajahnya semakin tidak menyenangkan. Saya melanjutkan bertanya.

“Elfander sehari dikasih orangtua uang jajan berapa?”

“Lima ribu, Pak Guru.”

“Terus uang lima ribu itu habis untuk main Bom-bom?”

“Iya.”

“Elfander tidak jajan?”


“Tidak.”

“Kalau uang lima ribu itu dibelikan jajan, Elfander bisa beli apa?”

Pop Mie… gorengan… nasi… es…,” Jawabnya sambil gonta-ganti melihat ke saya dan langit-langit.

“Lebih enak mana Pop Mie dengan Bom-bom?”

“Lebih enak Pop Mie.”

“Terus kenapa Elfander lebih memilih main Bom-bom?”

Elfander hanya memainkan ujung tasnya yang dia pegang semenit belakangan. Saya biarkan saja momen ini hening beberapa puluh detik. Saya geser posisi saya beberapa senti mendekati Elfander, dan memulai bertanya kembali.

“Elfander, kalau Pak Guru boleh tahu, cita-cita Elfander apa?”

Pailot (pilot).” Elfander memandang saya. Bola matanya begitu cokelat dan besar.

“Wah, hebat, Bu Guru! Elfander pu cita-cita ingin jadi pailot. Hebat kan?” Saya sedikit berteriak ke arah Bu Mediana.

“Wah, hebat memang anak Ibu Guru!” Seru Bu Mediana.

Elfander membalikkan badan melihat Bu Mediana yang dia punggungi sedari tadi. Senyumnya tidak bisa dikatakan biasa. Saya makin bersemangat.

“Elfander pernah naik pesawat?”

“Pernah.”

“Elfander pernah lihat pailot?”

“Pernah.” Dia jawab dengan cepat.

“Elfander pernah lihat tempat kerja pailot di bagian paling depan pesawat?”

“Tidak.”

“Pak Guru pernah.” Elfander tampak penasaran.

“Elfander tahu tidak. Tempat kerja pailot di depan pesawat itu, baaanyak sekali tombol-tombolnya. Ada di bawah, di atas, di samping, semua ruangan penuh dengan tombol-tombol yang harus ditindis.” Saya menjelaskan sambil menunjuk sana-sini seolah-olah kami sedang ada di dalam ruang kendali pesawat.

Elfander ternganga saja mendengarkan penjelasan saya.

“Dan Elfander tahu? Setiap tombol itu ada tulisannya. Coba bayangkan kalau Si Pailot itu tidak bisa baca? Apa yang terjadi, Elfander?”

Elfander terus saja membuka mulutnya menatap saya. Saya kemudian membuat gerakan pesawat terbang dengan tangan kanan saya. “Wuuu….” Tangan kanan saya lepas landas di-iringi suara mulut saya menirukan bunyi pesawat terbang. Tiba-tiba tangan saya jatuh diiringi suara ledakan. Elfander tertawa.

“Pesawatnya bisa jatuh. Betul tidak?” Elfander mengangguk.

“Jadi Elfander kalau mau jadi pailot kira-kira harus rajin apa?”

“Belajar, Pak Guru.”

Pinter! Kalau Elfander benar-benar mau jadi pailot, Elfander harus rajin belajar dari sekarang. Karena untuk jadi pailot tidak mudah. Itu kenapa Ibu Guru marah ke Elfander kalau Elfander main Bom-bom terus sering bolos dan terlambat masuk kelas. Karena Ibu Guru sayang sama Elfander, dan Bu Guru ingin supaya Elfander bisa menggapai cita-cita Elfander untuk jadi pailot. Benar kan, Bu Guru?”

Saya melempar pertanyaan tiba-tiba ke Bu Mediana yang wajahnya tersenyum sedari tadi melihat Elfander.

“Iya betul, Pak.” Bu Mediana menatap Elfander yang sedang menoleh ke arahnya.

“Jadi Elfander mau janji tidak bolos sekolah lagi?” Saya bertanya.

“Janji!” Jawab Elfander tegas.

“Janji mau rajin belajar?”

“Janji!”

Janji tidak main Bom-bom lagi?”

“Janji, Pak Guru!”

“Kalau begitu, Elfander ke Bu Guru, terus bilang janji kepada Bu Guru ya.”

Elfander pun salim dan mencium tangan saya, kemudian berlari kecil ke arah Bu Mediana yang sudah berdiri di pinggir pintu ruangan. Anak itu menjabat dan mencium tangan gurunya, kemudian menatap saya dan tersenyum.

“Ayo, bilang saja ke Bu Guru!”

“Bu Guru, saya janji.” Elfander mendongak menatap mata Bu Mediana.

“Janji apa?” Bu Mediana bertanya. Elfander terdiam sejenak. Matanya seperti sedang menatap

sepatu Bu Mediana, kemudian menatap saya lagi. Saya memberinya senyuman dan mengangguk perlahan.

“Elfander janji mau jadi pailot!”

Setelah kejadian itu, hampir setiap hari saya bertanya ke Bu Mediana bagaimana kabar Elfander. Beliau dengan antusias menceritakan bahwa Elfander datang tepat waktu dan semangat dalam belajar di kelas.

Yang lebih penting lagi—bagi saya—setelah hari itu Bu Mediana menjadi guru yang mempunyai paradigma dan pendekatan yang berbeda dalam menangani anak-anak yang bermasalah. Sampai suatu hari ketika saya sudah tidak bertugas di sekolah itu lagi, Bu Mediana menelepon saya.

Beliau menceritakan bahwa ada kasus beberapa anak tertangkap membawa ponsel yang berisi video porno. Semua guru memarahi habis-habisan anak-anak tersebut di dalam kantor, kecuali beliau dan Bu Santi.

Setelah semua guru selesai dengan kemarahannya, Bu Mediana dan Bu Santi memanggil beberapa anak tadi dan mengajak mereka mengobrol hati ke hati. Bu Mediana bercerita bagaimana semua masalah anak-anak bisa diselesaikan dengan saling bicara. []

[Disalin dari Buku “Bagaimana Ini Bagaimana Itu”, DD Press. Penulis: Ahmad Fauzan]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares