Bagaimana Mengikis ‘Budaya’ Kekerasan Menghukum?

Bagaimana Mengikis ‘Budaya’ Kekerasan Menghukum?

Halo Sobat Insan Pendidik, semoga selalu semangat dalam mendidik generasi meskipun saat ini sedang menjalankan Learning From Home (LFH). Kali ini kami akan berbagi berkaitan dengan cara mengikis budaya kekerasan menghukum.

Tanpa harus saya paksa, beberapa guru sekolah dasar di Ambon (Maluku) yang mengikuti Pelatihan Manajemen Kelas melakukan pengakuan.

“Bu Evi, saya terus terang banyak melakukan kekerasan pada siswa kalau mereka nakal,” begitu cetus seorang guru. Pengakuan guru itu dikuatkan oleh guru lain.

Saya mendengar dan menampung dulu semua pernyataan mereka. Kebanyakan mereka yang membuat pengakuan memiliki tipe otoriter. Saya apresiasi guru-guru yang sudah jujur membuat pengakuan. Selanjutnya, saya menanyakan alasan mereka.

“Anak-anak sini tidak bisa disamakan dengan anak-anak Jawa, Bu Evi.”

“Di sini kalau mereka diperlakukan seperti anak-anak di Jawa, tidak akan mempan.”

“Lalu, apa yang Bapak dan Ibu lakukan?” Saya penasaran.

“Kita pukul pake rotan, Bu!”

Saya menghela napas. Sebenarnya fenomena guru melakukan pendekatan secara fisik dengan menggunakan rotan, saya temukan juga ketika mengisi pelatihan di Kupang (Nusa Tenggara Timur).

Alasannya sama: anak-anak di Kupang tidak bisa diperlakukan seperti anak-anak di Jawa.  pakah anak-anak di Indonesia bagian timur tidak sama dengan anak-anak di Indonesia yang lain? Apakah anak-anak dilihat dari eksistensinya sebagai manusia tidak universal? Apa fungsi hukuman? Sejauh mana efektivitas hukuman fisik?

Pertanyaan-pertanyaan ini saya ajukan ke para guru. Mereka mulai terdiam. Sepertinya mulai ada konflik kognitif.

“Baik, siapa yang mau berpendapat?” Saya memecah kesunyian.

“Begini Bu Evi, sebenarnya maksud kita baik. Kita ingin mereka disiplin.”

“Oh begitu? Tapi apakah mereka tahu maksud Ibu baik dan mereka menjadi disiplin setelah mereka diperlakukan seperti itu?”

Mereka terdiam. Dari permasalahan yang didiskusikan ini, saya mulai menjelaskan tentang pendekatan humanis dan universal. Bukanberbasis budaya. Karena setiap anak adalah sama dari sisi ingin diperlakukan secara manusiawi. Mereka mempunyai otak dan hati yang sama. Walaupun demikian, kita juga harus mempertimbangkan perbedaan manusia dari sisi bagaimana mereka menyerap dan mengolah informasi yang diberikan.

Setiap anak adalah unik. Individual differences atau perbedaan individu tetap harus dipertimbangkan. Misalnya, ada yang bisa diberi pengarahan dengan verbal atau cukup dengan contoh. Selain itu, fungsi pemberian hukuman harus berefek jera. Kalau tidak, bukan

saja menjadi tidak efektif, tapi malah meninggalkan pengalaman yang buruk yang berdampak psikologis. Lalu bagaimana solusinya?

Jawaban saya berikan pada sesi Pemberian Motivasi dan Restitusi dengan metode diskusi dan simulasi. Di sesi motivasi, guru diajarkan untuk me-relabeling, yaitu mengganti label negatif menjadi positif. Di sesi restitusi, peserta diajak untuk menyelesaikan masalah indispliner secara kreatif dan solutif. Dalam restitusi, anak dibantu untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dengan bimbingan orang dewasa. Guru-guru awalnya kesulitan melakukan restitusi. Hal ini masalah kebiasaan saja. Semuanya harus latihan. Latihan mengendalikan emosi, berkomunikasi efektif, menyelesaikan masalah yang solutif. Di akhir sesi, Pendamping Sekolah meminta komitmen guru-guru untuk tidak lagi melakukan pendekatan fisik maupun verbal yang dapat menyakitkan siswa, baik secara fisik maupun mental.

Hari itu, saya ditemani Pendamping Sekolah, Mbak Dian dan Miftah, juga seorang anak Ambon yang luar biasa. Namanya Zihad, juara pidato tingkat kota dan provinsi yang berasal dari sebuah sekolah dasar di Tulehu.

“Ayo, maju Zihad, Bu Evi dari Jakarta mau dengar kamu pidato!” Pinta saya.

“Jangan malukan Beta.” Timpal seorang guru dengan suara nyaring sambil mencubit lengan Zihad yang berperawakan kecil.

Hmm, dengan mata kepala saya menyaksikan tindakan “kekerasan”! Untungnya, sang juara pun maju berpidato lantang.

Saya salut, ternyata di pulau rempah ini ada anak dhuafa yang berprestasi. Tidak puas rasanya kalau saya tidak melakukan triangulasi, dalam ‘memvalidasi’ informasi tentang adanya kekerasan di sekolah. Maka, dengan mengalir saya tanya Zihad tentang adanya kekerasan. Ternyata, berdasarkan pengakuannya, ia pernah menjadi korban juga.

Sejauh ini, yang dapat saya simpulkan adalah pendekatan kekerasan dalam mendisiplinkan anak di beberapa pulau di Indonesia Timur sudah jadi fenomena. Malah mungkin sudah membudaya.

“Berhasil Bu, misinya!” kata Mbak Dian berbisik.

“Apanya yang berhasil?” Saya bertanya.

“Target sudah kena, kini mereka bilang tidak akan lagi melakukan kekerasan, apalagi menggunakan rotan!” []

[Disalin dari Buku “Bagaimana Ini Bagaimana Itu”, DD Press. Penulis: Evi Afifah Hurriyati]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares