Bagaimana Mengenalkan Literasi ke Anak-Anak Tepi Kota?

Bagaimana Mengenalkan Literasi ke Anak-Anak Tepi Kota?

Anak Jampang bukanlah anak istimewa. Bukan juga anak yang memiliki prestasi yang membanggakan. Anak Jampang hanyalah segelintir anak yang berasal dari pinggiran Kabupaten Bogor (Jawa Barat), mengenyam pendidikan ala kadar dari sekolah-sekolah dasar di kampungnya. Jauh dari pusat pendidikan, jauh dari sentra pelatihan anak, dan jauh dari gegap gempita Kota Bogor yang notabene anak-anaknya secara umum sudah mahir membaca dan menulis.

Tetapi anak-anak Jampang juga punya cita-cita, mereka juga punya semangat. Semangat untuk mengubah nasib yang hanya menjadi anak pinggiran. Karena cita-cita dan semangat bukan hanya dimiliki anak kota saja, mereka punya khayalan yang sama untuk membangun Indonesia. Mereka juga punya keinginan yang sama untuk menata Indonesia menjadi lebih baik.

Keinginan untuk hidup lebih baik melalui harta bukan jalan yang pas untuk anak Jampang, apalagi melalui jabatan. Anak-anak Jampang hanya bisa mewujudkan melalui tulisan, ya tulisan! Walaupun cita-cita itu tidak terwujud, walaupun semangat itu kandas di tengah jalan, mininal sudah ada niat baik dari mereka untuk melihat Indonesia lebih baik. Ada keinginan kampung mereka lebih dari yang sekarang. Dan itu akan tercatat sebagai pahala yang lebih baik dibandingkan yang hanya cuma diam, apalagi tidak menulis.

Sanggar Literasi ada untuk memberikan jalan bagi anak-anak Jampang mengenal karakter dirinya. Karakter untuk pantas berceloteh walaupun baru belajar bicara; karakter untuk layak bercerita walaupun baru bisa membaca. Karakter untuk mau menulis walau sekadar coretan singkat, tapi yakin isinya lebih baik daripada bualan anak-anak zaman sekarang yang lebih suka menulis status picisan di media sosial. Semua berawal dari nol, tidak ada yang menonjol.

Memang dari awal Sanggar Literasi didesain berbeda dengan cara pengajaran Bahasa Indonesia di kelas. Anak-anak tidak hanya menjadi pendengar pasif, tetapi dilibatkan juga untuk berperan aktif dalam mengeluarkan gagasan untuk topik tulisan.

Dalam kesehariannya kegiatan ini dipandu oleh pembina yang berperan sebagai fasilitator, dinamisator, dan mediator proses yang duduk bersama-sama dengan anak-anak untuk mencari informasi dari bacaan, menelaah objek untuk membuat konsep dan bahan tulisan, serta menginterpretasikan hasil karya yang dihasilkan anak agar menjadi pembelajaran yang bermakna.

Sebagai fasilitator, seorang pembina mengarahkan anak agar memiliki kemampuan menemukan sendiri tema tulisan yang digelutinya. Sebagai dinamisator, pembina menciptakan situasi pengajaran yang menyenangkan, menarik, dialogis, dengan berorientasi pada poses, bukan pada hasil.

Pembina sebagai mediator memberikan arahan agar anak memiliki kebebasan yang bertanggung jawab dalam berolah kata. Untuk beberapa kali perjumpaan, anak-anak ditempatkan di Pusat Sumber Belajar Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa. Di sana mereka mendapatkan pengalaman menarik tentang suasana taman pustaka yang penuh dengan bahan bacaan dan mainan. Semua anak diberikan akses yang sama. Pembina dan anak-anak bernyanyi bersama, bermain bersama, bergembira pun bersama-sama.

Pada kesempatan berbeda, ada sesi anak-anak Jampang diajak berkunjung ke tempat-tempat baru di kota. Tujuannya untuk memberikan pengalaman langsung suasana tempat yang berbeda dengan rumah mereka, sehingga menjadi memori tersendiri. Tempat tujuannya adalah Museum Satria Mandala, Plaza Senayan, dan Masjid Al-Azhar (Semuanya berada di Jakarta). Anak-anak tampak bersemangat hilir mudik menyaksikan berbagai koleksi peninggalan bersejarah zaman kemerdekaan di museum.  Pun demikian di mal, mereka tanpa canggung melihat-lihat berbagai barang dagangan yang terpajang di etalase toko.

Ada salah satu anak yang memberanikan diri menanyakan harga jual satu set gaun di sebuah utik ternama. Setelah mengetahui harganya, dengan polos anak itu pun menjawab, “Hmm… gaun itu seharga seribu setel baju aku. Cuma nanya aja ya, Bu, gak mau beli!” Sangat berkesan, ini terlihat dari banyaknya hasil tulisan anak yang menceritakan pengalaman baru mereka ketika berkunjung ketiga tempat itu.

Seiring waktu berjalan, yang berawal dari nol pun mulai menunjukan hasil yang baik. Bersama para pembina yang sabar dan telaten ketika mengajar, anak-anak sudah mulai berani mencari judul buku yang mereka ingin baca, kemudian ada yang mau mendongengkan cerita yang ada di buku pilihannya. Bahkan ada juga yang lancar menulis surat tentang perasaannya kepada orangtua yang jarang sekali bisa dilakukan ketika ada di rumah. Luar biasa!

Materi yang diberikan untuk mereka bukan rumus jitu “bagaimana anak bisa menulis buku dalam waktu 24 jam”, bukan juga best practice seorang penulis yang sudah bisa menghasilkan banyak buku. Sanggar Literasi hanya memberikan kesempatan kepada anak-anak tepian kota untuk menceritakan kisah-kisah lucu di sekolah, menceritakan kisah persahabatan, menceritakan kondisi kelas sampai dengan curahan hati seorang bocah yang kesal jika memiliki masalah. Semua cerita atau kisah itu ditulis dalam buku diari. Simpel tapi ada hasil.

Agar lebih menarik, kami juga meminta mereka untuk menambahkan gambar apa pun yang mereka suka. Kami membiarkan mereka menulis dan menggambar apa pun yang mereka sukai. Bagaimana pun bentuknya dan berapa pun banyaknya. Biarkan saja mereka menulis sesuka hati, tanpa dibatasi dulu oleh teknik-teknik penulisan yang mungkin belum mereka pahami. Kami percaya, semua penulis hebat juga awalnya menulis tanpa teknik. []

[Disalin dari Buku “Bagaimana Ini Bagaimana Itu”, DD Press. Penulis: Iwan Syahrudin]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares