Bagaimana Membangun Percaya Diri Guru Saat Presentasi?

Halo Sobat Insan Pendidik, untuk menemani aktivitas ibadah puasa hari ini, ijinkan kami berbagi tentang cara membangun percaya diri guru, khususnya saat presentasi.
Salah satu modal keberhasilan guru dalam mengemban amanahnya sebagai pendidik adalah kepercayaan diri. Bagaimana mungkin seorang guru mampu mendidik siswanya menjadi anak-anak yang berprestasi jika gurunya tidak memiliki kepercayaan diri untuk bisa membentuk anak-anak juara?
Apabila guru memiliki kepercayaan diri, bahwa mereka mampu mengajar dan mendidik dengan baik, maka insya Allah dia akan seperti itu. Jika guru memiliki keyakinan bahwa dia bisa menjadi guru yang mampu berkomunikasi dengan cara yang baik, maka dia akan bisa melakukannya. Jika guru optimis dia mampu mendidik anak-anak yang menurut orang lain dianggap “bandel”, maka dia akan bisa melakukannya. Namun, kondisi bisa terjadi sebaliknya jika guru mengidap penyakit inferior alias tidak percaya diri.
Rasa inferior ini tidak disadari oleh guru, apalagi sampai mereka mengatakannya. Namun, dari ucapan dan tindakan mereka, tercermin akan hal itu. Sebagian besar guru sekolah dampingan ketika diajak untuk menjadi guru terbaik / ideal, mereka langsung menyatakan kemustahilan.
Di sinilah dibutuhkannya kepercayaan diri bagi guru, baik ketika dia mengajar dan mendidik siswa maupun ketika dia harus mengemukakan pendapat dan gagasannya di hadapan orang lain, bahkan ketika dia harus membagi ilmu kepada yang lain dalam bentuk pelatihan, seminar atau acara public speaking lainnya.
Untuk itulah, salah satu target Makmal Pendidikan dalam program pendampingan adalah menjadikan guru yang cerdas-inspiratif. Cerdas karena ia memiliki kompetensi dasar guru yang memadai. Inspiratif karena ia mampu mendidik siswa dengan pendekatan manusiawi serta mampu berbagi kepada yang lain.
Salah satu penampakan kepercayaan diri guru terlihat ketika dia tampil di depan publik. Tampil di depan publik ternyata merupakan momok yang paling menakutkan bagi kebanyakan guru. Saking menakutkannya, para guru yang mengikuti sesi Training for Trainer (TFT) di sekolah dampingan banyak yang “kabur” dengan berbagai macam alasan sebelum sesi tampil ke depan dimulai.
Pada suatu sesi pelatihan TFT guru-guru di Luwu Timur (Sulawesi Selatan) dan Mimika (Papua), saya menyampaikan bahwa setiap guru harus tampil ke depan untuk mempresentasikan materi pelatihan. Namun, untuk membuat guru mau tampil di depan dan menyampaikan materi kepada guru-guru lainnya ternyata merupakan perkara yang sulit. Hal ini karena mereka merasa tidak mampu untuk tampil. Tampil di depan bagi sebagian besar guru ternyata memang benar-benar pekerjaan menakutkan.
Melihat keadaannya seperti ini, saya mengambil langkah praktis guna menghilangkan rasa tidak percaya diri dan grogi mereka. Sebagai langkah awal untuk menghilangkan ketakutan tampil di depan publik, secara berurutan satu per satu peserta pelatihan saya minta untuk lari cepat ke depan kelas kemudian mengucapkan dengan keras kalimat: “Saya siap menjadi trainer!” sambil mengepalkan tangan di depan dada diikuti gaya masing-masing guru. Sesuatu yang sederhana dan mudah dilakukan. Ternyata efeknya luar biasa.
Tampak rasa grogi para guru pun sedikit demi sedikit hilang. Teknik seperti ini berfungsi sebagai upaya penceburan diri peserta untuk melakukan aktivitas tanpa berpikir terlalu lama. Aktivitas ini juga sebagai penghangatan, sehingga ketika tiba gilirannya maju untuk menyampaikan materi di depan, rasa grogi sudah berkurang dibandingkan ketika awal kali mereka tampil.
Selanjutnya, untuk semakin menanamkan rasa percaya diri tampil di depan publik dan menghilangkan rasa grogi, saya menerapkan teknik menyemangati (motivating). Ketika seorang guru akan tampil ke depan, saya memanggilnya dengan penuh penghargaan seperti seorang pembawa acara memanggil tokoh ternama yang akan tampil di panggung utama di hadapan ribuan penggemarnya.
“Kita sambut seorang trainer yang memiliki pengalaman mengajar lebih dari 10 tahun di sekolah dasar, inilah dia …!” Seru saya seraya menyebutkan nama guru yang tampil.
Setelah itu, saya mengarahkan audiens untuk memberikan tepuk tangan kepada guru tersebut. Tepuk tangan ini meskipun terlihat sepele, ternyata mampu membangun kepercayaan dan mental sukses guru yang tampil. Contohnya seorang guru muda di Luwu Timur yang awalnya terlihat grogi ketika harus tampil pertama kali di depan para rekan seniornya. Melalui tepuk tangan dan kata-kata penyemangat, rasa groginya pun menghilang seiring ramainya tepuk tangan.
Selain tepuk tangan, jalan untuk membuat para guru memiliki kepercayaan diri adalah dengan menunjukkan ketertarikan penuh saat dia berbicara di depan. Mengobrol atau sibuk dengan aktivitas pribadi (misalnya ber-SMS ria) saat seorang guru presentasi di depan membuatnya merasa tidak dihargai. Rasa tidak dihargai ini berakibat pada timbulnya rasa pesimis dan tidak percaya diri.
Setelah tepuk tangan dan menunjukkan ketertarikan pada aktivitas yang dilakukan oleh guru di depan, teknik membentuk kepercayaan diri menjadi public speaker yang saya lakukan berikutnya adalah dengan reward. Hadiah ternyata ampuh untuk membangun semangat dan kepercayaan diri. Hadiah, meskipun sekadar sebuah pulpen, memberikan efek dahsyat untuk terciptanya rasa dihargai akan keberhasilannya tampil di depan. Apabila tepuk tangan membuat guru yang tampil ke depan menjadi semangat dan yakin bahwa dia bisa, hadiah membuatnya semakin merasa dihargai. Reward tidak mesti berupa materi, pujian pun bisa menjadi reward yang baik.
Kepercayaan diri tampil di depan publik saat pelatihan ini ternyata mempunyai efek besar terhadap kepercayaan diri guru mdalam setiap kesempatan tampil di depan khalayak. Ada sebuah cerita dari seorang guru sekolah dasar di Mimika, Pak Chrisbiantoro, yang sudah mengikuti materi pelatihan TFT pada Mei 2013. Selang beberapa bulan kemudian, tepatnya Oktober 2013 saya kembali berkunjung ke sekolah ini. Saat saya datang dan melihat-lihat kondisi lingkungan sekolah, beliau menghampiri saya dengan wajah penuh kegembiraan. Sambil menjabat tangan saya, beliau mengucapkan terima kasih.
“Terima kasih untuk apa, Pak?” tanya saya heran.
“Saya mengucapkan terima kasih karena Bapak sudah memberikan kepercayaan diri kepada saya untuk bisa tampil di depan umum. Dari ilmu yang Bapak berikan saat TFT yang lalu, saya menjadi orang yang berani dan pede tampil di depan untuk menjadi perwakilan orangtua siswa pada saat acara pelepasan lulusan SMPN 4 Mimika,” paparnya dengan penuh gembira.
“Saat itu,” lanjut Pak Chrisbiantoro, “hadir juga para pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten. Hadirnya para pejabat ini membuat para orangtua siswa tidak ada satu pun yang mau tampil ke depan. Akhirnya saya memberanikan diri untuk ke depan dan memberikan sambutan dan kesan pesan.”
“Wah, luar biasa. Bapak memang hebat!” ucap saya mengalir penuh gembira.
“Terima kasih, Pak. Saya juga tidak menyangka ternyata penampilan saya itu membuat para hadirin, khususnya pejabat dinas, takjub. Pejabat dari dinas itu kemudian menghampiri saya dan bertanya tentang asal saya. Saya kemudian menjawab saya adalah pengajar di SD Inpres Timika II. Mereka lalu bertanya kembali kenapa saya bisa tampil dengan penuh pede dan menarik audiens. Saya pun menjawab, saya mendapatkan ilmunya dari pelatihan TFT yang saya ikuti. Kemudian pejabat tersebut berpesan kalau ada pelatihan TFT lagi tolong diundang.” Papar Pak Chris dengan penuh semangat. []
[Disalin dari Buku “Bagaimana Ini Bagaimana Itu”, DD Press. Penulis: Zayd Sayfullah]