Kedekatan Hati Seorang Guru

Kedekatan Hati Seorang Guru

Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie
(Penulis Buku Guru Sang Arsitek Peradaban)

Abdullah ibnu Abbas pernah bercerita, sebagaimana diriwayatkan Imam At-Tirmidzi, “Suatu hari saya pernah dibonceng di belakang nabi.” Saat itulah, Rasulullah menyampaikan pembelajarannya kepada Abdullah ibnu Abbas. Rupanya Rasulullah bermaksud menginternalisasikan tauhid ke dalam hati sepupunya itu.

“Wahai gulam (anak kecil), aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat,” terang Rasulullah membuka pembelajarannya.

“Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya kau mendapati-Nya selalu ada di hadapanmu. Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. Jika engkau minta tolong, mintalah tolong kepada Allah. Ketahuilah, walaupun bersatu seluruh manusia untuk memberikan manfaat kepadamu dengan sesuatu, niscaya tiadalah mereka dapat melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah ditentukan Allah. Dan, walaupun mereka bersatu untuk mencelakakan kamu dengan sesuatu, niscaya tiadalah mereka dapat mencelakakanmu kecuali dengan sesuatu yang telah ditentukan Allah kepadamu. Pena telah diangkat dan tinta telah kering.”

Dalam riwayat selain At-Tirmidzi disebutkan, “Jagalah Allah, niscaya engkau mendapati-Nya selalu di hadapanmu. Hendaklah engkau mengenal Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengenalmu di waktu susah. Ketahuilah, apa yang luput darimu tidak akan mengenai engkau, dan apa yang harus mengenai engkau tidak akan luput darimu. Ketahuilah, sesungguhnya pertolongan (Allah) itu selalu bersama kesabaran, kesenangan itu ada bersama kesusahan, dan kemudahan ada bersama kesulitan.”

Indah sekali hadis ini. Dalam perspektif pendidikan, hadis ini menggambarkan proses pembelajaran seorang guru dengan muridnya. Gurunya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan muridnya adalah Abdullah ibnu Abbas. Coba kita saksamai situasinya seperti apa. Rasulullah sebagai guru membonceng Ibnu Abbas, muridnya, di atas untanya. Ibnu Abbas merasa nyaman dibonceng gurunya, Rasulullah. Jarak keduanya rapat sekali. Terjalin kedekatan fisik yang segera disusul dengan kedekatan hati antara guru dan murid.

Selanjutnya, Rasulullah pun membuka pembelajaran. Materinya berat, tentang tauhid. Namun, disampaikan dalam situasi yang sangat menyenangkan dan jauh dari tekanan. Hasilnya? Kita semua paham bahwa Abdullah ibnu Abbas tumbuh berkembang menjadi remaja saleh dan cerdas. Bahkan, Rasulullah sendiri memberikan gelar kepada Ibnu Abbas, “Turjumanul Qur’an” (Orang yang paling pakar terhadap Al-Qur’an). Tak heran pula, pada masa Khalifah Umar bin Khathab, Ibnu Abbas diangkat menjadi staf ahli khalifah saat usianya baru memasuki 14 tahun.

Singkat sekali Ibnu Abbas belajar kepada Rasulullah. Rasulullah wafat ketika Ibnu Abbas berusia 11 tahun. Tapi, saksamailah masa belajar yang singkat itu hasilnya melebihi professor masa kini. Ini tak lain karena keberhasilan Rasulullah sebagai guru dalam mendidik. Dan, salah satu kunci keberhasilannya terletak pada kedekatan hati Rasulullah sebagai guru kepada murid-muridnya.

Adakah guru-guru di sekolah-sekolah kita memiliki kedekatan hati dengan murid-muridnya? Ah, benarlah nasehat Imam Ahmad bin Hanbal, “Hanya suara hati yang mampu menembus hati.” Karena, guru adalah sang arsitek peradaban.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares