Bagaimana Mendorong Guru Melek Teknologi?

Setelah mendapatkan Program Pendampingan Sekolah, salah satu sekolah dasar di Sorong (Papua Barat) bisa dikatakan sebagai sekolah yang cukup lengkap fasilitas pendukung belajarnya. Terutama peranti teknologinya, sebut saja personal computer (PC), laptop, LCD projector, serta printer dengan tiga aksi jitunya: scan, fotocopy, dan juga print.
Ini merupakan keistimewaan yang belum tentu dimiliki oleh sekolah lainnya walaupun memang jumlah PC/laptop belum bisa memenuhi isi laboratorium komputer. Tapi, paling tidak fasilitas ini sudah sangat mampu untuk berkontribusi menambah kecakapan guru di bidang teknologi informatika (TI). Ini juga menjadi karunia yang ‘wah’ bagi saya, lantaran saya juga pencinta TI berikut peranti pendukungnya.
Laju perkembangan teknologi yang begitu pesat menuntut guru untuk mau tidak mau dan bisa tidak bisa, harus mau dan bisa, guna mengejar perkembangan tersebut dengan berusaha memahaminya.
Walaupun mungkin belum tentu semua peranti teknologi mampu dikuasai, paling tidak satu di antaranya ada yang bisa dioperasikan. Minimal guru bisa mengoperasikan komputer dengan aplikasi standarnya, misalnya Word, Excel, dan PowerPoint.
Banyak fungsi komputer yang dapat dimanfaatkan, misalkan saja untuk mengetikkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), silabus, dan program pembelajaran. Atau memasukkan data nilai siswa dari mulai kelas 1 hingga kelas 6 dari tahun ke tahun, tanpa perlu repot lagi menuliskannya di buku secara manual yang mungkin lebih banyak menguras energi. Atau sebagai media pembelajaran di kelas yang membuat siswa lebih mendalam memahami materi melalui visualisasi gambar, video, dan animasi.
Bagi guru SD tersebut, TI menjadi hal yang menarik untuk didalami. Meskipun kebanyakan sudah memiliki ponsel, guru-guru itu masih baru bersentuhan dengan TI sehingga mereka mau meluangkan waktunya untuk sedikit demi sedikit menguasainya.
Dengan memanfaatkan fasilitas sekolah yang ada dan melihat semangat guru yang membuncah, akhirnya menggiring saya untuk berbagi ilmu tentang bagaimana teknik dasar mempelajari komputer dan software pengolah kata, angka, dan presentasi.
Di awal memang sulit, namun pelan-pelan dengan modal pantang menyerah, guru-guru berupaya lebih giat untuk mengetahui isi materi pelatihan TI dengan langsung mempraktikkannya secara rutin. Salut untuk kerja gigih mereka lantaran di antara mereka berusia tidak muda lagi, fungsi mata juga mulai tidak optimal. Semua kendala fisik ini tidak menjadi penghalang buat belajar.
Memang sempat ada nada-nada pesimis dari para guru itu. “Aduuh, sudah tua jadi kita tra (tidak) mungkin bisa, paling besok su lupa neh!”
Dahsyatnya kata-kata motivasi mampu mengubah pesimisme itu. Minimal kalimat tadi tidak memengaruhi semangat guru-guru lainnya. “Iya, memang saat ini belum terbiasa Bapak dan Ibu Guru. Tapi, kalau terus dipelajari terus-menerus pasti bisa, kita hanya butuh belajar dan sabar.”
Alhamdulillah, walaupun belum semua aplikasi dikuasai, paling tidak guru-guru itu sudah mau mencobanya. Inilah yang membuat motivasi tersendiri bagi saya untuk hadir di tengah mereka untuk memberikan yang terbaik. Salah satunya dengan menjalankan ‘Klinik TI’ seperti layaknya klinik kesehatan.
Klinik TI adalah tempat berkonsultasi pengetahuan dasar komputer. Misalnya guru menemukan hal baru, belum terbiasa dengan cara mengoperasikan komputer, atau ada yang belum disampaikan saat pelatihan. Jelasnya, Klinik TI bertujuan untuk memudahkan mereka dan menambah semangat guru agar terus ingin tahu seputar TI. Klinik TI di sekolah kami dibuka kapan saja, kecuali libur sekolah tiba.
Keseriusan dan komitmen untuk belajar TI ini menumbuhkan keyakinan pada kita semua bahwa tidak ada yang tidak mungkin tercapai satu pengalaman belajar bila kita tidak memulainya sekalipun itu adalah hal baru. Semuanya akan tetap tertaklukkan bila ada kemauan yang ditopang dengan kesungguhan tanpa malas untuk senantiasa dibelajari. Sekalipun guru adalah pengajar, guru mestilah kreatif dan mengembangkan diri untuk belajar dan belajar, sebagai bekal baginya menghadapi murid-muridnya di kelas. Guru mesti tahu dahulu ketimbang muridnya, guru mesti berpengalaman dulu lalu menularkan kepada muridnya. Guru melek TI dulu, setelah itu yang melek murid-muridnya. Jangan sampai murid lebih tahu TI terlebih dulu daripada gurunya. Karena predikat guru adalah digugu dan ditiru, alangkah baiknya guru mesti selangkah lebih maju. []
[Disalin dari Buku “Bagaimana Ini Bagaimana Itu”, DD Press. Penulis: Ery Murniyasih]