Bagaimana Mendampingi Siswa Berani Mengikuti Perlombaan?

Bagaimana Mendampingi Siswa Berani Mengikuti Perlombaan?

Hari ini ku pegi ke kosan ibu jam 07.00 ox, bu dak kemane la ken? Ini Ismelia. (Hari ini aku pergi ke kosan Ibu jam 07.00 ya, Bu tidak ke mana-mana kan? Ini Ismelia).

Siswa saya di sekolah dampinganlah yang mengirimkan pesan singkat itu. Ketika bercakap-cakap sehari-hari, mereka memang terbiasa menggunakan bahasa ibunya, bahasa Bangka. SMS tersebut saya terima pukul 06.00. Masih pagi, padahal pekerjaan rumah mingguan belum usai saya kerjakan. Tidak ingin mengecewakan dan menurunkan semangat siswa ini, pesan singkat balasan saya kirim dengan maksud meminta pengunduran satu jam.

Aok la, tapi jam 8 ox, jangan lupa sarapan dulu ox…

Ismelia nama siswa pengirim SMS itu. Dia siswa kelas 5 di sebuah sekolah dasar di Pangkalpinang. Suaranya nyaring dan selalu ceria. Dia terpilih menjadi delegasi dari sekolah untuk menjadi peserta Pemilihan Dai Cilik (Pildacil) dalam even tahunan se-Kota Pangkalpinang. Tujuan dia datang ke kos saya adalah untuk berlatih.

Langkah kakinya terdengar tepat pada pukul 07.45. Tepat waktu dan disiplin waktunya semoga tetap tercermin dalam perilaku sehari-harinya saat dewasa kelak. Naskah untuk Pildacil dibuat olehnya. Ide pokoknya tentu berasal dari Ismelia. Dia hanya menerima tema yang disediakan oleh panitia penyelenggara. Tema besarnya adalah “Kelestarian dan Lingkungan Hidup”, dan Ismelia akan membawakan ceramah dengan Judul “Pentingnya Menjaga Kebersihan Toilet Sekolah.”

Agar naskahnya baik secara teori, tentu dia perlu sentuhan, saran, dan bimbingan dari seorang pembina atau guru.

Pagi itu agenda utamanya adalah latihan. Sebelum latihan dimulai, saya meminta Ismelia untuk mencoba membawakan naskah hasil buatannya terlebih dahulu. Koreksi naskah dilakukan sebelum latihan. Saling tukar ide pun melengkapi aktivitas kami di atas karpet hijau. Tidak terasa tiga lembar naskah yang dicorat-coret telah digenggam oleh Ismelia. Durasi waktu selama 15 menit yang disediakan panitia semoga cukup untuk menyampaikan naskah yang telah disiapkan. Nantinya naskah tersebut akan dikumpulkan ke dewan juri dan ceramah akan dibawakan tanpa teks oleh Ismelia.

Setelah perbaikan naskah selesai, barulah latihan. Malu. Sering satu kata ini muncul dari para siswa ketika harus berbicara di hadapan orang banyak yang asing bagi mereka. Banyak memang siswa yang berminat mengikuti lomba ini, namun harus selesai di tahap seleksi karena malu. Mungkin dengan latihan mental berani Ismelia akan terbangun. Inilah tahap memotivasi Ismelia.

Bukan perkara mudah melatih siswa yang baru kali pertama mengikuti lomba. Mereka belum mempunyai pengalaman. Mereka perlu seorang pembina. Tidak hanya pembina yang melatih penampilan, tetapi juga pembina yang bisa membina psikologi calon peserta. Artinya, mental calon peserta bisa dikuatkan melalui aktivitas pembinaan yang dilakukan.

Hari itu, saya mencoba untuk memberikan arahan mulai dari teknik awal memasuki panggung, ekspresi yang tidak boleh ada dan yang harus ada, teknik ketika lupa teks, dan cara menguasai penonton.

“Kesempatan ini tidak datang dua kali. Jadikan pengalaman dan lakukan dengan baik. Siap? Satu kesalahan ulangi dari awal!” Kata-kata itu yang sering saya ulangi hingga tak terasa latihan berakhir menjelang pukul 11.00.

Saat berdiskusi dengan Ismelia, ide baru pun muncul. Dia akan mencoba membawakan ceramah dengan menggunakan boneka tangan yang sudah ada di kelas. Naskah Ismelia dilengkapi dengan cerita tokoh baik dan tokoh buruk terkait dengan tema pentingnya menjaga kebersihan toilet sekolah. Kostum pentas pun akan dilakukan segera. Ismelia tersenyum.

Kemampuan literasi siswa tidak abracadabra dapat terbentuk sempurna. Perlu proses dan usaha untuk selalu meningkatkannya. Sebagai orang dewasa di lingkungan pendidikan siswa, guru wajib melakukan pembinaan untuk meningkatkan literasi atau kemampuan baca, tulis, dan berkomunikasi. Mengikuti kegiatan atau lomba-lomba yang berhubungan dengan aktivitas literasi seperti Pildacil, pidato, dan cipta puisi merupakan salah satu jalan untuk meningkatkan kemampuan literasi siswa. Ismelia jelas masih dalam tahap berlatih dan berusaha.

Bagi saya, tidak terlampau penting hasil perlombaannya. Proses berliterasi Ismelia itu yang justru jauh lebih penting. Terlebih lagi dia berbeda dengan teman-teman di sekolahnya yang memilih mundur gara-gara malu bicara di depan orang banyak. Ismelia tidak; dia mencoba mengompetisikan kemampuan berliterasinya di hadapan orang banyak juga asing baginya. []

[Disalin dari Buku “Bagaimana Ini Bagaimana Itu”, DD Press. Penulis: Neti Avita Nur Ekayanti]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares