Bagaimana Mengajarkan Cinta Menulis ke Siswa?

Ibu, boleh lihat Buku Kroniknya?” Pinta saya pada seorang guru.
“Jangankan dipegang, ditengok pun belum, Bu. Masih saya biarkan di lemari.” Balas yang ditanya.
Jujur, sedih saya mendengar jawaban itu. Meskipun demikian, saya berusaha menyelipkan perasaan senang karena tetap ada secercah harapan pada kalimat “Masih saya biarkan di lemari.” Ini berarti ada saatnya guru itu akan membuka lemari, dan begitu melihat Buku Kronik menganggapnya berharga, ibarat emas batangan.
Di Buku Kronik diri kita sendiri selaku pendidik yang akan menemukan manfaat dari refleksi pengajaran yang telah dilakukan bersama para siswa. Saya hanya dapat mengungkapkan manfaat apa yang diperoleh guru dengan menulis di buku refleksi bernama Buku Kronik. Bahkan Buku Kronik milik saya pun saya persilakan untuk mereka membaca. Memberi kesempatan dengan senang hati.
Apa yang saya tulis di kronik refleksi? Tentu saja curhatan aktivitas di sekolah. Tentang refleksi setelah mengajar di kelas model, atau sebagai mitra belajar guru. Hal-hal yang kurang menyenangkan, sangat menyenangkan, atau biasa saja, sesuka hati saya menuliskannya.
Bila ada lembar yang kurang berkenan untuk dibaca, tinggal lewati halaman tersebut. Setiap hari saat menjumpai para guru, tak malu saya untuk menanyakan lagi. Terus, dan terus bertanya tentang kronik mereka. Anggap ini sebagai cinta dan perhatian berbakti kita kepada guru.
Ingin guru menjadi yang terbaik untuk dirinya sendiri. Kita sebagai mitra yang selalu di sisi mendampinginya, mendoakan, dan samasama melakukan upaya perbaikan. Sementara kepada siswa kelas menulis, mereka juga mendapat kesempatan menuangkan pikiran dan perasaannya ke dalam kertas.
Apa pun itu, suka-suka hati menulisnya. Misalkan apa-apa yang telah mereka dapatkan selama pembelajaran hari itu, bagaimana perasaan setelah belajar, dan hal apa yang akan dilakukan usai sekolah.
Dengan membuat konsep atau kerangka berpikir, siswa menyusun bahan-bahan apa saja sebagai pembuka, isi, dan penutup cerita. Begitu pun puisi atau pidato. Tinggal menyesuaikan tema yang disenangi anak-anak agar mereka lebih tertarik untuk menuliskannya.
Anak yang usai menulis diberi penghargaan dengan maju ke depan kelas untuk membacakannya. Saat proses menulis ini, boleh jadi ada murid yang belum satu baris pun tampak terlihat tulisannya. Tidak mengapa. Mari kita dekati si anak, duduk di sisinya dan menanyakan perasaannya. Kemudian dari bahan ceritanya ini kita bantu menuliskan poin-poin ringkasan di bukunya.
“Nah, kamu bisa menuliskan tentang semua ini, ya Nak?” Ujar kita menyemangati seraya menunjukkan poin-poin catatan.
Di lain kesempatan kita juga dapat mengatakan, “Ibu Guru sebagai kawanmu senang sekali kalau kamu tamatkan menulis dan bisa membaca ceritamu.”
Tentu saja, kita berkata demikian dengan tetap memasang wajah dan senyum termanis untuk siswa paling dahsyat. []
[Disalin dari Buku “Bagaimana Ini Bagaimana Itu”, DD Press. Penulis: Destiarny Taruli P]
Masyaa Allah…
Alhamdulillah. Smg bermanfaat.