Bagaimana Menghadapi Sekolah Tanpa Disiplin?

Pukul 07.00 pagi sekolah masih sepi. Hanya terdengar suara kerincingan sekelompok hewan herbivora yang sedang mencari makan di halaman sekolah.
Awal-awal saya sulit mengusir sekelompok hewan tersebut. Namun, seringnya hewan tersebut selalu hadir pada pagi hari di sekolah dan membuang hajat sembarangan, saya pun mulai tahu bagaimana caranya mengusir mereka.
Menjelang siang, satu per satu siswa mulai berdatangan. Mulai tampak aktivitas yang dilakukan oleh siswa di pagi hari mulai dari duduk-duduk, bersih-bersih ruang kelas, hingga mengobrol di warung sebelah sekolah. Seiring ramainya siswa berdatangan, tidak lama kemudian guru pun mulai hadir. Matahari mulai terik, tetapi pembelajaran belum mulai. Masing-masing masih sibuk dengan urusannya sendiri.
Akhirnya guru pun bergegas sambil membawa buku pelajaran masuk ke kelas masing-masing. Siswa pun membubarkan diri dan berlarian masuk ke kelas. Pembelajaran akhirnya dimulai. Sayangnya, tidak semua kegiatan belajar mengajar dilakukan. Masih ada beberapa guru yang belum hadir dengan alasan jarak antara sekolah dan rumah cukup jauh. Tidak ada guru di dalam kelas, memberikan kebebasan buat siswa untuk melanjutkan obrolan di warung, duduk-duduk di bawah pohon atau asyik bermain dengan alat komunikasinya. Ruang kelas nyaris kosong karena tidak ada guru yang menggantikan.
Menit-menit terakhir pembelajaran, guru yang dinantikan pun hadir. Anak-anak mulai bergegas memasuki kelas sambil membawa tas. Pembelajaran pun dimulai. Siswa diminta mencatat apa yang didiktekan oleh guru, menjawab soal, dan pada akhir pembelajaran siswa diberi tugas rumah. Aktivitas pembelajaran seperti ini sudah biasa dilakukan oleh guru-guru. Pembelajaran selesai, siswa pun berhamburan keluar sambil membawa tasnya. Saya terheran-heran, mengapa siswa membawa tas padahal belum waktunya pulang.
Saya pun menanyakan kepada salah satu siswa. “Kalau tasnya tinggal di dalam kelas, takut ada yang mengambil,” jawab siswa yang ditanya. Entah jawaban yang sebenarnya atau hanya mengarang saja. Anehnya, tidak hanya satu siswa yang membawa tasnya ketika pembelajaran telah selesai, tapi hampir seluruh siswa melakukannya kecuali siswa yang memilih berada di dalam kelas.
Pukul 11.00 para siswa sudah meninggalkan sekolah. Kegiatan belajar mengajar (KBM) sudah tidak ada lagi. Saya pun terheran-heran kembali. Sekolah setingkat usia menengah, pukul 11.00 sudah tidak ada aktivitas? Untuk mencari jawaban atas keheranan ini, saya pun meminta jadwal KBM sekolah sehari-sehari atau disebut roster.
Pada roster tertulis dengan jelas bahwa KBM dilaksanakan pukul 08.00 sampai dengan 12.00. Normalnya, sebuah sekolah memiliki aktivitas rutin sejak pagi hingga siang. Tepat pukul 07.00 siswa seharusnya sudah hadir dan mulai membersihkan ruang kelas masing-masing, sedangkan guru mulai berdatangan sambil mempersiapkan materi yang akan diajarkan.
Namun, kondisi normal ini tidak dialami di salah satu sekolah menengah atas di Aceh ini. Sekolah belum memiliki peraturan yang jelas, sehingga masing-masing warga sekolah menerapkan aturan semaunya. Sebagai pendamping yang ditugaskan oleh Dompet Dhuafa untuk mendampingi sekolah ini selama 1,5 tahun, ketidakteraturan ini menjadi tantangan tersendiri.
Saya pun mencoba mencari tahu hal-hal yang menyebabkan sekolah tidak tertib. Ketidaktertiban ini menyebabkan KBM tidak berjalan optimal. Akibatnya, siswa bisa dengan seenaknya keluar-masuk lingkungan sekolah, bahkan beberapa siswa berani membolos.
Siswa yang membolos ini memilih untuk pergi jalan-jalan bersama teman-teman, atau mencari pekerjaan yang dapat menghasilkan uang, atau tetap duduk-duduk di warung sebelah sekolah sambil mendengarkan musik dari ponselnya.
Ketidakteraturan tidak hanya dilakukan siswa. Para guru yang semestinya memberikan keteladanan juga tidak hadir tepat waktu saat pembelajaran. Kepala Sekolah malah sering datang terlambat atau bahkan jarang hadir di sekolah karena lebih memilih menyelesaikan urusan administrasi sekolah di kantor Dinas Pendidikan atau mengikuti pertemuan-pertemuan rutin setingkat kepala sekolah. Mungkin karena ada contoh dari para sosok anutan, siswa-siswa pun ikut-ikutan. Mereka sering datang terlambat, jarang datang ke sekolah, dan lain-lain.
Pada umumnya setiap sekolah pasti memiliki tata tertib. Lantas bagaimana bila kesadaran warga sekolah dalam menjalankan tata tertib tersebut belum ada? Dan bagaimana pula caranya agar tata tertib bisa dijalankan oleh seluruh warga sekolah?
Saat saya mendampingi sekolah tersebut, yang saya lakukan adalah menumbuhkan kesadaran dan menciptakan keteladanan. Tidaklah mudah menumbuhkan kesadaran di kalangan guru-guru di sana. Sebagian besar guru memberikan pandangan bahwa siswalah yang tidak bisa tertib, siswa sulit diberi tahu dan lebih memilih duduk di warung daripada mengikuti pembelajaran.
Guru lupa bahwa perilaku siswa yang ditunjukkan saat itu karena merekalah yang tidak memberikan contoh baik sebagaimana mestinya kepada anak didik. Fasilitas yang dimiliki oleh sekolah tidak dimanfaatkan oleh guru. Mengingat perjalanan dari kota sampai ke lokasi sekolah butuh waktu sekitar dua jam, pihak Dinas Pendidikan telah menyedikan tempat tinggal (mess) bagi para guru yang rumahnya jauh dari sekolah. Sayangnya, guru memilih pulang-pergi dengan berbagai alasan yang diajukan. Karena berjarak jauh, keesokan harinya sudah dapat dipastikan kehadiran sang guru pun terlambat.
Dibutuhkan waktu beberapa bulan mengajak guru-guru yang rumahnya jauh untuk tinggal di mess. Akhirnya melalui pendekatan personal, satu per satu guru yang rumahnya jauh mau tinggal di mess. Setelah guru-guru mau diajak tinggal di mess, saya pun semakin intensif melakukan pendekatan personal melalui komunikasi informal semisal saat makan malam atau siang bersama, berdiskusi tentang sekolah dan siswa serta permasalahan yang dihadapi. Kesediaan guru-guru mau tinggal di mess lambat laun mengurangi jumlah guru yang datang terlambat ke sekolah hingga akhirnya KBM dapat dimulai tepat pukul 08.00 sesuai waktu di roster.
Melalui pendekatan personal juga saya berharap guru-guru mulai tersadar betapa peran mereka sangat penting dalam menciptakan keteraturan di sekolah. Lambat laun, seiring waktu, kesadaran yang sudah mulai tumbuh tersebut menciptakan keteladanan.
Tidak puas dengan sedikit perubahan itu, saya pun menginisiasi lonceng sekolah, mengaktifkan kembali guru piket, dan mengubah jadwal mata pelajaran. Menjelang akhir-akhir tugas saya sebagai pendamping, sekolah belum sepenuhnya menjalankan komitmen secara konsisten. Namun, paling tidak, KBM mulai teratur, dimulai pukul 08.00 hingga 13.00.
Sebagai pendamping, saya menyadari bahwa 2K tersebut juga harus saya lakukan, yakni menumbuhkan kesadaran pentingnya peran saya sebagai pendamping dan menciptakan keteladanan bahwa saya juga perlu memberikan contoh kepada guru-guru melalui keterlibatan saya sebagai tim pengajar, bertugas sebagai guru piket, menyambut siswa di depan pagar sekolah, dan selalu hadir tepat waktu di sekolah. []
[Disalin dari Buku “Bagaimana Ini Bagaimana Itu”, DD Press. Penulis: Rina Fatimah]
pada hakikatnya, guru adalah digugu dan ditiru… apapun yg dilakukan seorang guru, akan dilihat, dinilai dan dicontoh,… sudah sepantasnya memberikan keteladanan dalam hal ini kedisiplinan waktu
Mantulll…