Bagaimana Mengatasi Masalah Guru Honorer?

Bagaimana Mengatasi Masalah Guru Honorer?

Meningkatkan kesejahteraan guru pastinya adalah tugas negara. Pemerintah pusat maupun daerah berkewajiban untuk menjamin keberadaan para guru, termasuk para guru honorer. Namun jujur saja, menanti uluran tangan negara agar pendidik bisa sejahtera tidak secepat yang diimpikan. Harus ada entitas lain yang bersedia untuk sementara waktu mencarikan alternatif solusi bagi para guru honorer sebelum kesempatan dari pemerintah itu datang.

Inilah salah satu hal yang menjadi program dari Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa. Sebetulnya ada banyak alternatif yang bisa dilakukan untuk membantu para guru honorer agar memperoleh kesejahteraan yang lebih pantas. Dari banyak alternatif tersebut, setidaknya kita bisa merumuskannya dalam dua strategi utama, yakni pengembangan profesional keguruan, dan unit usaha mandiri. Kedua strategi ini sama-sama pernah dilakukan oleh Makmal Pendidikan di beberapa daerah yang menjadi lokasi pendampingan sekolah.

Pengembangan profesional keguruan dimaksudkan agar guru memiliki kompetensi yang mendorong mereka menjadi pakar di bidang pengembangan pembelajaran. Di banyak daerah masih banyak guru yang mengajar dengan pendekatan yang konvensional. Padahal, kurikulum nasional terus berkembang menyesuaikan dengan kebutuhan zaman. Setiap anak perlu didekatkan dengan keterampilan yang sesuai tuntutan hidup pada masa depan. Oleh karena itu, guru perlu dibekali dengan metodologi pembelajaran yang berorientasi pada paradigma baru.

Sejak 2004 Makmal Pendidikan mengampanyekan paradigma baru pembelajaran itu melalui beragam pelatihan untuk para guru di banyak daerah. Mereka dilatih untuk bisa menjadi guru kreatif yang memiliki kemampuan-kemampuan teknis dalam penyelenggaraan pembelajaran yang sesuai dengan standar nasional pendidikan. Jenis kompetensi yang dilatih juga bervariasi, tergantung dari kondisi di setiap sekolah dan daerah. Mulai dari metodologi pembelajaran aktif, pengembangan budaya literasi di sekolah, hingga penerapan teknologi informasi untuk pendidikan, semunya pernah diberikan.

Materi pelatihan yang diberikan tersebut tidak hanya ditujukan untuk bisa diterapkan di kelas-kelas ajarnya saja. Para guru yang mengikuti pelatihan diharapkan bisa menguasai materi secara utuh sehingga bisa menjadi pakar di bidang tersebut. Kepakaran yang didapat selanjutnya bisa disebarluaskan kepada guru-guru lainnya. Melalui kepakaran yang dimiliki, para guru ini bisa menjadi pembicara/narasumber, trainer, ataupun juga penulis buku. Para guru yang telah memenuhi persyaratan biasanya akan mengikuti pembinaan lebih lanjut melalui program Training for Trainer (TFT) dan juga bimbingan untuk menjadi penulis. Bagi mereka yang serius, selain memiliki pendapatan dari gaji sebagai guru, mereka juga bisa memiliki tambahan pendapatan dari keahlian yang dimiliki.

Strategi kedua, yakni pembentukan unit usaha mandiri, juga bisa dilakukan untuk menambah pendapatan para guru di luar honor mengajar. Biasanya pengelolaan unit usaha mandiri ini dikerjakan secara kolektif oleh hampir semua guru. Modal yang dibutuhkan umumnya cukup besar sehingga harus dikumpulkan dari dana banyak pihak. Untuk itu, akan lebih baik jika tanggung jawab pengelolaannya dilakukan secara bersama-sama.

Unit usaha mandiri berbasis sekolah sebetulnya sudah banyak dikembangkan dalam bentuk koperasi sekolah. Tapi, koperasi sekolah sejatinya tidak ditujukan untuk memberi kesejahteraan bagi anggotanya sebagaimana koperasi-koperasi yang lain. Koperasi sekolah sesungguhnya lebih bertujuan untuk menjadi sarana pendidikan bagi semua warga sekolah untuk berlatih mengelola tanggung jawab dalam kehidupan berorganisasi dalam wadah lembaga bisnis mikro. Bagi sebagian siswa yang bertugas sebagai pengurus, koperasi jenis ini juga berfungsi untuk melatih jiwa kemandirian dan kewirausahaan.

Namun, pada praktiknya, fungsi asli koperasi sekolah ini sering diabaikan. Koperasi sekolah terkadang dipaksakan sebagai wadah yang memberi peluang bagi bisnis para guru untuk  menjual beberapa kebutuhan yang “harus” dimiliki siswa. Produk yang ditawarkan antara lain adalah pakaian seragam, alat tulis, buku-buku paket pelajaran serta lembar kerja siswa (LKS). Orangtua siswa diminta untuk membeli buku hanya dari koperasi sekolah. Tak jarang kesan yang muncul adalah paksaan untuk membeli. Keuntungan yang diraih juga sangat besar. Sering ada fenomena sisa hasil usaha koperasi dibagi kepada para guru dalam bentuk jalan-jalan berlibur ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Koperasi sekolah bila dikelola secara serius, sesungguhnya bisa membantu menambah pendapatan guru. Namun, bagaimana pun juga etika perlu dijaga agar nama baik guru tidak cedera.

Unit usaha mandiri berbasis sekolah yang pernah dikembangkan oleh Makmal Pendidikan adalah Program Usaha Ekonomi Komite Sekolah (UEKS). Program ini diinisiasi di daerah Ciracap, pesisir selatan Kabupaten Sukabumi (Jawa Barat) antara 2008 hingga 2010. Program ini menargetkan sistem pengembangan pendidikan dengan dukungan ekonomi dari wali murid dan guru yang tergabung dalam Komite Sekolah. Model usaha ekonomi ini dikembangkan dengan sistem pengelolaan modal swadaya dan tanggung renteng, serta pengembangan usaha keluarga wali murid dan keluarga guru.

Melalui UEKS, program memberikan pembiayaan dengan dua model pembiayaan. Model pertama, UEKS dibiayai untuk aktivitas usaha berupa perdagangan. Model kedua UEKS memberikan modal usaha kepada orangtua murid dan guru dengan sistem bagi hasil.

Selain program UEKS, juga ada program lain dari Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa yang tidak bertujuan langsung kepada peningkatan kesejahteraan guru, tetapi lebih difokuskan untuk membantu pembiayaan pendidikan bagi siswa dan operasional sekolah. Program itu antara lain adalah GELIPA di Sukabumi dan GELICOK di Banggai (Sulawesi Tengah). Keduanya diinisiasi sesuai dengan potensi lokal yang dimiliki oleh kedua daerah tersebut.

GELIPA (Gerakan Lima Kilogram Gula Kelapa untuk Pendidikan) adalah sebuah program yang ditujukan sebagai sarana menabung bagi para keluarga orangtua murid untuk pendidikan anak dalam bentuk lima kilogram gula kelapa. Kenapa gula kelapa? Sebab, gula kelapa ini adalah komoditas utama yang mayoritas dikerjakan oleh para warga di daerah tersebut. Biasanya gula kelapa yang dihasilkan semuanya dijual untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Dalam program ini, lima kilogram gula kelapa secara teratur ditabung oleh para orangtua murid dengan dipercayakan kepada para pengurus.

Para pengurus ini kemudian menjual seluruh tabungan gula kelapa agar tabungan tersebut terkonversi dalam bentuk uang tunai. Seluruh uang tabungan tadi kemudian diputar sebagai modal usaha kelompok. Para anggota penabung GELIPA tadi kemudian hanya diperbolehkan mengambil kembali tabungan mereka pada saat anaknya harus mendaftar ke jenjang sekolah menengah pertama. Intinya, GELIPA adalah tabungan atau asuransi pendidikan anak agar bisa mengejar wajib belajar 9 tahun.

Adapun GELICOK (Gerakan Lima buah Cokelat) adalah program swadaya masyarakat untuk dikontribusikan dalam memenuhi biaya operasional untuk sekolah. Program ini awalnya ditujukan untuk membantu pembiayaan operasional sekolah yang baru saja berdiri di daerah tersebut. Salah satunya adalah untuk membayar gaji guru-guru yang mengajar. Disebabkan masih sulitnya meminta kontribusi tunai dari masyarakat setempat, digulirkanlah semacam swadaya masyarakat dalam bentuk lain yang tidak menyulitkan mereka. Cokelat akhirnya menjadi pilihan yang tepat untuk digalang menjadi sumbangan bagi penyelenggaraan pendidikan di daerah tersebut. Terlebih lagi cokelat merupakan salah satu sumber daya unggulan di wilayah Kepulauan Banggai. Diharapkan dari lima buah cokelat yang disumbangkan oleh setiap keluarga bisa menjadi gerakan masif bagi pembiayaan pendidikan daerah.

Sudah selayaknya guru mendapatkan penghargaan berupa kesejahteraan yang pantas. Sebagai profesi yang menuntut kompe tensi dan kreativitas yang tinggi, guru perlu diberi kesempatan untuk mengembangkan diri secara terus-menerus. Jika pendapatannya rendah, tidak mungkin guru bisa mengoptimalkan perannya sebagai pendidik profesional di sekolah.

Untuk itulah, jangan sampai guru hanya disibukkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangganya. Para pengelola sekolah tidak boleh berdiam diri, jangan berhenti untuk serius mencari solusi. Jikalau negara belum bisa membantu, setidaknya ada alternatif-alternatif gerakan berbasis swadaya masyarakat yang bisa ditempuh untuk membantu menyejahterakan para guru. Pendidik sejahtera, pendidikan digdaya.[]

[Disalin dari Buku “Bagaimana Ini Bagaimana Itu”, DD Press. Penulis: Agung Pardini]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares