Bagaimana Memotivasi Guru di Sekolah Minim Fasilitas?

Bagaimana Memotivasi Guru di Sekolah Minim Fasilitas?

Di Talaud, tepatnya di Madrasah Ibtidaiyah “Yayasan Pendidikan Islam Beo” (YASPIB), saya ditempatkan dalam sekolah dampingan. Betapa susahnya mengakses pulau terpencil di Sulawesi Utara ini. Satu-satunya moda transportasi yang disukai adalah kapal, karena alasan ekonomis. Kapal juga yang menjadi transportasi utama untuk keberlangsungan kehidupan di Talaud.

Karena jarak dan akses, Talaud bisa dikatakan bergantung pada Manado. Hampir seluruh bahan kehidupan yang digunakan sehari-hari di Talaud berasal dari Manado yang jaraknya satu malam dengan perjalanan kapal laut. Oleh karena di Talaud sedikit sekali pertanian, bahan makanan dibawa dari Manado. Demikian juga kebutuhan sandang, juga berasal dari Manado.

MI YASPIB Beo sendiri satu-satunya yang ada di Kabupaten Kepulauan Talaud. Bayangkan, Talaud yang terdiri dari beberapa pulau hanya memiliki satu sekolah madrasah! Madrasah ini pun belum lama berdiri. Meskipun menjadi sekolah kebanggaan pemeluk Islam di sana, orang-orang setempat masih menganggap sebelah mata sekolah ini lantaran belum terbukti kualitas lulusannya.

Kebanyakan siswa yang bersekolah di MI adalah anak dari desa sebelah yang jaraknya cukup jauh. Hanya sedikit orang Islam yang ada di sekitar madrasah mau menyekolahkan anaknya di MI YASPIB. Karena yang bersekolah di MI dari desa sebelah, Yayasan harus menanggung ongkos perjalanan mereka setiap hari dengan kendaraan bentor. Sekolah atau tidaknya mereka, hari demi hari sangat bergantung pada kendaraan yang disediakan oleh yayasan.

Padahal, kendaraan ini pun hanya sewa jemput dan pulang. Kondisi pengajarnya pun pas-pasan. Saat yang sama, warga setempat juga menganggap rendah para pengajar di sini lantaran mereka bukanlah pegawai negeri dan kebanyakan tidak memiliki gelar sarjana, kecuali dua orang guru. Pertama, kepala sekolah yang juga pegawai negeri sipil, dan Ibu Marhama Tatali yang memang sejak awal telah mengajar di MI.

Di luar soal kekurangan sarana dan akses, kita pantas untuk bersyukur di sekolah, karena masih ada pengajar yang sangat peduli dengan kondisi pendidikan Islam di Talaud. Terlebih lagi para pengajar di MI ini mayoritas masih berstatus guru honor, itu pun masih ada masalah pemberian honor yang kadang ada terkadang juga tidak ada per bulannya. Beberapa bulan baru dapat. Tidak setiap bulan mereka dapat. Itu pun yang mereka dapat belumlah cukup untuk ongkos mereka selama datang mengajar di MI.

Setali nasib honor guru dengan kondisi gedung sekolah. Ruang guru dan kepala sekolah bercampur dengan ruang kelas 6, yang hanya dipisahkan oleh lemari dan papan pengumuman. Ruang kelas 3 dan kelas 5 hanya dipisahkan dengan sekat papan tulis. Ruang kelas 4 menggunakan ruang mushala yang ada di dekat MI. Praktis kondisi sekolah sungguh sangat memprihatinkan.

Dua kondisi ini sudah cukup mewakili kualitas pembelajaran dan manajemen sekolah. Ada banyak sekali permasalahan yang harus dibenahi terkait pembelajaran dan manajemen sekolah. Semua masalah ini layaknya benar kusut yang tidak tahu dari mana harus mulai diurainya. Walaupun demikian, ada satu yang membanggakan sebagai modal, yakni kecintaan para pendidik di sini untuk terus mengabdi. Inilah yang kemudian memberikan asa kami untuk mendampingi sekolah menuju ke arah perubahan lebih baik.

Usaha awal yang dilakukan Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa adalah mengubah pola pikir (mindset) guru terhadap Pendidikan itu sendiri. Guru benar-benar memahami tugas dan fungsinya yang diimbangi oleh paradigma yang benar pula dalam mendidik. Caranya dengan mengadakan pelatihan yang bertemakan Shifting Education Paradigm. Pelatihan selanjutnya adalah berkaitan dengan pengajaran guru, yakni display kelas dan PAIKEM. Tujuannya, bagaimana menjadikan setiap pertemuan guru dengan peserta didik lebih menyenangkan. Guru juga dilatih untuk menggunakan beragam metode dalam mengajar di kelas. Agar siswa di MI YASPIB Beo luas pengetahuannya, Ceruk Ilmu pun diadakan. Setiap ruang kelas diberi lemari khusus untuk tempat buku yang bebas dibaca kapan pun oleh siswa.

Menurut saya, tidak hanya pelatihan yang penting. Untuk menyukseskan tujuan program ada yang tidak kalah pentingnya, yakni menjaga cinta. Sama seperti halnya dengan cinta para guru di sini yang seolah mengabaikan keterbatasan yang ada. Dari interaksi keseharian dengan para guru, saya tahu bahwa ada semacam energi tambahan penyemangat bagi mereka dengan menjadi pendidik di MI. Belum lagi untuk memenuhi rasa ingin tahu yang dalam mereka.

Soal Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan display saya gunakan sebagai topik pemancing mendekatkan ke mereka. Titik tekan pertama adalah soal keaktifan para guru, belum ke kualitas yang dibuat. Dari hari ke hari mereka mengetahui kekurangan dan kelemahan karyanya. Awalnya memang saya selalu harus menemani mereka. Namun, semakin hari mereka semakin terbiasa dalam membuat display dan RPP.

Sebagai penghargaan atas semua yang dilakukan para guru itu, saya membuat award untuk mereka. Ibu Marhama sebagai “Guru Terdisiplin dan Terajin Membuat RPP”, Ibu Mashita sebagai “Master of Display”, Bapak Mahmud sebagai “Master of Teaching Device”, dan Ibu Yuliana sebagai “Master of High Attention”. Saya begitu bersyukur melihat perubahan pada mereka semua.

Berbicara membangun cinta kembali, selain dengan banyak berinteraksi, tidak jarang saya selalu masukkan motivasi dan semangat yang tinggi dengan keceriaan saya agar para guru dapat terus semangat mengajar walaupun dalam kondisi ekonomi yang mendesak. Saya ajarkan mereka untuk dapat menerapkan kasih sayang dalam mengajar dan tetap berprasangka baik kepada Allah.

Setiap pagi saya memberanikan diri untuk selalu mengirimkan pesan-pesan singkat berupa nasihat, semangat, serta tips dan renungan dalam hidup. Metode ini saya beri nama “Bekal Pagi”, yang terinspirasi dari teman saya.

Upaya yang saya lakukan sekadar menerapkan ilmu yang diperoleh saat kuliah. Pada mata kuliah Landasan Pendidikan, banyak sekali teori yang diajarkan; metode ini dan metode itu, pendapat ini dan pendapat itu, harus begini dan harus begitu. Tapi saya malah lebih terkesan dengan perkataan salah seorang dosen saya. Beliau yang sudah sangat lama dan berpengalaman dalam dunia Pendidikan ini berkata dengan tegas dan pasti bahwa inti dari pendidikan dan landasan utama dalam mendidik adalah kasih sayang.

Bukankah kasih sayang itu adalah bagian bukti dari cinta? Maka, merawat kasih sayang yang ditampakkan para guru di MI YASPIB Beo menjadi sebuah keharusan untuk dilakukan. Hasilnya, memang tidak sia-sia. []

[Disalin dari Buku “Bagaimana Ini Bagaimana Itu”, DD Press. Penulis: Abdul Hakim]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares