Bagaimana Mempertahankan Kedisiplinan Guru?

Bagaimana Mempertahankan Kedisiplinan Guru?

Guru-guru di sebuah sekolah dasar di Luwu Timur memiliki tingkat kedisiplinan yang baik, yakni di atas 70 persen. Suatu pertanda yang baik mengingat bahwa kedisiplinan merupakan jembatan untuk meraih kesuksesan.

Setiap harinya saya mendapati kepala sekolah, guru-guru, dan siswa telah berada di sekolah sebelum pukul 06.50 waktu setempat. Para siswa dengan arahan wali kelas serta kepala sekolah mulai membersihkan kelas dan lingkungan sekolah sebelum pembelajaran dimulai. Sungguh rutinitas yang sangat positif bagi penanaman karakter peserta didik.

Selain itu, sebelum memulai proses belajar mengajar juga selalu ada pertemuan singkat antara kepala sekolah dan para guru yang intinya memeriksa kelengkapan perangkat pembelajaran guru. Demikian pula setelah jam pelajaran berakhir, para guru tidak serta-merta pulang ke rumah. Mereka mesti menunggu sampai pukul 13.00. Di sela-sela menunggu jam pulang, mereka biasanya membicarakan hal-hal seputar peningkatan mutu sekolah.

Keadaan di sekolah ini melahirkan tantangan tersendiri untuk saya selaku Pendamping Sekolah. Sebab, mempertahankan sesuatu yang baik itu tidaklah mudah. Tidak hanya mempertahankan  angka70, saya malah bertekad untuk dapat meningkatkan kedisiplinan guru hingga bisa mencapai 100 persen.

Langkah awal yang saya lakukan adalah mendeteksi guru yang kurang disiplin. Cukup mudah melakukannya, karena saya tinggal mengecek daftar absensi kehadiran dan kepulangan para guru. Dari data tersebut saya mengetahui bahwa masih ada beberapa guru yang kurang disiplin. Alasan ketidakdisiplinannya pun beragam; ada yang logis, ada pula yang terkesan dibuat-buat.

Langkah selanjutnya, saya melakukan pendekatan personal dan sharing dengan guru yang kurang disiplin itu. Selain menekankan arti penting sikap displin bagi diri guru dan peserta didik, saya juga berusaha untuk dapat berempati kepada mereka. Saya tidak langsung memvonis mereka sebagai guru yang kurang disiplin, tetapi lebih berminat menggali alasan ketidakdisiplinan mereka.

Setidaknya ada tiga fakta yang menjadi alasan ketidakdisiplinan beberapa guru di sekolah ini. Berikut sedikit gambaran tiga fakta, dan upaya-upaya yang telah saya lakukan untuk mengatasinya.

Fakta yang pertama adalah karena jarak rumah ke sekolah cukup jauh. Ada guru yang menempuh sekitar 120 km atau setara dengan dua jam perjalanan menggunakan kendaraan bermotor. Sebenarnya cukup rasional jika ada guru yang terlambat karena alasan ini. Namum, tetap saja keterlambatannya ini merusak tingkat kedisiplinan di sekolah, terlebih lagi merugikan siswa yang harusnya mulai belajar dari pukul 07.30. Untuk itu, saya menyarankan kepada beliau untuk menginap di perumahan sekolah. Kebetulan masih ada satu unit yang kosong.

Namun, beliau enggan menerima usulan saya, karena mempunyai konflik yang cukup serius dengan salah satu orangtua siswa yang juga tinggal di sekitar perumahan sekolah. Beliau yang sempat di perumahan sekolah memilih untuk pulang-pergi dari rumah ke sekolah dengan konsekuensi terlambat tiba ke sekolah.

Saya tidak ingin masuk ke konflik pribadi beliau. Saya lalu mengambil cara lain. Saya meminta beliau berangkat lebih awal lagi ke sekolah. Jika selama ini beliau berangkat pukul 05.30 waktu setempat, maka beliau harus memajukannya menjadi pukul 05.10.  Alhamdulillah, beliau cukup kooperatif dan berjanji untuk mengikuti saran saya ini.

Fakta kedua, ada oknum guru yang selalu pulang cepat meskipun beliau tinggal di perumahan sekolah. Parahnya lagi, beliau pulang dengan alasan tidak rasional. Kadang pulang tidur, kadang kerja tugas sekolah, dan lain-lain. Menurut hemat saya, kebiasaan itu lebih disebabkan karena beliau kurang menyadari pentingnya pertemuan sepulang sekolah. Bahkan mungkin menganggapnya sebagai hal yang sia-sia. Oleh karena itu, saya berupaya untuk melakukan pendekatan personal dengan memberikan support, apresiasi, serta menekankan pentingnya sharing bersama guru yang lain.

Fakta ketiga, ada seorang guru yang mempunyai bayi yang masih menyusu. Upaya yang saya lakukan adalah memberikan masukan untuk mencari babysitter, namun beliau menolaknya dengan alas an kurang memercayainya. Saya pun sharing dengan beliau tentang pengalamannya mengajar. Rupanya beliau antusias untuk bercerita.

Saya jadi tahu kalau beliau pernah membina siswa peserta Olimpiade Sains Nasional (OSN) hingga tingkat nasional. Saya menyimpulkan bahwa beliau sangat senang disanjung. Oleh karena itu, saya tidak segan-segan untuk menyanjung beliau di hadapan guru. Misalnya dengan mengatakan, “Ibu sekarang beda ya, sekarang rajin dan jarang lambat ke sekolah, siapa dulu dong, guru teladan.” Sungguh, pujian ini bukan bermaksud menyindir, melainkan sebuah ketulusan dalam memotivasi. Alhamdulillah, tingkat kedisiplinan guru ini pun meningkat, apalagi setelah beliau diamanahi untuk memberikan motivasi dan support kepada siswa peserta OSN.

Demikianlah contoh upaya yang saya usahakan untuk meningkatkan kedisiplinan di sekolah dampingan. Intinya adalah mengubah paradigma mereka tentang pentingnya sikap disiplin. Mengubah perilaku tidak hanya berbicara tentang “bagaimana cara disiplin” tetapi yang terpenting adalah “mengapa harus disiplin”.

Disiplin bukanlah memaksa guru untuk bekerja keras terus-menerus. Tapi, memaksa guru bekerja saat harus bekerja, dan bersenang- senang saat waktu bersenang-senang. Menjaga kedisiplinan itu sulit, oleh karena itu butuh kesabaran dan semangat pantang menyerah. []

[Disalin dari Buku “Bagaimana Ini Bagaimana Itu”, DD Press. Penulis: Muslimin]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares