Bagaimana Mendidik Siswa Dengan Kasih Sayang?

Tidak semua anak terlahir dengan memiliki keluarga lengkap utuh. Mengapa? Ada yang disebabkan oleh perceraian hidup, atau kematian yang merenggut salah satu orangtua. Bahkan ada orangtua kandung yang tak memiliki kemauan dan kemampuan untuk merawat anak sendiri.
Kemauan dan kemampuan? Ya, saat orangtua tak lagi mau membesarkan, maka anak tumbuh dipelihara anggota keluarga lain. Tentu saja oleh keluarga yang mau dan mampu memeliharanya.
Sama halnya dengan guru, mereka memiliki kadar kemauan dan kemampuan yang berbeda-beda. Baik untuk menatap wajah siswa, mengusap rambut, ataupun menyentuh bahunya. Atau bahkan dalam mengucapkan pujian dan kalimat-kalimat positif. Mari kita tanyakan ke diri sendiri: seberapa sering kita mau dan mampu melakukannya?
Anak pada dasarnya belum tahu apa-apa. Dia pun tak meminta dilahirkan dalam keadaan keluarga yang kurang lengkap. Dia hanya butuh kehadiran orang yang memerhatikan, dan mencurahkan kasih sayang untuknya.
Jika di dalam rumah belum didapatkan, anak dapat mengambil bentuk kasih sayang dari yang lain. Seperti berlama-lama di internet atau mengekspresikan dirinya ke dalam cara yang orang dewasa anggap kurang baik. Itu dia lakukan sekadar untuk mendapatkan perhatian.
Baginya, suatu angan belaka bila guru mau mendekat tidak hanya kepada siswa yang pintar, tapi juga pada semuanya yang ada di dalam kelas. Dengan label-label yang diberikan padanya, ia merasa mendapatkan perhatian. Guru akan sering memanggilnya, dekat-dekat berada di sisinya. “Oh, jadi dengan berbuat itu, guruku akan terpusat perhatiannya padaku.” Atau, “Mengapa ya kalau saya bisa saja membaca satu kalimat, guru tak mau memuji? Padahal, susah payah aku berlatih baca huruf per huruf, kata demi kata.”
Perlu kesabaran dan perhatian ekstra terhadap anak seperti ini. Dengan niat lurus ibadah kepada-Nya, inilah cita-cita dan tujuan paling mulia yang dapat kita berikan untuk-Nya. Sering-seringlah mengajak siswa mendekat kepada kita. Atau tanpa ragu, diri sendiri yang memulai duduk di dekatnya.
Pandang kedua matanya. Bila dia belum mau menatap kita, tetaplah sabar mengajaknya agar memerhatikan kita selama pembelajaran di kelas. Untuk memerhatikan wajah saja, dia boleh jadi mengalami kesulitan. Hal yang sangat asing baginya jika di rumah tak ada orangtua. Tetapi di sekolah, sang guru justru mau duduk dekat dengannya.
Memandang wajah kita saja masih malu, maka berarti anak pun belum siap belajar. Dia tidak mau atau tidak mampu memberikan surat izin mengajar kepada kita. Di sini, saya memberikan contoh agar orang dewasa mau menurunkan level pemahaman kepada anak itu. Bukan dia yang mengikuti cara mengajar kita. Sebab, guru hanya sutradara yang dapat memberikan arahan dan mengelola. Sementara murid, sang aktor, yang tahu kapan saatnya nyaman untuk belajar dan berperan terbaik dalam pembelajaran yang menyenangkan baginya.
Saat anak tak mau menulis, dan guru berkata, “Payah, kenapa kamu susah sekali belajar”, sedih bertubi-tubi merasuk di hati si murid. Semestinya, perhatikan lebih baik anak, mengapa dia tak mau menulis, adakah kesukaran yang dialaminya?
Mari biasakan berjalan ke arah siswa, duduk di samping, dan menanyakan kabarnya. Padanya, kita tanyakan juga apakah sudah mandi dan menggosok gigi. Kalau dia bilang sudah, sampaikan padanya, “Hebat, kamu Nak.”
Bila dia belum atau terlupa melakukannya, tetap berikan sentuhan lembut di kepala atau pundak sang anak. Juga katakan, “Ibu senang sekali kalau kamu mau menjadi kawan Ibu. Kalau kita sudah berkawan, kamu mau ya jadi teman yang menyenangkan? Ibu kalau ke sekolah mandi, besok-besok setiap hari kamu juga selalu mandi ya?” Lalu lanjutkan, “Anggukkan kepalamu, Nak, kalau kamu setuju.”
Perlahan tapi pasti, dengan penuh keakraban kita menggunakan kalimat yang dipahami oleh anak seusia mereka. Hindari kalimat caci maki atau kalimat negatif yang kita sendiri enggan mendengarkan itu jika ditujukan kepada diri kita.
“Oh iya, boleh Ibu tengok tasmu? Di dalamnya ada apa ya? Wah ada dua buku, keren kamu pintar mau membawa buku tulis. Coba kita keluarkan buku dari dalam tas?”
Terus berikan usapan lembut di kepala dan bahunya. Juga sampaikan selalu ucapan dan kalimat positif kepadanya. Cari dan lihatlah sisi baik yang dimiliki anak itu, tentu ada. Dengan kemauan dan kemampuan sebagai pendidik, kitalah yang berhak mendidik dengan penuh kasih sayang siswa. []
[Disalin dari Buku “Bagaimana Ini Bagaimana Itu”, DD Press. Penulis: Destiarny Taruli P]