Bagaimana Menjaga Seni Budaya di Sekolah?

Bagaimana Menjaga Seni Budaya di Sekolah?

Tambua Tasa atau disebut juga Gandang Tasa adalah kesenian berupa bunyi-bunyian yang melodis dan berpadu khas Minangkabau. Disebut Tambua Tasa karena alat musik ini terdiri dari gandang tambua dan gandang tasa. Alat musik ini dibuat dari kulit kambing. Tambua Tasa berbentuk seperti gendang dan dimainkan dengan cara dipukul.

Asal mula kesenian ini konon berasal dari India. Tambua Tasa biasa dimainkan untuk menyambut tamu kehormatan dan untuk mengarak anak daro dan marapulai saat upacara pernikahan. Biasanya Tambua Tasa dimainkan oleh tujuh orang; satu orang memegang tasa, dan enam orang lainnya memegang tambua.

Ide menjadikan Tambua Tasa sebagai kekhasan sekolah muncul melalui Focus Group Discussion (FGD) sebuah sekolah dasar di Batang Anai (Sumatera Barat) yang difasilitasi oleh Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa. Pertemuan yang berlangsung selama satu hari penuh itu dihadiri oleh kepala sekolah, majelis guru, dan Komite Sekolah.

Dilatarbelakangi belum adanya sekolah di Kecamatan Batang Anai yang mengembangkan Tambua Tasa, seluruh peserta di FGD bersepakat memilihnya sebagai program kekhasan di sekolah tersebut.

Dukungan dipilihnya Tambua Tasa juga datang langsung dari Kepala Kanagarian Sungai Buluh, Bapak Saharudin. Sebagai wujud dukungan, Nagari memberikan bantuan dana untuk pembuatan kostum Tambua Tasa siswa. Tidak hanya dukungan materi, tim Tambua Tasa sekolah juga dipercaya oleh Nagari Sungai Buluh untuk mengikuti perlombaan di Pantai Artha Pariaman, dan menjadi satu-satunya tim junior yang berpartisipasi.

Kegiatan Tambua Tasa melibatkan guru dan siswa kelas tinggi, baik siswa laki-laki maupun siswa perempuan. Latihan diadakan setiap Selasa selepas siswa pulang sekolah. Jadi, dengan mengikuti kegiatan ini aktivitas belajar para siswa tetap berjalan normal.

Setelah berjalan beberapa waktu dan melalui pelbagai kerja gigih, keberadaan tim Tambua Tasa sekolah tersebut mulai diperhitungkan. Berkompetisi dengan tim yang terdiri para lelaki dewasa bukan hal aneh. Meskipun kalah, tidak menjadi masalah. Karena bukan hadiah yang ingin diraih, melainkan tekad melestarikan kesenian daerah yang memiliki sarat filosofi mendalam bagi warga Padang Pariaman. []

[Disalin dari Buku “Bagaimana Ini Bagaimana Itu”, DD Press. Penulis: Ika Puspitasari]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares